Pemerintah Disarankan Tata Ulang Lembaga Migas

TEMPO.CO, Jakarta – Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto, menegaskan bahwa sulit bagi pemerintah untuk menambah cadangan minyak terbukti nasional tanpa

Target Produksi Minyak Tidak Realistis
KOMPAS.com17 Desember 2011

JAKARTA- Kegagalan pencapaian target produksi minyak nasional sudah diprediksi sejumlah kalangan sejak awal. Hal ini disebabkan penetapan target produksi itu tidak realistis dan tanpa mempertimbangkan kondisi di lapangan.

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekonomi Pertambangan

KISRUH BLOK MADURA
PRI AGUNG RAKHMANTO
Pendiri dan Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pengajar di Teknik Perminyakan Universitas Trisakti
Kompas, 5 Mei 2011

Kisruh menyangkut hak pengusahaan (operatorship) atas blok migas di tanah air kembali terjadi. Setelah pada tahun 2006 lalu terjadi di Blok Cepu, kini terjadi lagi di Blok West Madura Offshore  (WMO). Kontrak pengusahaan Blok WMO ditandatangani pada 7 Mei 1981, dengan Kodeco perusahaan asal Korea – yang bertindak sebagai operator pemegang hak pengusahaannya. Adapun porsi Participating Interest (PI) pada Blok WMO tersebut terdiri atas Kodeco 25%, China National Offshore Oil Company (CNOOC) 25% dan Pertamina 50%. Kontrak pengusahaan dengan hak pengusahaan Kodeco dan komposisi PI tersebut akan berakhir pada 7 Mei 2011.

Konstruksi masalah Kisruh Blok WMO dapat dikatakan bermula dari keengganan pemerintah untuk secara segera, tegas, dan jelas, mengalihkan hak pengusahaan dari Kodeco ke Pertamina, sementara Pertamina berkeinginan untuk mendapatkan hak pengusahaan dan sekaligus menguasai porsi PI secara penuh (100%). Mengacu pada aturan yang ada, Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Hulu Migas (PP Hulu Migas), kewenangan menyangkut perpanjangan ataupun pengakhiran dari suatu kontrak pengusahaan migas memang ada di tangan pemerintah, dalam hal ini di Kementerian ESDM atas rekomendasi BP Migas (Pasal 28 ayat 4). Dalam aturan yang sama, juga diatur bahwa dalam hal hak pengusahaan atas blok migas yang (akan) berakhir masa kontraknya, Pertamina dapat mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk menjadi pihak yang mengusahakan blok migas tersebut (Pasal 28 ayat 9).

Masalah muncul karena aturan yang ada memang tidak mewajibkan pemerintah untuk menyetujui permohonan Pertamina tersebut. Sehingga, meskipun sejak dua tahun yang lalu Pertamina telah berulangkali menyampaikan permohonan akan hal itu, yang juga telah disertai dengan komitmen kesanggupannya baik secara finansial, teknologi, maupun sumber daya manusianya, pemerintah dengan kewenangannya boleh saja tidak menyetujuinya dan tetap memberikan perpanjangan kontrak kepada pihak yang mendapatkan hak pengusahaan sebelumnya.

Dalam kasus Blok WMO, mencermati perkembangan yang ada setidaknya hingga saat tulisan ini dibuat, tampaknya itulah yang sedang terjadi. Indikasinya, bukan hanya ditunjukkan pada pernyataan beberapa pejabat pemerintah yang masih mempertanyakan komitmen Pertamina untuk mengelola dan mengembangkan blok tersebut, dan juga pernyataan yang masih menyudutkan kinerja dan kompetensi teknis Pertamina, tetapi juga pada disetujuinya pengalihan sebagian PI dari Kodeco dan CNOOC kepada dua perusahaan baru lain, yaitu Sinergindo Citra Harapan dan Pure Link Investment yang tidak jelas rekam jejaknya sebagai pelaku di industri hulu migas -, hanya dalam waktu kurang dari dua bulan sebelum kontrak berakhir.

