Pertamina Mulai Seismik Migas Terbesar di Asia Pasifik

Investor Daily: Rabu, 13 November 2019 | 10:47 WIB

JAKARTA, investor.id – Setelah temuan besar minyak terakhir di Blok Cepu pada 2001 dan gas di Blok Masela pada 2000, kegiatan eksplorasi dalam skala besar akhirnya kembali dilakukan di Indonesia guna mencari temuan migas raksasa. Kegiatan eksplorasi berupa seismik 2D dari lepas pantai Bangka hingga Papua ini dilakukan oleh PT Pertamina (Persero).

Direktur Hulu Pertamina Dharmawan H Samsu mengatakan, pelaksanaan survei seismik 2D tersebut sesuai komitmen kerja pasti (KKP) yang dijanjikan perseroan ketika memperoleh pengelolaan Blok Jambi Merang untuk 20 tahun mendatang. Survei seismik ini merupakan kegiatan KKP pertama yang dilakukan di wilayah terbuka Indonesia.

“Cakupan survei seismik ini dari lepas pantai Bangka di wilayah barat Indonesia sampai ke Papua di wilayah timur Indonesia dengan lintasan 30 ribu kilometer (km),” kata dia ketika melepas kapal seismik Elsa Regent yang menandai dimulainya survei seismik KKP Jambi Merang, di Jakarta, Selasa (12/11).

Mengacu data Pertamina, KKP yang dijanjikan perseroan di Blok Jambi Merang mencapai US$ 239,2 juta hingga 2024. KKP ini untuk mendanai kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, di mana Pertamina khusus mengalokasikan US$ 196,5 juta untuk kegiatan eksplorasi guna meningkatkan penemuan cadangan. Di tahun ini, KKP yang dikucurkan sebesar US$ 20,46 juta.

Pada tahun pertama, kegiatan KKP Jambi Merang ini yakni survei seismik baik di dalam maupun di luar wilayah kerja, termasuk seismik 30 ribu km tersebut. Selain itu, Pertamina juga sedang melaksanakan survei seismik 3D di dalam Blok Jambi Merang seluas 237 kilometer persegi (km2).

Dharmawan menambahkan, data hasil survei seismik ini akan diserahkan kepada pemerintah. Adanya data ini diharapkan bisa menggairahkan investasi hulu migas di Indonesia dan menjadi salah satu jalan menunju ditemukannya cadangan migas raksasa (giant discovery). “Bagi Pertamina, survei seismik 2D ini milestone besar komitmen eksplorasi new venture yang akan menambah cadangan migas di Indonesia,” tutur dia.

Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto menuturkan, kegiatan survei seismik 2D ini akan dilakukan dalam enam bulan ke depan atau selesai di kisaran pertengahan 2020. Kegiatan survei seismik ini dilaksanakan oleh single operator, yakni Elnusa, dan menggunakan teknologi 2D seismic marine broadband.

“Ini penting karena dalam 10 tahun terakhir ini adalah seismik terbesar, bukan hanya di Indonesia tetapi juga Asia Pasifik. Ada 29 cekungan migas yang dilalui. Mudah-mudahan kita bisa dapat data yang sangat berarti,” ujarnya. Beberapa cekungan yang dilewati dan diindikasikan memiliki potensi sumberdaya migas yang besar (giant discovery) di antaranya Bangka Offshore area, Makassar Strait, dan Buton Offshore.

Terkait hasil seismik, lanjutnya, Pertamina akan memiliki hak khusus untuk mengevaluasi dan memilih potensi migas yang akan dikembangkan selama satu tahun. Setelah itu, data ini akan dibuka kepada perusahaan migas lain yang berminat menanamkan modalnya di hulu migas Indonesia. Pemberian waktu selama satu tahun ini sesuai ketentuan yang berlaku dan lantaran pengelolaan data membutuhkan waktu.

“Ini akan berikan dampak persepsi ke investor bahwa eksplorasi di Indonesia semakin terbuka,” tegas Dwi. Pihaknya optimis pemenuhan KKP di Blok Jambi Merang ini akan berdampak positif dalam mendukung ketahanan energi nasional.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menilai, jika kegiatan seismik yang dilakukan Pertamina menghasilkan data yang bagus, hal ini akan positif untuk iklim hulu migas Indonesia. Pelaksanaan eksplorasi memang sulit dilakukan sendiri oleh pemerintah lantaran terbatasnya anggaran.

“Sehingga mengandalkan Pertamina merupakan salah satu opsi,” ujarnya.

Target Lifting Migas Sulit Tercapai

Investor Daily; Selasa, 5 November 2019 | 15:17 WIB

JAKARTA, investor.id – Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyatakan target produksi siap jual atau lifting minyak dan gas bumi (migas) tahun ini sulit tercapai. Untuk menggenjot lifting migas, pemerintah didesak segera membenahi iklim investasi migas dalam negeri agar perusahaan migas, khususnya skala besar (major company), mau menginvestasikan dananya.

