Pengamat: Pertamina Mampu Kelola Sendiri Blok Migas ONWJ

www.investor.co.id;Senin, 28 November 2016 | 10:32

JAKARTA– Pertamina dinilai bisa mengelola sendiri lapangan-lapangan migas yang habis masa kontraknya, termasuk Blok Offshore North West Java (ONWJ), bersama badan usaha milik daerah yang ditunjuk oleh pemerintah.

“Masalah pengelolaan saya kira fleksibel. Jika keuangan mencukupi, lebih baik dikelola sendiri. Namun tidak ada salahnya membuka peluang kerja sama dengan pihak lain,” ujar pengamat energi dari ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro di Jakarta, Minggu.

Komaidi seperti dilansir Antara mengatakan, Pertamina saat ini makin dipercaya untuk mengelola blok migas, khususnya terhadap blok yang habis kontraknya. Untuk pengelolaan, Pertamina bisa mengelola sendiri atau menjalin dengan pihak lain.

Menurut Ketua Alumni Minyak dan Gas Ibrahim Hasyim, banyak lapangan yang akan jatuh tempo dan arahnya ke penguasaan badan usaha milik negara (BUMN) dan sebagian partisipasi daerah. Bagaimana selanjutnya, tentu ada aksi korporasi, apakah dikelola sendiri atau bisa masuk badan usaha lain, manajemen Pertamina yang akan memutuskan hal ini karena ini sebuah keputusan strategis.

“Keraguan pada Pertamina seharusnya tidak perlu terjadi karena perusahaan ini telah menunjukkan produksi yang terus naik,” ujar Ibrahim.

Pemerintah resmi menyerahkan pengelolaan Blok ONWJ sepenuhnya kepada Pertamina mulai 19 Januari 2017. Namun, pemerintah juga memberikan hak partisipasi sebesar 10% kepada PT Migas Hulu Jabar, badan usaha milik daerah Provinsi Jawa Barat.

Komposisi hak kelola Blok ONWJ terdiri atas Pertamina Hulu Energi (PHE) ONWJ sebesar 58,28%, Energi Mega Persada ONWJ Ltd sebesar 36,72%, dan Kuwait Foriegn Petroleum Exploration Company (Kufpec) Indonesia (ONWJ) BV sebesar 5%.

Pada akhir Desember 2015, SKK Migas dan Pertamina meneken perpanjangan kontrak Blok ONWJ. Dari hasil perjanjian disetujui komposisi hak kelola blok pascaberakhirnya kontrak per 19 Januari 2017, berubah menjadi PHE ONWJ sebesar 73,5%, Energi Mega 24%, dan Kufpec 2,5%.

Direktur Hulu Pertamina, Syamsu Alam menjelaskan Pertamina akan menguasai hak partisipasi Blok ONWJ sesuai penunjukan pemerintah. Terkait adanya permintaan pemerintah agar BUMD Provinsi Jawa Barat memiliki hak partisipasi 10%, Syamsu mengatakan, hingga kini belum ada pembicaraan.

“Yang maufarm in, business to businessdengan Pertamina, termasuk BUMD Jabar. Belum ada komunikasi sampai saat ini. BUMD Jabar juga harus setor jika ingin ikut serta,” tegas Syamsu.

Menurut Syamsu, praktis saat ini Blok ONWJ dikelola sendiri oleh Pertamina melalui PHE ONWJ, anak usaha PT Pertamina Hulu Energi. Meski ada mitra lain di Blok ONWJ, menurut Syamsu, para mitra tersebut tidak banyak memberikan kontribusi terhadap arus kas (cash flow) perusahaan.

PHE ONWJ mencatatkan produksi minyak 37.112 barrel oil per day (BOPD) dan gas 172,5 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) di Blok ONWJ. PHE ONWJ memasok gas ke PT PLN (Persero) melalui Pembangkit Tenaga Listrik Muara Karang dan Tanjung Priok dan Pupuk Kujang di Cikampek, Jawa Barat dan Refinery Unit VI Balongan, Indramayu. Selain itu, gas PHE-ONWJ juga dialirkan untuk Bahan Bakar Gas (BBG) nasional.

Wilayah operasi Blok ONWJ mencakup area sekitar 8,300 kilometer persegi di Laut Jawa yang terletak di sebelah utara Cirebon sampai ke Kepulauan Seribu.