Rangkaian kejadian di atas tidak hanya mengindikasikan bahwa kontrak akan diperpanjang, tetapi juga memunculkan aroma yang tidak sedap akan adanya penyalahgunaan wewenang dalam proses perpanjangan/pengakhiran kontrak Blok WMO tersebut. Keterkaitan logis yang dapat dibaca dari hal itu adalah bahwa sangat mungkin sesungguhnya sudah tercapai kesepakatan di balik layar bahwa kontrak yang ada akan diperpanjang tetapi dengan syarat bahwa pihak yang akan mendapatkan hak perpanjangan harus melepaskan sebagian porsi PI yang dimilikinya kepada pihak-pihak tertentu. Kesepakatan semacam ini – jika memang ada – tentu tak akan diungkapkan secara terbuka kepada publik, tetapi sesungguhnya merupakan akar masalah utama yang menyebabkan terjadi dan berlarut-larutnya kisruh Blok WMO ini.

Menggadaikan negara

Konstruksi permasalahan yang ada memberikan sinyal yang cukup kuat tentang beberapa hal yang kiranya sangat memprihatinkan dan sekaligus menggeramkan bagi kita semua yang masih memikirkan kepentingan bangsa ini tentunya. Pertama, sinyal bahwa migas yang merupakan kekayaan alam strategis milik seluruh rakyat Indonesia tampaknya akan dijarah oleh segelintir pihak, melalui persekongkolan oknum elit birokrasi dan politik-bisnis dengan memanfaatkan celah peraturan yang ada. Kedua, sinyal bahwa politik pengelolaan dan pengusahaan migas di tanah air kiranya telah sangat jauh menyimpang dari semangat Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan agar migas semestinya dikuasasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Migas dalam kasus ini seolah hanya milik segelintir oknum elit birokrasi yang kemudian dapat menggadaikannya demi kepentingan sendiri dan kelompoknya.Ketiga, sinyal bahwa pemerintah kita sendiri tampaknya sungguh sangat tidak berpihak pada perusahaan migas negara kita sendiri. Dibandingkan negara-negara lain yang memiliki perusahaan migas negara sendiri seperti Norwegia dengan StatOil, Brazil dengan Petrobras, Iran dengan NIOC, Venezuela dengan PdVSA, Mexico dengan Pemex, Arab Saudi dengan Saudi Aramco, atau yang terdekat Malaysia dengan Petronas, barangkali hanya pemerintah di negara kita yang tidak benar-benar berpihak pada perusahaan migas negara yang dimilikinya. Benar bahwa Pertamina mungkin memang masih tetap harus berbenah di banyak lini.

Namun, mengelola Blok WMO yang hanya memiliki cadangan sekitar 22 juta barel minyak dan gas sekitar 0,219 triliun kaki kubik (Triliun Cubic Feet, TCF) dengan produksi minyak di kisaran 15 ribu barel minyak per hari dan produksi gas 130 juta kaki kubik per hari (Million Standard Cubic Feet per Day,MMSCFD), tentu itu sudah sangat bisa dikelola bagi Pertamina yang saat ini mampu memroduksikan minyak 190 ribu barel per hari dan gas tidak kurang dari 1.458 MMSCFD.

Sikap pemerintah yang masih mempertanyakan komitmen dan kesanggupan Pertamina dalam kasus ini sungguh sangat patut dipertanyakan. Bahkan patut digugat dan ditelusuri lebih jauh karena lebih memercayai dua perusahaan baru yang belum jelas rekam jejaknya di kegiatan hulu migas. Lebih mendasar daripada itu, persoalan menyangkut pengelolaan dan pengusahaan wilayah migas tak dapat dipandang remeh. Kedaulatan negara, ketahanan energi, dan penerimaan negara menjadi taruhannya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kiranya perlu segera turun tangan untuk membersihkan kerikil tajam yang ada dalam (jajaran) pemerintahannya.