Lifting minyak bumi tahun ini ditargetkan mencapai 775 ribu barel per hari, dan gas bumi sebesar 7.000 juta kaki kubik per hari (million standard cubic feet per day/mmscfd). Deputi Operasi SKK Migas Julius Wiratno mengatakan, per 31 Oktober 2019, realisasi lifting minyak tercatat sebesar 742,9 ribu barel per hari (bph) dan gas bumi sebesar 5.892 mmscfd.

“Outlook akhir tahun 2019 ini lifting minyak 746,2 ribu bph dan gas 5.896 mmscfd,” kata Julius dalam pesan pendeknya kepada Investor Daily, Senin (4/11).

Berdasarkan data yang dihimpun Investor Daily, dalam periode 2010-2018, realisasi lifting minyak hanya mencapai target pada tahun 2016, selebihnya selalu di bawah target. Hal yang sama juga terjadi pada lifting gas bumi untuk periode 2014-2018.

Meski target lifting sulit tercapai, Julius mengatakan bahwa SKK Migas masih berupaya mencapai target tersebut. “Cukup menantang, tetapi tetap kami usahakan,” kata Julius.

Menurut dia, SKK Migas telah mengupayakan sejumlah strategi untuk menggenjot lifting migas hingga akhir tahun, di antaranya merealisasikan program kerja tahun ini, seperti pengeboran sumur dan perawatan sumur. Mengacu data SKK Migas, tahun ini rencananya terdapat pengeboran 80 sumur pengembanganm kerja ulang 241 sumur, dan perawatan sumur 11.021 kegiatan.

SKK Migas juga akan melakukan pengurasan stok di beberapa terminal. “Pengurasan stok bisa menambah 500-600 barel minyak roughly,” ujar Julius.

Selain itu, pihaknya akan merealisasikan proyek migas yang dijadwalkan beroperasi (onstream) akhir tahun ini. Berdasarkan data SKK Migas, terdapat delapan proyek hulu migas dijadwalkan beroperasi di sisa akhir tahun ini. Dari proyek ini, tambahan produksi yang direncakan yakni gas 270 mmscfd dan minyak 10.500 bph.

Empat proyek dijadwalkan mulai beroperasi di November. Rinciannya, proyek Buntal-5 sebesar 45 mmscfd oleh Medco E&P Natuna Ltd, Bison-Iguana-Gajah Putri 163 mmscfd oleh Premiere Oil Natuna Sea BV, Temelat oleh PT Medco E&P Indonesia 10 mmscfd, dan Panen 2.000 bph oleh PetroChina International Jabung Ltd.

Sedangkan pada Desember nanti, dua proyek akan beroperasi, yaitu Bukit Tua Phase-3 dengan perkiraan produksi minyak 3.182 bph dan gas 31 mmscfd oleh Petronas Carigali Ketapang II Ltd serta Proyek Full Well Stream Kedung Keris dengan produksi minyak 3.800 bph oleh Exxon Mobil Cepu Ltd.

Namun demikian, Julius mengungkapkan, pihaknya tengah berupaya mempercepat Proyek Kedung Keris. “Projek onstream misalnya Proyek Kedung Keris yang akan on stream di mid (pertengahan) November 2019. Kami percepat (jadi) pertengahan November, semoga berhasil,” tutur dia.

Sebelumnya, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan, ada tiga gangguan operasi yang mempengaruhi rendahnya produksi migas nasional hingga September 2019. Pertama, harga gas di pasar dunia saat ini tercatat sangat rendah. Hal ini membuat pemerintah memutuskan untuk tidak memproduksikan dahulu cadangan gas yang dimiliki. Keputusan ini berdampak pada produksi gas nasional.

“Jadi lifting 2019 terus terang agak terpukul, sebagian besar karena harga gas dunia sangat rendah,” ujar Dwi.

Penyebab lainnya adalah kebakaran hutan yang berdampak pada kegiatan operasi migas di Sumatera. Salah satunya yakni di Blok Rokan yang dioperasikan oleh PT Chevron Pacific Indonesia. Pihaknya terpaksa menghentikan sebagian kegiatan operasi di Blok Rokan demi keamanan selama sekitar satu bulan.

Saat ini, kegiatan operasi di Blok Rokan belum kembali normal. “Mungkin masih kami tahan dulu untuk alasan keamanan. Saya kira November mestinya sudah normal lagi,” tuturnya.

Terakhir, lanjut dia, kejadian tumpahan minyak pada Sumur YYA-1, Proyek YY di Blok Offshore North West Java (ONWJ) juga berdampak pada produksi migas nasional. Pasalnya, tambahan produksi migas yang direncanakan datang dari proyek ini batal diperoleh.