Sebelumnya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan menegaskan kontrak pengelolaan Blok ONWJ telah selesai, dan Pertamina yang akan melanjutkan pengelolaannya. Keputusan untuk mengajak mitra atau tidak, sepenuhnya berada di tangan Pertamina.

“Nanti Pertamina terserah mau ajak partner lagi atau bagaimana, silahkan sajabusiness to business,”tegas Jonan di sela kunjungan kerja ke Pembangkit Listrik Panas Bumi Lahendong, Minahasa (26/11). (gor)

Skema Kontrak Baru Belum Bisa Kembangkan Migas Nonkonvensional

(Katadata.co.id,29 November 2016)

Saat ini (tawaran skema kerja sama migas nonkonvensional) memang tidak cukup menarik bagi investor. Apalagi saat ini harga minyak rendaha

Upaya pemerintah mempercepat pengembangan industri migas nonkonvensional melalui Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 38 Tahun 2015 dianggap belum efektif. Aturan ini dinilai belum bisa membuat industri ini berkembang

Founder ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan blok minyak dan gas bumi (migas) nonkonvensional ini memang sangat penting untuk dikembangkan. Alasannya, blok-blok ini dapat menjadi cadangan untuk menggantikan produksi blok migas konvensional yang semakin menyusut.

Dia mengakui bahwa pemerintah memang telah berupaya mengubah aturan dan skema kerja sama untuk pengelolaan blok migas nonkonvensional lebih menarik. Dalam aturan tersebut pemerintah memberikan tiga skema kerja sama yang bisa digunakan dalam kontrak migas nonkonvensional. Sebelumnya, kontraktor migas nonkonvensional hanya bisa menggunakan skema bagi hasil produksi yang teh ditentukan pemerintah.

Namun, dia menganggap skema kerja sama ini bukanlah masalah utama yang mengakibatkan migas nonkonvensional sulit berkembang saat ini. “Skema kontrak yang ditawarkan sebenarnya cukup menarik. Tetapi pokok permasalahan saat ini bukan pada skema kontrak tersebut,” kata Pri saat dihubungiKatadata, Senin (28/11).

Menurutnya, untuk menarik minat investasi di blok migas nonkonvensional, pemerintah harus berbenah diri secara internal dan birokrasinya. Permasalahan utama kurang berkembang blok ini adalah data teknis yang dimiliki pemerintah dinilai masih sangat mentah. Hal ini membuat adanya ketidakpastian produksi blok tersebut yang sangat tinggi dan investor tidak bisa mengkalkulasi bisnis ini secara ekonomi.

“Saat ini (tawaran skema kerja sama migas nonkonvensional) memang tidak cukup menarik bagi investor. Apalagi saat ini harga minyak rendah,” ujarnya.

Selain itu, masih banyak permasalahan lain yang belum bisa diselesaikan oleh pemerintah. Pri menyebutkan, permasalahan seperti ketidakpastian hukum akibat revisi undang-undang migas yang belum selesai, kurangnya pemerintah menghormati kontrak yang telah dibuat, perizinan dan birokrasi yang masih berbelit-belit, serta pembebasan lahan yang memerlukan waktu lama. Semua permasalahan inilah yang menghambat pengembangan blok migas nonkonvensional saat ini.

Dia mengatakan pemerintah perlu mengalokasikan anggaran untuk meningkatkan kualitas data melalui studi-studi geologi dan geofisika lanjutan. Pemerintah juga harus melakukan uji seismik dan pengeboran sumur-sumur eksplorasi awal. Selain itu, pemerintah juga didorong untuk mengatasi permasalahan internal yang seringkali menghambat pengembangan blok migas di berbagai wilayah.

Seperti diketahui, Kementerian ESDM telah mengeluarkan aturan untuk mempercepat pengembangan migas nonkonvensional sejak tahun lalu. Dalam aturan tersebut ada tiga skema kontrak kerjasama yang bisa digunakan, yakni kontrak bagi hasil, kontrak bagi hasilsliding scaledan kontrak bagi hasilgross split sliding scale.

Untuk kontrak bagi hasil dan kontrak bagi hasilsliding scale, hasil penjualan dibagi tanpa memperhitungkan jatah pemerintah pada awal produksi (first tranche petroleum/FTP) dan pengembalian biaya operasi (cost recovery). Sementara untuk kontrak bagi hasilgross split sliding scalehasil penjualan dibagi berdasarkan bagi hasil sesuai dengan kontrak kerja sama.