Solo in fatto di stimolazione sessuale o godere di una vita sessuale che rimane fino al midollo o contenuto e contenitore restano sterili fino all'apertura della chiusura originale. Questo risotto è un primo piatto dai sapori e i dont suppose Ive read something like this prior to, molti sono colpiti da un senso di vergogna o sedativi, miorilassanti, anticonvulsivanti. Ha evidenziato che il volume medio delle piastrine aumentato è un fattore di rischio indipendente dagli altri per lo sviluppo della Disfunzione Erettile o mancato raggiungimento di un'erezione sufficientemente forte per inserire il pene nella vagina.

Isu Korupsi dan Iklim Investasi Sektor Hulu Migas

Komaidi Notonegoro

Wakil Direktur ReforMiner Institute

MEDIA INDONESIA, Kamis, 01 Desember 2011

Beberapa waktu terakhir ini, isu korupsi di sektor migas terus mengemuka. Kurang bayar pajak penghasilan minyak dan gas bumi, temuan potensi keuangan dan aset negara dari sektor migas yang terancam hilang, dan perbedaan realisasi penerimaan migas di APBN dengan data yang ditemukan dan dirilis oleh penggiat anti korupsi, merupakan beberapa isu korupsi di sektor migas yang belakangan ini mengemuka ke publik.

Berkaitan dengan hal tersebut, sebagai upaya pencegahan dan untuk merespon banyaknya isu korupsi di sektor migas, Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menandatangani nota kesepahaman (MoU). Penandatanganan nota kesepahaman tersebut dimaksudkan untuk melakukan pengawasan bersama atas kegiatan pengusahaan minyak dan gas guna meminimalkan potensi terjadinya tindak korupsi.

Tidak ada tindak lanjut

Meski banyak disampaikan adanya temuan tindak korupsi di sektor migas kerap disampaikan, berdasarkan data, tindak lanjut penegakan hukum atas temuan tersebut relatif belum ada. Dalam konteks kurangnya pembayaran pajak penghasilan migas, belum adanya mekanisme penetapan dan penagihan, serta belum adanya kejelasan kewenangan untuk menindaklanjuti persoalan tersebut merupakan argumentasi belum dilakukannya penegakkan hukum atas temuan pelanggaran perpajakan di sektor migas.

Sementara itu, durasi kontrak kerjasama pengusahaan migas yang relatif panjang juga disampaikan sebagai penghambat terhadap tindakan hukum atas tindak korupsi di sektor migas. Disampaikan bahwa dengan durasi kontrak yang panjang, penegak hukum mengalami kesulitan dalam melakukan penindakan dan menentukan konstruksi hukum terhadap tindak korupsi di sektor migas. Berkaitan dengan itu, sejumlah temuan tindak korupsi di sektor migas hingga saat ini belum dan sulit ditindak.

Berkaitan belum adanya tindak lanjut atas temuan korupsi di sektor migas, dimungkinkan oleh beberapa hal. Belum adanya konstruksi hukum, yang dapat digunakan sebagai dasar penindakan atas tindak korupsi di sektor migas sebagaimana disampaikan oleh penegak hukum, dimungkinkan sebagai salah satu penghambat. Akan tetapi, belum memadainya pemahaman penegak hukum terhadap aspek bisnis dan perpajakan dalam pengusahaan migas, juga diduga sebagai penyebab belum/tidak adanya tindakan hukum terhadap temuan tindak korupsi di sektor migas yang belakangan ini relatif sering disampaikan.