Dwi juga mengatakan, lifting yang belum mencapai target berdampak pada realisasi penerimaan negara yang hingga September 2019 baru mencapai US$ 10,99 miliar dari target dalam APBN 2019 sebesar US$ 17,5 miliar. “Hal ini (penerimaan negara) juga dipengaruhi ICP (Indonesia Crude Price) yang sekitar US$ 60 per barel. Ini cukup jauh di bawah target asumsi makro APBN yaitu US$ 70,” kata dia.

Benahi Iklim Investasi

20171212143457857Pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto. Foto: reforminer.com

Pengamat migas Pri Agung Rakhmanto mengatakan, upaya untuk menggenjot lifting adalah dengan alokasi investasi besar untuk kegiatan pengembangan seperti enhanced oil recovery (EOR) skala besar, memperbanyak pemboran sumur pengembangan serta optimasi produksi lapangan eksisting.

“Alokasikan investasi dalam porsi besar untuk kegiatan development (pengembangan lapangan),” kata Pri Agung.

Menurut dia, upaya tersebut bisa memperbaiki defisit neraca migas. Namun, diperlukan pembenahan secara mendasar baik di hulu maupun di hilir.

Penambahan kapasitas kilang yang belum terealisasi membuat impor BBM semakin besar. Sementara di sisi hulu, produksi migas mengalami penurunan. “(Lifting naik) memperbaiki tapi tentu tidak menyelesaikan,” ujarnya.

Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR RI Kardaya Warnika mengatakan, jika tahun ini saja tidak bisa mencapai target, maka dipastikan tahun depan akan makin sulit. “Tantangan tahun depan itu lebih berat. Yang saya tahu, para KKKS itu sanggupnya hanya sekitar 600-an bph,” kata Kardaya kepada Investor Daily.

Menurut Kardaya, hal ini terjadi bukan tanpa sebab. Banyak hal yang mendesak yang harus segera dibenahi pemerintah. Hal yang utama adalah mengenai kepastian berinvestasi.

”Jadi, turunnya produksi ini karena investasi tidak masuk. Perusahaan-perusahaan besar (major company) seperti Shell, Exxon, Total lebih suka menginvestasikan dananya ke negara lain. Dan yang menyakitkan adalah, negara tujuannya itu secara potensi tidak lebih baik dari Indonesia, seperti Vietnam dan Myanmar. Mereka menganggap di Indonesia tidak ada kepastian hukum, banyak hukum juga ditabrak,” jelasnya.

Selain itu, kata Kardaya, banyak aturan yang diubah namun justru menakutkan investor. Misalnya perubahan dari skema cost recovery ke gross split.

20170404154659738
ExxonMobil. Foto ilustrasi: distributoroil.com

Kapasitas Kilang dan Kemandirian Energi Indonesia

Kontan.co.id, 6 November 2019

Komaidi Notonegoro

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute & Pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti

Email     : komaidinotonegoro@gmail.com

HP          : 081 553 133 252

Kapasitas kilang masih akan menjadi kunci utama dalam mewujudkan kemandirian energi Indonesia. Saat ini porsi minyak dan gas dalam bauran energi primer Indonesia sekitar 72 persen. Sampai beberapa tahun ke depan, bauran energi Indonesia kemungkinan masih tetap didominasi oleh pasokan minyak dan gas, terutama produk-produk dari kilang minyak.

Pemenuhan pasokan energi untuk konsumen utama seperti sektor transportasi, sektor industri, dan rumah tangga sebagian besar berasal dari produk kilang. Porsi produk kilang dalam bauran energi sektor transportasi selama tahun 2018 sekitar 99,90 persen. Sementara porsi produk kilang dalam bauran energi sektor industri dan rumah tangga masing-masing 13,06 persen dan 50,59 persen.

Terkait bauran energi tersebut, terobosan kebijakan Pertamina sebagai perusahaan energi utama di dalam negeri yang menetapkan melaksanakan Refinery Development Master Plan (RDMP) dan Grass Root Refinery (GRR) kilang relevan dengan kondisi dan permasalahan yang ada. Dengan RDMP pada Kilang Balikpapan, Kilang Dumai, Kilang Balongan dan Kilang Cilacap serta GRR pada Kilang Tuban dan KIlang Bontang, kapasitas kilang Indonesia akan bertambah signifikan.

Jika program RDMP dan GRR Pertamina berjalan sesuai rencana, kapasitas kilang Indonesia yang saat ini sekitar 1 juta barel per hari akan meningkat dua kali lipat menjadi 2 juta barel per hari pada tahun 2026 mendatang. Peningkatan tidak hanya terjadi pada sisi kuantitas, namun juga pada kualitas. Produk BBM kilang Indonesia yang saat ini rata-rata masih sesuai standar EURO II akan meningkat menjadi standar EURO V. Pencapaian ini sudah dimulai ketika Proyek Langit Biru Cilacap (PLBC) selesai. Melalui program PLBC, Kilang Cilacap akan memproduksi Pertamax yang sudah masuk standar EURO IV sekitar 66 persen lebih banyak dari sebelumnya.