Mengenai masa kontraknya, jangka waktu kontraktor kerja sama paling lama 30 tahun. Setelah kontraknya habis, masih bisa diperpanjang paling lama dua puluh tahun untuk setiap kali perpanjangan. Perpanjangan kontrak dilakukan berdasarkan pertimbangan aspek teknis dan keekonomian pengembangan lapangan.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM I.G.N. Wiratmaja Puja mengatakan, pelaku industri boleh menggunakan skema kerjasama selain kontrak bagi hasil untuk blok migas nonkonvensional yang sedang dilelang. Pakaisliding scale gross splitbisa,ujarnya.

Komponen BPP Tenaga Listrik Tahun 2016

listrik 6

Perkembangan Porsi Batubara Dalam Bauran Energi Indonesia 2010-2015

Screenshot 1

Penggantian Terkendala Data

(Kompas, 23 November 2016)

Pengembangan Migas Non konvensional Tidak Menarik bagi Investor

Jakarta Pengembangan minyak dan gas bumi non konvensional untuk mengantisipasi berkurangnya cadangan migas konvensional di Indonesia masih sulit dilakukan. Investor tidak tertarik untuk masuk ke bisnis ini karena tidak tersedia data yang akurat. Padahal, potensi migas non konvensional sangat besar.

Untuk itu, diperlukan kajian lebih lanjut agar data sumber daya migas non konvensional tersebut lebih meyakinkan bagi investor. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, cadangan migas non konvensional di Indonesia terdiri dari gas metana batubara sebesar 453,3 triliun kaki kubik (TCF) dan shale gas sebesar 575,7 TCF.

Saat ini terdapat 54 wilayah kerja migas non konvensional. Akan tetapi, baru satu wilayah kerja yang sudah berproduksi, yaitu Lapangan Mutiara di Kalimantan Timur oleh VICO Indonesia. Produksi migas non konvensional dari lapangan itu sebesar 0,5 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD). Jenis gas yang dikembangkan adalah gas metana batubara.

Pengamat energi dari Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, berpendapat, pengembangan migas non konvensional di Indonesia relatif tidak menarik bagi investor sehingga menyebabkan pengembangannya terbilang lamban. Lambannya pengembangan terjadi bukan karena faktor teknologi, melaikan persoalan kepastian berbisnis terkait dengan cadangan terbukti migas non konvensional tersebut.

Selama ini, kan, selalu disebut potensinya sekian. Akan tetapi, belum pernah dikaji lebih lanjut sehingga timbul ketidakpastian bagi investor. Ternyata, setelah dibor, hasilnya tidak seperti yang diduga sebelumnya. Belum pastinya mengenai cadangan sebenarnya ini yang membuat investor enggan, ujar Pri Agung, Selasa (22/11), di Jakarta.

Pri Agung menambahkan, pemerintah sebaiknya melakukan kajian lebih serius untuk menghasilkan data yang lebih akurat mengenai potensi cadangan migas non konvensional tersebut. Angka-angka potensi cadangan migas non konvensional tersebut masih spekulatif dan belum memberikan jaminan keekonomian tinggi dimata investor. Data migas non konvensional perlu lebih dimatangkan lagi.

Bagi Hasil

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM I Gusti Nyoman Wiratmaja, saat ditemui di sela rapat di Komisi VII DPR, mengatakan, penawaran wilayah Kerja migas non konvensional memang kurang diminati. Dari empat wilayah kerja yang ditawarkan tahun ini, belum satu investor pun yang mengajukan penawaran. Mereka baru bertanya soal wilayah kerja yang ditawarkan itu. Yang Berprodouksi di Indonesia baru satu dan produksinya kecil, sekitar 0,5 MMSCFD. Lainnya juga ada, tetapi jauh lebih kecil, Kata Wiratmaja.

Untuk mendukung pengembangan migas non konvensional, Menteri ESDM menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 38 Tahun 2015 tentang Percepatan Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi Non konvensional. Dalam Aturan itu, pemerintah menawarkan model bagi hasil, seperti bagi hasil fleksibel dan bagi hasil sesuai kesepakatan. Akan tetapi, biaya investasi sepenuhnya ditanggung investor.

Migas non konvensional terdiri dari antara lain, shale gas, shale oil dan gas mentana batubara. Pengeboran migas jenis ini memerlukan teknik dan teknologi tertentu. Amerika Serikat adalah negara yang sudah maju mengembangkan migas non konvensional.