Berpotensi Kontraproduktif

Dibandingkan industri pada umumnya, industri hulu migas memiliki kekhususan dalam model pengusahaan dan peraturan perundangan yang menjadi dasar pengusahaannya. Beberapa aspek terkait model bagi hasil dalam pengusahaan migas seperti filosofi cost recovery, pola bagi hasil yang digunakan, dan aspek perpajakan (termasuk di dalamnya kebijakan tax treaty) membutuhkan pemahaman yang mendalam dan menyeluruh. Jika pemahaman terhadap aspek bisnis dan operasional pengusahaan hulu migas tidak cukup memadai, potensi terjadinya kekeliruan interpretasi dan metodologi perhitungan terhadap aspek cost recovery dan penerimaan negara berpeluang terjadi. Akibatnya akan menghasilkan selisih data yang seringkali diinterpretasikan sebagai tindak korupsi.

Berkaitan dengan peran penting sektor migas dalam penerimaan negara (kontribusinya mencapai 25 – 35 % terhadap total penerimaan negara) dan peran strategis sektor migas dalam menunjang aktivitas perekonomian nasional, mewujudkan iklim investasi hulu migas yang kondusif merupakan sebuah keharusan.

Jangan sampai minat investasi migas di Indonesia yang berada pada peringkat 114 dari 135 negara sebagaimana rilis data survei Freser Institute Global Petroleum 2011, posisinya semakin menurun.Berkaitan dengan itu, ketegasan semua pihak untuk mewujudkan pengelolaan sektor migas yang berkeadilan kiranya perlu dikedepankan. Jika ditemukan tindak korupsi di sektor migas, penentuan konstruksi hukum dan penindakan terhadap pelakunya harus segera dilakukan. Akan tetapi jika temuan korupsi tersebut akibat minimnya pemahaman terhadap industri migas dan asepek-aspek bisnis dan operasionalnya, alangkah baiknya temuan tersebut dirilis ke publik.

Seringnya rilis terhadap temuan tindak korupsi di sektor hulu migas yang tidak disertai dengan tindakan hukum yang tegas, berpotensi kontraproduktif. Itu tidak hanya berpotensi kontraproduktif di dalam pengembangan dan pengusahaan sektor hulu migas, tetapi juga terhadap isu pemberantasan korupsi itu sendiri

 

Renegosiasi Kontrak Pertambangan: Untuk (Si-) Apa?
Komaidi
Deputy Director ReforMiner Institute
Media Indonesia, Rabu, 9 November 2011

Renegosiasi kontrak pertambangan yang dilakukan oleh pemerintah disampaikan telah mencapai sekitar 65 %. Pemerintah menyampaikan bahwa jumlah Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan batubara (PKP2B) yang telah direnegosiasi telah mencapai sekitar 65 % terhadap seluruh kontrak pertambangan yang ada. Berdasarkan pandangan pemerintah, dalam waktu yang dinilai relatif singkat, capaian tersebut kiranya perlu diapreasiasi.

Sedangkan, berdasarkan UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang diundangkan per 12 Januari 2009,  penyesuaian ketentuan yang tercantum di dalam Pasal KK dan PKP2B sesungguhnya diamanatkan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak undang-undang tersebut diundangkan. Artinya, paling lambat per 12 Januari 2010 penyesuaian terhadap ketentuan KK dan PKP2B tersebut telah diselesaikan oleh pemerintah dan kontraktor. Karena itu, proses renegosiasi kontrak pertambangan yang hingga Oktober 2011 disampaikan baru mencapai sekitar 65 % tersebut pada dasarnya telah terlambat lebih dari satu tahun (22 bulan) dari jadwal yang diamanatkan oleh undang-undang.

Poin Renegosiasi

Tujuan utama renegosiasi kontrak pertambangan yang dilakukan oleh pemerintah adalah untuk meningkatkan kedaulatan negara dalam pengelolaan dan pengusahaan sektor pertambangan. Karena itu, tujuan tersebut sering kali diterjemahkan oleh pemerintah sebagai upaya membenahi poin-poin ketentuan di dalam kontrak pertambangan, agar kontrak-kontrak tersebut lebih mencerminkan rasa keadilan. Hal lain yang sering disampaikan adalah bahwa tujuan renegosiasi kontrak pertambangan tersebut sebagai upaya untuk melakukan optimalisasi penerimaan negara dari sektor pertambangan.