 

Bio-Refinery dan Struktur Biaya

Mengacu pada tren global, kebutuhan energi ke depan akan mengalami transisi kepada penggunaan sumber energi yang lebih ramah lingkungan. Terbitnya Perpres No.55/2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan, merupakan salah satu upaya Pemerintah Indonesia di dalam merespon tren global tersebut.

Seperti pengembangan energi baru dan terbarukan di berbagai negara yang pada umumnya hampir selalu sulit bersaing dengan pengembangan energi konvensional (fosil), pengembangan kendaraan listrik kemungkinan juga tidak akan mudah untuk dapat bersaing dengan industri kendaraan bermotor eksisting yang menggunakan bahan bakar fosil (BBM dan BBG). Harga jual kendaraan listrik akan menjadi penentu apakah kendaraan bermotor listrik akan mampu bersaing dengan kendaraan bermotor berbahan bakar fosil atau tidak. Sementara, berdasarkan sejumlah informasi yang ada, saat ini biaya produksi kendaraan bermotor listrik sekitar 1,5 – 2 kali lebih tinggi dibandingkan biaya produksi kendaraan bermotor berbahan bakar BBM dan BBG.

Jika mencermati perbandingan biaya produksi dan karakteristik sebagian besar konsumen kendaraan bermotor di Indonesia, kebijakan meningkatkan kualitas bahan bakar kemungkinan akan lebih optimal untuk menyelesaikan isu lingkungan dibandingkan pengembangan kendaraan bermotor listrik. Sejumlah studi menemukan, selain masalah harga jual, pengembangan kendaraan listrik juga dihadapkan pada sejumlah tantangan seperti memerlukan daya dukung produksi listrik yang lebih besar, penyediaan infrastruktur pengisian ulang beterei secara masif, dan pengelolaan limbah baterai yang sudah tidak terpakai.

Berdasarkan kondisi yang ada tersebut, kebijakan RDMP dan GRR Pertamina yang tidak hanya meningkatkan kuantitas produksi tetapi juga kualitas BBM yang dihasilkan kemungkinan sudah dapat untuk mengakomodasi penyelesaian isu lingkungan. Apalagi berdasarkan informasi yang ada Pertamina juga berencana membangun Green Refinery yang terintegrasi dengan kilang eksisting di Plaju, Dumai dan Balikpapan. Ketiga wilayah tersebut dipilih berdasarkan kedekatan dengan lokasi sumber bahan baku yaitu CPO. Pilihan tersebut diantaranya karena sekitar 50 % biaya produksi bahan bakar pada bio-refinery di Indonesia adalah biaya angkut CPO.

Berdasarkan sejumlah studi dan pilot project di sejumlah negara, biaya produksi pada bio-refinery lebih tinggi dibandingkan biaya produksi traditional refinery. Konsekuensinya, harga jual produk bio-refinery seperti green diesel, green gasoline, dan green avtur kemungkinan akan lebih mahal dibandingkan harga jual diesel, gasoline, dan avtur konvensional. Hal tersebut salah satunya karena kualitas produk yang dihasilkan lebih tinggi yang mana emisi dari produk bio-refinery seperti SO2, NOx, dan CO lebih rendah dibandingkan emisi dari produk yang dihasil traditional refinery.

Tanpa mengesampingkan makna dan niat baik dari kebijakan pengembangan mobil listrik, kebijakan RDMP, GRR, dan Green Refinery yang dilaksanakan Pertamina dapat dikatakan memiliki manfaat yang lebih luas, tidak hanya positif untuk menyelesaikan isu lingkungan tetapi juga memberikan manfaat untuk ketahanan energi dan nilai tambah ekonomi yang besar bagi Indonesia. Melalui RDMP dan GRR yang akan meningkatkan kualitas produk BBM dari EURO II menjadi EURO V secara tidak langsung akan memperbaiki kualitas dan menyelesaikan isu lingkungan. Apalagi jika kebijakan tersebut dikombinasikan dengan pengembangan bio-refinery.

Dari aspek kemandirian dan ketahanan energi, proyek RDMP dan GRR yang akan mendorong kapasitas kilang dari saat ini 1 juta barel per hari menjadi 2 juta barel per hari, memiliki makna penting dan posisi yang strategis. Produksi BBM Indonesia yang saat ini 600 ribu barel per hari menjadi 1.700 ribu barel per hari. Program tersebut juga berpotensi meningkatkan produksi petrokimia dari saat ini 600 sekitar 600 ribu ton per tahun menjadi 6.600 ribu ton per tahun.