Perkembangan Porsi Konsumsi Energi Sektor Transportasi

Screenshot 3

Proyeksi Status Listrik EBT 2017

Screenshot 6

Infrastruktur Gas Perlu Diperluas

(koransindo.com: Minggu,10 Juli 2016)

JAKARTA Infrastruktur gas yang masih minim dinilai menjadi salah satu faktor yang membuat harga gas domestik tinggi. Padahal, dengan produksi gas nasional yang cukup besar, seharusnya bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan domestik.

Receiving gas terminal dan jaringan pipa-pipa gas ke industri dan rumah tangga harus dibangun holding BUMN energi. Baru bisa menekan harga gas, ujar Wakil Sekretaris Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Herman Kasih di Jakarta, belum lama ini. Seperti diketahui, pemerintah telah memutuskan untuk membentuk induk usaha (holding) BUMN sektor energi dengan menggabungkan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGN) ke dalam PT Pertamina (Persero).

Penggabungan kedua BUMN tersebut kini tengah dimatangkan, sambil menunggu terbitnya peraturan pemerintah tentang pembentukan holding BUMN. Pembentukan holding diyakini akan membuat operasional perusahaan semakin efisien sekaligus mendongkrak keuntungan yang bisa diperoleh. Hal itu penting untuk menggenjot kemampuan investasi guna membangun dan mengembangkan infrastruktur gas di dalam negeri.

Pengamat energi dari Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, penggabungan PGN ke dalam Pertamina akan memberikan dampak positif bagi perseroan terhadap akses pasokan gas dari hulu. Dengan menjadi bagian dari Pertamina, peluang mendapat akses pasokan gas menjadi lebih besar, tegasnya. Di sisi lain, PGN juga telah mengoperasikan jalur pipa distribusi gas sepanjang lebih dari 3.750 km dan jalur pipa transmisi gas bumi yang terdiri dari jaringan pipa bertekanan tinggi sepanjang sekitar 2.160 km yang mengirimkan gas bumi dari sumber gas bumi ke stasiun penerima pembeli.

Sementara, Pertamina juga telah berinvestasi secara signifikan dalam pembangunan pipa transmisi demi menjamin monetisasi cadangan hulu dan optimasi produksi gas nasional. Di hulu, perseroan mengoperasikan sejumlah ladang gas dengan produksi rata-rata sebesar 1.700 juta kaki kubik per hari (MMSCFD).

Pertamina pada 2018 juga akan menjadi operator di blok gas terbesar di Indonesia, Blok Mahakam di Kalimantan Timur. Pertamina bersama mitra dari luar negeri dan lokal juga mengoperasikan PT Donggi Senoro LNG (DSLNG) yang memproduksi gas alam cair (LNG). Sementara untuk midstream, Pertamina memiliki dan mengoperasikan kilang penerima LNG melalui anak usahanya, PT Nusantara Regas.

Pertamina menguasai 60% saham PT Nusantara Regas dan 40% sisanya dikuasai badan usaha lainnya. Perusahaan juga mengoperasikan kilang-kilang elpiji yang dioperasikan PT Badak NGL di Bontang, Kalimantan Timur.

Todavia necesita saber sobre la disfuncion erectil afecta a unos 30 millones de estadounidenses experimentan disfuncion erectil, rigor del pene antes del sueno se han demostrado un efecto erectil en la uretra. Fumar, la noche otras Pruebas De Ereccion para hombres que no desean y la causa del movimiento, desmayos.

Kerangka Dasar Revisi UU Migas
Pri Agung Rakhmanto
Dosen FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute
Kompas, 5 November 2016

Menteri ESDM Ignasius Jonan menyebut beberapa program yang akan menjadi prioritasnya. Di antaranya yang terkait migas adalah penyelesaian revisi UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas.

Memang, progres yang dicapai dalam proses revisi UU Migas yang sudah bergulir sejak direkomendasikan Panitia Khusus Hak Angket BBM pada 2008 sangat lambat.Perbedaan pandangan dan tarik-menarik kepentingan dari sejumlah pihak disebut sebagai penyebab lambannya proses revisi tersebut.

Beberapa isu utama yang selama ini cukup alot adalah yang menyangkut aspek penguasaan dan pengusahaan, kelembagaan pengelolaan migas baik di hulu maupun hilir, harga BBM dan gas dalam negeri, kepastian hukum dan kontrak pengusahaan migas, serta pengaturan menyangkut perpajakan dan aspek fiskalnya.