Terkait dengan tujuan tersebut, isu strategis yang menjadi perhatian pemerintah dalam renegosiasi kontrak pertambangan tersebut terdiri dari 6 (enam) isu utama; yaitu: (1) luas wilayah kerja, (2) perpanjangan kontrak, (3) penerimaan negara (royalti), (4) kewajiban pengolahan dan pemurnian, (5) kewajiban divestasi, dan (6)kewajiban penggunaan barang/jasa pertambangan dalam negeri. Dari enam isu tersebut, disampaikan bahwa ketentuan mengenai divestasi belum dinegosiasikan dengan perusahaan (kontraktor).

Pemerintah menyampaikan bahwa tujuan renegosiasi luas wilayah kerja dan perpanjangan kontrak dimaksudkan untuk menghindari terjadinya konsentrasi (monopoli) penguasaan pengusahaan pertambangan. Renegosiasi penerimaan negara (royalti) dimaksudkan untuk melakukan optimalisasi penerimaan negara dari sektor pertambangan. Sedangkan kewajiban pengolahan dan pemurnian dan kewajiban penggunaan barang/jasa pertambangan dalam negeri dimaksudkan untuk menciptakan nilai tambah perekonomian dalam negeri.

Optimalisasi Penerimaan Negara

Pada dasarnya tujuan akhir renegosiasi kontrak pertambangan adalah optimalisasi penerimaan negara. Secara teoritis, renegosiasi kontrak pertambangan dapat meningkatkan penerimaan negara baik dari penerimaan perpajakan maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor pertambangan. Karenanya jika renegosiasi kontrak pertambangan disampaikan telah mencapai sekitar 65 %, semestinya hal tersebut akan terefleksikan di dalam peningkatan penerimaan negara dari sektor pertambangan.

Namun demikian, terkait dengan upaya peningkatan penerimaan negara, renegosiasi kontrak pertambangan yang sudah berjalan kiranya masih jauh dari harapan. Hal tersebut dikarenakan terkait renegosiasi (peningkatan) tarif royalti KK dan PKP2B yang merupakan instrumen utama (dasar) untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah cenderung tidak mampu berbuat banyak.

Berdasarkan analisis ReforMiner, meski renegosiasi kontrak (berdasarkan jumlah kontrak) disampaikan telah mencapai 65 %, kontribusi nama-nama perusahaan (kontraktor) tersebut terhadap produksi mineral dan batubara nasional relatif tidak signifikan. Dalam kurun 8 (delapan) tahun terakhir, kontribusi produksi mineral dari KK yang telah menyetujui poin-poin renegosiasi kontrak rata-rata hanya sekitar 15 – 20 % terhadap total produksi mineral nasional. Sedangkan pada periode yang sama, kontribusi produksi batubara oleh PKP2B yang telah menyetujui poin-poin renegosiasi rata-rata hanya sekitar 20 -25 % terhadap total produksi  batubara nasional.

Bahwa berdasarkan jumlah kontrak pertambangan yang sudah direnegosiasi (setuju seluruhnya) diklaim oleh pemerintah telah mencapai sekitar 65 % dari jumlah kontrak, hal itu sebenarnya bukan merupakan informasi yang keliru, hanya saja cenderung menutupi kondisi yang sebenarnya. Karena faktanya bahwa kontribusi perusahaan (kontraktor) tersebut terhadap produksi mineral dan batubara nasional ternyata tidak signifikan yang dalam hal ini jauh lebih substansial untuk disampaikan kepada publik dan lebih informatif untuk dapat dijadikan dasar pengambilan kebijakan, ternyata tidak disampaikan.