Kebijakan pengembangan kilang melalui RDMP, GRR, dan Green Refinery berpotensi memberikan manfaat ekonomi yang besar. Mandatori kebijakan TKDN dalam proyek pengembangan kilang diproyeksikan akan berdampak terhadap penciptaan lapangan kerja langsung maupun tidak langsung sekitar 172 ribu orang dan menambah penerimaan pajak selama beroperasi sekitar 109 miliar USD. Peningkatan kapasitas kilang akan mengurangi volume impor produk BBM yang diproyeksikan dapat menghemat devisa impor sekitar 12 milyar USD per tahun.

Pemerintah Harus Benahi Iklim Investasi Target Lifting Migas Sulit Tercapai

Selasa, 5 November 2019

JAKARTA, investor.id – Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyatakan target produksi siap jual atau lifting minyak dan gas bumi (migas) tahun ini sulit tercapai. Untuk menggenjot lifting migas, pemerintah didesak segera membenahi iklim investasi migas dalam negeri agar perusahaan migas, khususnya skala besar (major company), mau menginvestasikan dananya.

Lifting minyak bumi tahun ini ditargetkan mencapai 775 ribu barel per hari, dan gas bumi sebesar 7.000 juta kaki kubik per hari (million standard cubic feet per day/mmscfd). Deputi Operasi SKK Migas Julius Wiratno mengatakan, per 31 Oktober 2019, realisasi lifting minyak tercatat sebesar 742,9 ribu barel per hari (bph) dan gas bumi sebesar 5.892 mmscfd.

“Outlook akhir tahun 2019 ini lifting minyak 746,2 ribu bph dan gas 5.896 mmscfd,” kata Julius dalam pesan pendeknya kepada Investor Daily, Senin (4/11).

Berdasarkan data yang dihimpun Investor Daily, dalam periode 2010-2018, realisasi lifting minyak hanya mencapai target pada tahun 2016, selebihnya selalu di bawah target. Hal yang sama juga terjadi pada lifting gas bumi untuk periode 2014-2018.

Meski target lifting sulit tercapai, Julius mengatakan bahwa SKK Migas masih berupaya mencapai target tersebut. “Cukup menantang, tetapi tetap kami usahakan,” kata Julius.

Menurut dia, SKK Migas telah mengupayakan sejumlah strategi untuk menggenjot lifting migas hingga akhir tahun, di antaranya merealisasikan program kerja tahun ini, seperti pengeboran sumur dan perawatan sumur. Mengacu data SKK Migas, tahun ini rencananya terdapat pengeboran 80 sumur pengembanganm kerja ulang 241 sumur, dan perawatan sumur 11.021 kegiatan.

SKK Migas juga akan melakukan pengurasan stok di beberapa terminal. “Pengurasan stok bisa menambah 500-600 barel minyak roughly,” ujar Julius.

Selain itu, pihaknya akan merealisasikan proyek migas yang dijadwalkan beroperasi (onstream) akhir tahun ini. Berdasarkan data SKK Migas, terdapat delapan proyek hulu migas dijadwalkan beroperasi di sisa akhir tahun ini. Dari proyek ini, tambahan produksi yang direncakan yakni gas 270 mmscfd dan minyak 10.500 bph.

Empat proyek dijadwalkan mulai beroperasi di November. Rinciannya, proyek Buntal-5 sebesar 45 mmscfd oleh Medco E&P Natuna Ltd, Bison-Iguana-Gajah Putri 163 mmscfd oleh Premiere Oil Natuna Sea BV, Temelat oleh PT Medco E&P Indonesia 10 mmscfd, dan Panen 2.000 bph oleh PetroChina International Jabung Ltd.

Sedangkan pada Desember nanti, dua proyek akan beroperasi, yaitu Bukit Tua Phase-3 dengan perkiraan produksi minyak 3.182 bph dan gas 31 mmscfd oleh Petronas Carigali Ketapang II Ltd serta Proyek Full Well Stream Kedung Keris dengan produksi minyak 3.800 bph oleh Exxon Mobil Cepu Ltd.

Namun demikian, Julius mengungkapkan, pihaknya tengah berupaya mempercepat Proyek Kedung Keris. “Projek onstream misalnya Proyek Kedung Keris yang akan on stream di mid (pertengahan) November 2019. Kami percepat (jadi) pertengahan November, semoga berhasil,” tutur dia.

Sebelumnya, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan, ada tiga gangguan operasi yang mempengaruhi rendahnya produksi migas nasional hingga September 2019. Pertama, harga gas di pasar dunia saat ini tercatat sangat rendah. Hal ini membuat pemerintah memutuskan untuk tidak memproduksikan dahulu cadangan gas yang dimiliki. Keputusan ini berdampak pada produksi gas nasional.

“Jadi lifting 2019 terus terang agak terpukul, sebagian besar karena harga gas dunia sangat rendah,” ujar Dwi.

Penyebab lainnya adalah kebakaran hutan yang berdampak pada kegiatan operasi migas di Sumatera. Salah satunya yakni di Blok Rokan yang dioperasikan oleh PT Chevron Pacific Indonesia. Pihaknya terpaksa menghentikan sebagian kegiatan operasi di Blok Rokan demi keamanan selama sekitar satu bulan.