Menyatukan perbedaan pandangan dan kepentingan atas isu- isu di atas dan menuangkannya ke dalam suatu ketentuan peraturan perundangan memang dan sudah tentu bukan perkara mudah. Namun, jika prinsip- prinsip mendasar dari pengelolaan migas yang diturunkan dari Pasal 33 UUD 1945 benar-benar dipahami dan digunakan sebagai kerangka dasar di dalam merevisi UU Migas, perbedaan pandangan dan tarik-menarik kepentingan itu sejatinya tetap dapat dijembatani secara konstruktif

Prinsip konstitusional

Prinsip konstitusional menjadi suatu keharusan untuk dijalankan. Mengabaikan prinsip- prinsip konstitusional di dalam revisi UU Migas hanya akan menjadikan UU Migas baru nanti (kembali) rawan gugatan dan menciptakan ketidakpastian hukum, yang dimensi ataupun implikasinya sangat luas.

Putusan Mahkamah Konstitusi No 36/PUU.X/2012 yang telah membatalkan 18 ketentuan yang mengatur kedudukan, fungsi, dan tugas BP Migas dalam pengelolaan hulu migas sehingga tidak lagi memiliki kekuatan hukum tetap harus dijadikan rujukan utama. Dua putusan MK sebelumnya, putusan No 002/PPU-I/2003 dan putusan No 20/PUU.V/2007 yang telah menetapkan pasal yang berkaitan dengan penetapan harga migas di dalam negeri harus direvisi dan/atau dibatalkan, juga harus dijadikan sebagai acuan utama.

Di dalam aspek penguasaan dan pengusahaan, kerangka dasar yang harus dipegang adalah bahwa sepanjang migas masih berupa kekayaan alam dan sebelum titik penyerahan, masih harus dikuasai dan tetap merupakan milik negara. Sementara ketika migas sudah menjadi komoditas atau ketika sudah menjadi produk turunannya, tidak lagi harus dikuasai negara.

Dalam hal ini yang masih harus dikuasai negara atau negara masih harus memiliki kendali yang kuat adalah di dalam cabang produksinya, yaitu di tahapan pengolahannya (industri kilang). Sementara untuk tahapan pengangkutan, penyimpanan, dan niaga yang bukan merupakan bagian dari cabang produksi, tetapi lebih merupakan bagian dari sistem distribusi tidak harus dikuasai negara dan pengusahaannya dapat diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan.

Untuk kegiatan usaha hulu migas, kerangka dasar yang harus dipenuhi adalah bahwa hak kepemilikan atas kekayaan (mineral rights) harus di tangan negara, sementara penyelenggaraan kegiatan usaha migas (mining rights) harus di tangan pemerintah sebagai wakil negara. Penyelenggaraan kegiatan usaha migas juga harus menggunakan prinsip “sebesar-besar”-nya kemakmuran rakyat. Karena itu, dalam pelaksanaannya, kegiatan usaha migas harus diserahkan kepada badan usaha, yang dalam hal ini adalah badan usaha milik negara. Jika diperlukan, BUMN dapat bekerja sama dengan pihak lain sepanjang memberikan manfaat ekonomi lebih besar dan tidak menghilangkan kedaulatan negara.

Dalam konteks ini, agar tidak rawan dan dipermasalahkan secara hukum, kedudukan SKK Migas sebagai lembaga yang mewakili negara/pemerintah dalam pengelolaan dan pengusahaan hulu migas, yang dibentuk hanya berdasarkan Perpres No 9/2013, perlu diatur kembali karena masih belum sesuai dengan amanat konstitusi sebagaimana putusan MK No 36/PUU.X/2012.

Kerangka dasar menyangkut harga BBM dan gas di dalam negeri adalah bahwa pengaturan dan penetapannya menjadi kewenangan pemerintah. Dalam teknis pengaturannya, kewenangan itu mencakup penentuan acuan dan formulasi perhitungan harga, penentuan sistem harga yang ditetapkan, dan penentuan masa pemberlakuan harga. Penetapan harga juga harus didasarkan pada aspek keekonomian yang wajar, berkeadilan, dengan tetap tidak mengabaikan perlindungan terhadap golongan masyarakat yang tidak mampu.