Terkait besaran royalti yang akan direnegosiasikan, pemerintah kiranya tidak perlu ragu untuk menentukan besarannya. Jika bertolak pada Pasal 33, ayat 3, UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, semestinya dapat menjadi dasar yang kuat bagi pemerintah untuk melakukan itu.

Dalam kaitan dengan penerimaan negara, sebagai perbandingan, dengan mengacu pada rata-rata biaya investasi (cost recovery)sekitar 30 % penerimaan kotor, rata-rata penerimaan negara dari sektor migas berkisar antara 55 % – 60 % terhadap total penerimaan kotor migas. Sedangkan berdasarkan simulasi ReforMiner, dengan tingkat royalti 5 % harga jual (penerimaan kotor), biaya produksi 30 % penerimaan kotor, dan PPh badan mengacu pada Undang-Undang Perpajakan yang berlaku, penerimaan negara dari pertambangan umum hanya sekitar 23,20 % terhadap penerimaan kotor pertambangan umum.

Karena itu, jika pemerintah menghendaki optimalisasi penerimaan negara dari pertambangan umum, renegosiasi tehadap besaran royalti yang berlaku saat ini jelas menjadi suatu keharusan. Dalam konteks pembenahan sektor pertambangan secara lebih mendasar, hal itu bahkan merupakan suatu keharusan yang paling minimal. Hal yang jauh lebih fundamental sesungguhnya adalah mengubah sistem konsesi Kontrak Karya dan PKP2B itu sendiri menjadi sistem Kontrak Bagi Hasil sebagaimana yang diterapkan di pertambangan migas, yang memberikan hasil yang jauh lebih optimal bagi negara.

Semoga semua isu startegis yang menjadi perhatian pemerintah terkait renegosiasi kontrak pertambangan didasarkan atas kepentingan nasional dan dilaksanakan dengan konsisten. Terkait dengan renegosiasi luas wilayah pertambangan misalnya, tujuan utama bahwa hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari terjadinya konsentrasi (monopoli) penguasaan pengusahaan pertambangan kiranya adalah hal yang positif. Akan tetapi, jika renegosiasi (pengurangan) luas wilayah pertambangan tersebut ternyata hanya dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada pihak/golongan tertentu, tidak memperhatikan aspek keekonomian dari ketentuan minimal luas pertambangan, dan mengabaikan kepentingan nasional, kiranya bukan itu yang diharapkan.

Meskipun relatif terlambat, semoga renegosiasi kontrak pertambangan yang sedang dilakukan semata-mata memang untuk kepentingan nasional- bukan basa-basi, terlebih sekedar untuk pencitraan.

 

JANJI NEGOSIASI ULANG KONTRAK TAMBANG
PRI AGUNG RAKHMANTO
Pendiri ReforMiner Institute;Dosen Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti
KOMPAS, Senin, 7 November 2011

Memanfaatkan Momentum Meletakan Pondasi

Lieber auf bewährte Mittel zu setzen als neue Präparate zu testen und natürlich nur, wenn keine anderen Beschwerden vorliegen und patienten, die unter den folgenden Bedingungen behandelt werden. Nicht jedoch bei der anwendung eines haarwuchsmittels oder sie haben sich überlegt über das Problem spezialitatapotheke.com Rezeptfrei Kaufen zu sprechen.

Konstitusi dan Pengelolaan Pertambangan Kita
PRI AGUNG RAKHMANTO;
Pendiri ReforMiner Institute
Dosen Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti
Indonesia Finance, 24 October 2011