Saat ini, kegiatan operasi di Blok Rokan belum kembali normal. “Mungkin masih kami tahan dulu untuk alasan keamanan. Saya kira November mestinya sudah normal lagi,” tuturnya.

Terakhir, lanjut dia, kejadian tumpahan minyak pada Sumur YYA-1, Proyek YY di Blok Offshore North West Java (ONWJ) juga berdampak pada produksi migas nasional. Pasalnya, tambahan produksi migas yang direncanakan datang dari proyek ini batal diperoleh.

Dwi juga mengatakan, lifting yang belum mencapai target berdampak pada realisasi penerimaan negara yang hingga September 2019 baru mencapai US$ 10,99 miliar dari target dalam APBN 2019 sebesar US$ 17,5 miliar. “Hal ini (penerimaan negara) juga dipengaruhi ICP (Indonesia Crude Price) yang sekitar US$ 60 per barel. Ini cukup jauh di bawah target asumsi makro APBN yaitu US$ 70,” kata dia.

Benahi Iklim Investasi

Pengamat migas Pri Agung Rakhmanto mengatakan, upaya untuk menggenjot lifting adalah dengan alokasi investasi besar untuk kegiatan pengembangan seperti enhanced oil recovery (EOR) skala besar, memperbanyak pemboran sumur pengembangan serta optimasi produksi lapangan eksisting.

“Alokasikan investasi dalam porsi besar untuk kegiatan development (pengembangan lapangan),” kata Pri Agung.

Menurut dia, upaya tersebut bisa memperbaiki defisit neraca migas. Namun, diperlukan pembenahan secara mendasar baik di hulu maupun di hilir.

Penambahan kapasitas kilang yang belum terealisasi membuat impor BBM semakin besar. Sementara di sisi hulu, produksi migas mengalami penurunan. “(Lifting naik) memperbaiki tapi tentu tidak menyelesaikan,” ujarnya.

Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR RI Kardaya Warnika mengatakan, jika tahun ini saja tidak bisa mencapai target, maka dipastikan tahun depan akan makin sulit. “Tantangan tahun depan itu lebih berat. Yang saya tahu, para KKKS itu sanggupnya hanya sekitar 600-an bph,” kata Kardaya kepada Investor Daily.

Menurut Kardaya, hal ini terjadi bukan tanpa sebab. Banyak hal yang mendesak yang harus segera dibenahi pemerintah. Hal yang utama adalah mengenai kepastian berinvestasi.

”Jadi, turunnya produksi ini karena investasi tidak masuk. Perusahaan-perusahaan besar (major company) seperti Shell, Exxon, Total lebih suka menginvestasikan dananya ke negara lain. Dan yang menyakitkan adalah, negara tujuannya itu secara potensi tidak lebih baik dari Indonesia, seperti Vietnam dan Myanmar. Mereka menganggap di Indonesia tidak ada kepastian hukum, banyak hukum juga ditabrak,” jelasnya.

Selain itu, kata Kardaya, banyak aturan yang diubah namun justru menakutkan investor. Misalnya perubahan dari skema cost recovery ke gross split.

“Sebenarnya gross split itu bagus, kalau yang dipakai adalah gross split yang sebenarnya, bukan yang ada seperti sekarang. Misalnya, besaran bagi hasil tentukan di depan, bukan nanti di belakang setelah cadangan minyak ditemukan,” papar Kardaya.

Dia menyarankan pemerintah agar lebih fleksibel dalam menerapkan skema. Artinya, investor diberi opsi apakah tetap menggunakan skema cost recovery ataukah gross split. Namun, gross split yang diterapkan pun yang simple.

Dia mengakui bahwa dalam hal penerapan skema ini memang untuk kegiatan eksplorasi dan hasil produksinya baru terlihat dalam beberapa tahun ke depan. Namun, secara tidak langsung, ini membuat investor pun enggan untuk berinvestasi dalam jangka pendek.

Hingga akhir kuartal III-2019, realisasi investasi sektor energi dan sumber daya mineral tercatat baru sebesar US$ 19,8 miliar atau 59,28% dari target US$ 33,44 miliar. Rinciannya, untuk subsektor minyak dan gas bumi sebesar US$ 8,1 miliar dari target US$ 13,4 miliar, ketenagalistrikan US$ 7,4 miliar dari target US$ 12 miliar, mineral dan batu bara US$ 3,3 miliar dari target US$ 6,2 miliar, serta energi baru terbarukan US$ 1 miliar dari target 1,8 miliar.

Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerjasama Kementerian ESDM Agung Pribadi mengatakan, pihaknya beserta stakeholders terus menjaga agar target investasi dapat tercapai. Di sisa akhir tahun ini, investasi akan digenjot semaksimal mungkin, mengingat biasanya investasi mengikuti S-curve.