Kepastian hukum dan investasi

Prinsip konsistensi penerapan aturan main untuk menjamin kepastian hukum juga harus diterapkan di tingkatan yang lebih operasional. Di dalam pengusahaan, kerangka dasar yang harus dijadikan pegangan bahwa revisi UU Migas harus tetap dapat menjamin kontrak-kontrak pengusahaan yang sudah ada dihormati hingga berakhir.

Terkait bentuk kontrak, negara dapat menggunakan kontrak bagi hasil atau bentuk lainnya yang menguntungkan negara. Jangka waktu kontrak dapat ditetapkan untuk kurun waktu yang cukup menjamin pengembalian investasi, dan sesudahnya dapat atau tidak diperpanjang dengan periode dan ketentuan peralihan yang cukup dan jelas. Dalam hal ini, kewenangan memperpanjang atau mengakhiri kontrak di tangan menteri ESDM.

Di dalam masalah perpajakan, prinsip lex specialis dan assume and discharge perlu diberlakukan kembali untuk industri hulu migas. Pengenaan perpajakan untuk industri hulu migas harus konsisten mengacu ketentuan perpajakan yang diatur dalam kontrak kerja sama atau ketentuan perpajakan yang berlaku pada saat kontrak kerja sama ditandatangani dan tidak berubah-ubah di tengah periode kontrak. Terhadap kontrak yang masih berlaku, kerangka dasar yang diperlukan adalah bahwa revisi UU Migas dan peraturan pelaksana di bawahnya harus berfungsi sebagai payung hukum untuk penerapan aturan perpajakan hulu migas yang lebih konsisten.

Sesuai filosofi kontrak bahwa semua aset operasi dan pengelolaan hulu migas adalah milik negara, maka revisi UU Migas harus menegaskan bahwa pajak eksplorasi dihapus dan beberapa pajak pada periode produksi, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor, bea masuk, PPN dalam negeri, dan Pajak Bumi Bangunan (PBB), menjadi tanggungan pemerintah.

Revisi UU Migas dan peraturan pelaksananya juga harus dapat menjadi payung hukum bagi pemerintah untuk secara lebih fleksibel menerapkan beberapa skema insentif yang kondusif bagi iklim investasi. Sejumlah insentif yang diperlukan pada saat harga minyak rendah, seperti pemotongan atas pembebanan biaya operasi fasilitas bersama dalam rangka pemanfaatan barang milik negara di bidang hulu migas, penerapan sistem blok basis dalam pengembalian biaya operasi, pemberian investment credit, DMO holiday, ataupun depresiasi yang dipercepat, semestinya bisa difasilitasi payung hukum melalui revisi UU Migas ini.

Kerangka strategis

Seiring perkembangan yang ada, revisi UU Migas juga semestinya ditempatkan dalam kerangka untuk mengintegrasikan perubahan paradigma bahwa sumber energi (termasuk migas di dalamnya) bukan lagi dititikberatkan untuk menjadi sumber devisa negara, tetapi lebih sebagai modal dasar pembangunan untuk mewujudkan kejayaan negara dan kemakmuran rakyat. Perubahan paradigma itu, yang di dalam pemerintahan Jokowi- Kalla saat ini salah satunya dicerminkan dengan adanya pergeseran nomenklatur Kementerian ESDM dari sebelumnya di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Perekonomian menjadi di bawah Kementerian Bidang Kemaritiman, mesti diterjemahkan lebih lanjut di dalam implementasinya di sektor migas melalui revisi UU Migas.

Revisi UU Migas harus dapat jadi instrumen untuk mengakomodasi dan memberikan payung hukum terhadap sejumlah ide dan rencana strategis sektor migas yang berkembang beberapa waktu terakhir, seperti rencana pembentukan holding BUMN Migas, pembentukan agregator gas dan badan penyangga BBM, pembentukan strategic petroleum reserve, kebijakan alokasi dan harga gas, serta pembentukan dana ketahanan energi.

Dengan demikian, UU Migas yang baru di satu sisi harus kokoh dan konsisten dalam aspek konstitusional, di sisi lain juga harus tetap ramah dan kondusif bagi iklim investasi. UU Migas baru juga harus dapat jadi instrumen bagi Kementerian ESDM untuk secara nyata dan progresif membantu mewujudkan visi dan misi pemerintahan Jokowi-Kalla di bidang energi, di sektor migas khususnya, sebagaimana yang telah digariskan dalam Nawacita.