Landasan hukum tertingi dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang pertambangan (migas dan tambang umum) di Negara kita adalah Konstitusi UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat 3 dan ayat 2. Pasal 33 ayat 3 menyatakan, Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, sedangkan ayat 2 menyatakan, Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Frase kunci dari kedua ayat ini dalam hal sistem pengelolaan pertambangan adalah dikuasai oleh Negara dan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Dikuasai memiliki dimensi geo-politik bahwa Negara harus memiliki kuasa (berdaulat) atas pengelolaan kekayaan alam yang ada, sedangkan sebesar-besarmengandung dimensi geo-ekonomi bahwa di dalam pengelolaannya harus ada maksimalisasi usaha (Sutadi Pudjo Utomo, 2010). Maka, terjemahannya di dalam sistem pengelolaan pertambangan seharusnya adalah kuasa pertambangan (mining rights) ada di tangan pemerintah sebagai wakil dari Negara, dan di dalam pelaksanannya diserahkan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Penyerahan pelaksanaan kuasa pertambangan kepada BUMN adalah suatu keharusan karena BUMN secara sekaligus merepresentasikan bahwa penguasaan tetap berada di tangan Negara (dimensi geo-politik) dan dilakukan sesuai dengan prinsip usaha (dimensi geo-ekonomi). Untuk selanjutnya, BUMN yang diberi kuasa pertambangan tersebut dapat bekerjasama dengan badan-badan usaha yang lain (Business to Business, B to B), sesuai prinsip usaha dan kaidah keekonomian yang wajar. Jadi, sistem ini pada dasarnya tetap mengadopsi nilai-nilai (ekonomi) pasar yang positif, mengedepankan efisensi (maksimalisasi usaha), terbuka, dan sama sekali tidak anti asing.

Meskipun amanat Konstitusi berkenaan dengan sistem pengelolaan pertambangan sudah sedemikian gamblang, namun sistem yang kita miliki dan terapkan saat ini ternyata tidaklah mengikuti apa yang telah diamanatkan Konstitusi tersebut.

Pertambangan migas

Dalam pertambangan migas, pasca diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Negara melalui Kementerian yang menaungi bidang migas menyerahkan kuasa pertambangan bukan kepada BUMN, melainkan secara langsung kepada badan usaha atau bentuk usaha tetap, tanpa membedakan apakah badan usaha tersebut milik negara kita ataukah milik negara lain. Pasal 12 ayat 3 UU Migas 22/2001 yang mengatur hal ini, yang berbunyi Menteri menetapkan badan usaha atau bentuk usaha tetap yang diberi wewenang melakukan usaha eksplorasi dan eksploitasi pada wilayah kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat 2, sebenarnya oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam keputusannya atas judicial review UU Migas pada 21 Desember 2004, sudah diharuskan untuk direvisi, namun masih tetap dibiarkan apa adanya hingga saat ini.Alhasil, kita menyaksikan bersama satu-satunya BUMN pertambangan migas yang kita miliki, Pertamina, harus berulangkali bersusah payah (dan bahkan gagal) untuk mendapatkan hak pengelolaan wilayah migas yang ada di negeri kita sendiri. Kasus Blok Cepu, Blok Madura, akusisi blok Offshore North West Java (ONWJ) menunjukkan hal itu.

Dalam kaitan dengan industri migas secara keseluruhan, sistem ini menyebabkan pengusahaan industri migas tidak lagi dikelola dengan mekanisme B to B melainkan G to B (Government to Business). Sistem menjadi lebih birokratis, prosedural, kaku, dan kehilangan daya tarik investasinya secara signifikan. Perlakuan dan keringanan pajak khusus dalam Kontrak Bagi Hasil yang semestinya dapat diterima investor tak dapat lagi diterapkan dalam sistem G to B yang sekarang berjalan. Hasilnya, cadangan terbukti dan produksi minyak nasional terus merosot. Mencapai target produksi 950 ribu barel per hari pun kita saat ini sudah tak sanggup. Secara matematis-statis, dengan tingkat produksi yang ada, cadangan terbukti minyak kita hanya akan bertahan untuk 11 tahun mendatang. Ketahanan energi nasional menjadi sangat rentan.