“Realisasi investasi biasanya mengikuti S-curve. Investasi akan kita pacu agar bisa lebih cepat. Sesuai arahan Bapak Menteri ESDM, bahwa kami diminta agar bekerja lebih cepat, cermat dan produktif,” kata dia di Jakarta, akhir pekan lalu.

Menurut dia, sektor ESDM sangat strategis dalam mendorong perekonomian nasional. Karenanya, pihaknya terus menjaga iklim investasi di sektor ini semakin bergairah dan kondusif bagi investor. Sebelumnya, sebanyak 186 perizinan di sektor ESDM telah dipangkas. Hal tersebut akan terus dilanjutkan untuk mempercepat dan mempermudah proses investasi di sektor ESDM.

“Aspek perizinan, baik kecepatan maupuan birokrasinya akan terus dievaluasi, sehingga dapat mendorong investasi yang lebih cepat dan memberikan certainty. Investasi ini penting karena akan mendorong pembukaan lapangan kerja, sehingga efektif menjadi prime mover ekonomi nasional,” tamban Agung.

Deputi Perencanaan SKK Migas Jaffee Suardin Arizon pernah menuturkan, investasi hulu migas tercatat US$ 8,4 miliar hingga akhir September 2019. Realisasi ini meningkat 11% dibandingkan periode sama tahun lalu US$ 7,6 miliar.

Namun, jika dibandingkan dengan target investasi tahun ini sebesar US$ 14,7 miliar, realisasi tersebut tercatat baru sekitar 57,15%. Menurut Jaffee, pihaknya terus melakukan efisiensi guna menekan biaya operasi yang dapat dikembalikan (cost recovery) atau juga merupakan biaya investasi.

Ke depan, Jaffee memproyeksikan investasi migas nasional akan terus meningkat. Apalagi, hingga 2027, terdapat 42 proyek migas yang direncanakan bergulir dengan total investasi US$ 43,3 miliar.

 

 

Regulasi Pengelolaan dan Pengusahaan Bisnis LNG
Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Email: komaidinotonegoro@gmail.com

Investor Daily: Selasa, 5 November 2019 | 11:14 WIB

Dalam beberapa tahun ke depan, prospek bisnis liquefied natural gas (LNG) di dalam negeri kemungkinan semakin meningkat. Terdapat dua faktor utama yang menjadi pendorong meningkatnya prospek tersebut. Pertama, konsumsi gas di dalam negeri oleh sektor industri, listrik, komersial, dan rumah tangga tercatat terus meningkat. Kedua, terjadi ketidaksesuaian antara lokasi cadangan (produksi) gas dengan lokasi pengguna gas.

Saat ini sebagian besar pengguna gas berada di wilayah Indonesia bagian barat. Sementara itu, sebagian besar cadangan gas di wilayah Indonesia bagian timur. Karena itu, penyediaan infrastruktur distribusi gas menjadi kunci agar produksi gas Indonesia dapat dioptimalkan untuk kepentingan dalam negeri.

Permasalahannya, keberlanjutan pasokan dan komitmen pembelian gas oleh konsumen seringkali menyebabkan keekonomin proyek penyediaan infrastruktur pipa transmisi dan distribusi gas tidak dapat terpenuhi.

Berdasarkan kondisi yang ada tersebut, mengubah gas menjadi cair (LNG) seringkali menjadi pilihan utama agar produksi gas dapat didistribusikan kepada konsumen tanpa harus tergantung terhadap penyediaan infrastruktur pipa transmisi dan distribusi gas dari sumber produksi sampai dengan pengguna.

Sejauh ini Indonesia pada dasarnya telah melakukan hal tersebut, namun sebagian besar LNG yang diproduksikan dialokasikan untuk kepentingan ekspor.

Pengaturan Pengelolaan dan Pengusahaan

Mengingat LNG akan memiliki peran penting, pengaturan untuk pengelolaan dan pengusahaan LNG menjadi penting. Akan tetapi, berdasarkan review dalam Undang undang Migas No.22/2001 tidak terdapat ketentuan yang secara eksplisit mengatur mengenai bisnis LNG. Tidak terdapat satu pasal pun di dalam UU Migas No 22/2001 yang menyebut kata liquified natural gas (LNG) atau gas alam cair.

Kata LNG tercatat hanya satu kali disebut di dalam UU No 22/2001, yaitu dalam penjelasan Pasal 63 huruf ‘d’. Bisnis LNG hanya diatur secara implisit melalui ketentuan pada kegiatan usaha hilir. Pasal 1 ayat (10) UU No 22/2001 mendefinisikan kegiatan usaha hilir adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan/atau niaga.

Dalam hal ini bisnis LNG dikelompokkan dalam kegiatan usaha pengolahan. Pasal 1 ayat (11) mendefinikan pengolahan merupakan kegiatan memurnikan, memperoleh bagian-bagian, mempertinggi mutu, dan mempertinggi nilai tambah minyak bumi dan/atau gas bumi, tetapi tidak termasuk pengolahan lapangan.