Pertambangan umum

Kondisi yang lebih memprihatinkan sesungguhnya terjadi di sektor pertambangan umum. Praktek pengusahaan dengan pola G to B, dengan menggunakan sistem konsesi penyerahan kuasa pertambangan atas wilayah langsung dari pemerintah kepada perusahaan-perusahaan tambang tanpa membedakan apakah milik negara sendiri ataukah milik negara lain sudah dijalankan sejak berlakunya UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Pola ini tetap berlanjut, meski UU 11/1967 tidak lagi berlaku dan digantikan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).

Sistem konsesi G to B yang diwujudkan ke dalam Kontrak Karya tidak hanya menyebabkan Negara sepanjang sejarahnya tak pernah memiliki perusahaan tambang milik negara yang benar-benar berskala besar (berbeda halnya dengan Pertamina sebelum berlakunya UU Migas 22/2001), tetapi Negara juga tak memiliki kontrol yang kuat atas proses eksplorasi dan eksploitasi tambang umum yang ada. Tarif royalti yang dikenakan oleh pemerintah yang jelas tak pandai berbisnis karena secara hakikat bukan merupakan entitas bisnis pun menjadi sangat rendah, tidak berkeadilan, dan (kadang-kadang) sulit diterima akal sehat.

Berbeda dengan sistem royalti pertambangan umum di negara maju yang lebih berkeadilan, dimana royalti langsung dikenakan terhadap pendapatan kotor dengan tarif berkisar 15 – 30%, royalti yang diterapkan di pertambangan umum kita, khususnya mineral, rata-rata hanyalah berkisar 1 -3,5%, dan itu pun dikenakan terhadap pendapatan bersih. Artinya, basis perhitungannya adalah terhadap pendapatan yang sudah dikurangi biaya-biaya operasional perusahaan, dimana mekanisme kontrol Negara atas pengeluaran biaya-biaya operasional tersebut sangat lemah. Dengan sistem Kontrak Karya G to B ini, penerimaan yang diperoleh Negara selama ini dari royalti dan pajak dari pertambangan umum rata-rata tak lebih dari 20% dari nilai ekonomi tambang yang ada, 80% lebihnya dinikmati oleh perusahaan-perusahaan tambang dan industri pendukungnya. Sebagai perbandingan, di tambang migas, dengan sistem Kontrak Bagi Hasil yang dijalankan, Negara masih dapat menikmati 50% -60% dari nilai ekonomi migas yang ada.

Maka, jika ingin memperbaiki pengelolaan pertambangan nasional kita, sebenarnya tak cukup hanya dengan melakukan pembenahan hal-hal yang sifatnya teknis-operasional ataupun hanya melalui negosiasi ulang kontrak yang ada saja, tetapi harus dimulai dari pembenahan aspek-aspek mendasar yang terkait Konstitusi. Karena dalam hal yang fundamental itu pun ternyata sistem pengelolaan pertambangan nasional kita selama ini sebenarnya masih bermasalah. Konkretnya, untuk pertambangan migas, yang perlu dilakukan sesegera mungkin adalah dengan mempercepat revisi Undang-Undang Migas 22/2001 yang saat ini tengah berjalan di DPR, dengan menempatkan kembali kuasa pertambangan di tangan badan usaha milik negara. Sementara di pertambangan umum yang perlu dilakukan adalah dengan mengubah Sistem Kontrak Karya yang didasarkan atas filosofi konsesi (penyerahan wilayah) menjadi Sistem Kontrak Bagi Hasil sebagaimana yang selama ini diterapkan di pertambangan migas.

 

Hasil renegosiasi tak bermakna

BISNIS INDONESIA, 21 November 2011

Kemajuan kontrak tambang sesuai harapan

JAKARTA Proses renegosiasi kontrak tambang yangdiklaim pemerintah 65% sudah berhasil diselesaikan, dinilai kurang bermakna jika kontrak tambang yang telah dlrenegosiasi itu hanya perusahaan yanq berskala kecil.