Dalam UU No 22/2001 bisnis LNG dikategorikan sebagai bagian dari kelompok usaha hilir migas, yaitu usaha pengolahan. Secara implisit, bisnis LNG juga diatur dalam ketentuan Pasal 23, Pasal 30, dan Pasal 53 UU Migas No 22/2001. Pengaturan bisnis LNG secara eksplisit ditemukan dalam PP No 36/2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi. Pasal 1 ayat (5) PP ini mendefinisikan LNG adalah gas bumi yang terutama terdiri atas metana yang dicairkan pada suhu sangat rendah (sekitar minus 1600C) dan dipertahankan dalam keadaan cair untuk mempermudah transportasi dan penimbunan.

Pasal 12 huruf “a” mendefinisikan kegiatan usaha pengolahan meliputi kegiatan memurnikan, memperoleh bagian-bagian, mempertinggi mutu, dan mempertinggi nilai tambah minyak dan gas bumi yang menghasilkan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, hasil olahan, LPG dan/ atau LNG tetapi tidak termasuk pengolahan lapangan. Pasal 24 ayat (1) mendefinisikan pengolahan gas bumi menjadi LNG, LPG, dan gas to liquefied (GTL) termasuk dalam dan/atau merupakan Kegiatan Usaha Hilir selama ditujukan untuk memperoleh keuntungan dan/atau laba serta bukan merupakan kelanjutan dari Kegiatan Usaha Hulu.

UU No 22/2001 dan PP No 36/2004 menetapkan kewenangan pemberian izin usaha dan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan usaha penyediaan dan pendistribusian LNG melekat pada menteri ESDM. Ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf “a” PP No 36/2004 menetapkan bahwa pengajuan dan pemberian izin usaha untuk kegiatan usaha pengolahan yang menghasilkan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan/atau hasil olahan diajukan kepada dan diberikan oleh menteri ESDM.

Pasal 13 PP No 36/2004 menetapkan bahwa menteri ESDM dapat melimpahkan kewenangan pemberian Izin Usaha Hilir Migas yang akan diatur lebih lanjut melalui Keputusan Menteri ESDM. Pasal 16 Permen ini menetapkan jika badan usaha melaksanakan kegiatan usaha pengolahan dengan kegiatan pengangkutan, penyimpanan, dan/atau niaga sebagai kelanjutan dari kegiatan usaha pengolahannya, maka kepada badan usaha hanya diwajibkan untuk memiliki Izin Usaha Pengolahan.

Sementara itu, jika badan usaha melakukan kegiatan usaha pengolahan dengan kegiatan usaha pengangkutan, penyimpanan, dan niaga yang tidak sebagai kelanjutan dari kegiatan usaha pengolahannya, maka kepada badan usaha wajib mempunyai Izin Usaha Pengolahan, Izin Usaha Pengangkutan, Izin Usaha Penyimpanan, dan Izin Usaha Niaga Umum (wholeshale) atau Izin Usaha Niaga Terbatas (trading) secara terpisah.

Relatif sama dengan ketentuan UU Migas No 22/2001, dalam draf revisi UU Migas inisiatif DPR yang telah diparipurnakan pada 3 Desember 2018 juga tidak ditemukan adanya ketentuan yang mengatur secara eksplisit mengenai bisnis LNG. Pengaturan bisnis LNG hanya dilakukan secara implisit melalui ketentuan Pasal 1 ayat (17), (20), (29), Pasal 3 huruf “d”, Pasal 18 ayat (1), Pasal (19) ayat (3), Pasal (20), Pasal 26 ayat (1), Pasal 27 ayat (4) huruf “d”, dan Pasal 28.

Melalui Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Migas yang disampaikan pemerintah pada 21 Januari 2019, pemerintah mengusulkan sejumlah perubahan dan penambahan ketentuan baru yang di antaranya terkait dengan kebijakan pengelolaan dan pengusahaan LNG.

Berdasarkan review terdapat 18 kali kata “LNG” disebut di dalam DIM RUU Migas yang disampaikan oleh pemerintah tersebut. Ketentuan terkait pengelolaan dan pengusahaan LNG di antaranya diusulkan masuk pada Pasal 1 ayat (4), Pasal 1 ayat (9), Pasal 26 ayat (3), (4), Pasal 48 ayat (1), (2), (4), Pasal 49 ayat (6), dan Pasal 50 ayat (5).

Mencermati permasalahan dalam pengelolaan sektor gas bumi dalam negeri, usulan pemerintah dalam DIM Revisi UU Migas tersebut sesungguhnya cukup relevan. Karena itu, meskipun secara administrasi nantinya pambahasan revisi UU Migas yang telah bergulir sejak tahun 2008 harus dimulai dari awal lagi oleh DPR yang baru, substansi pembahasan yang telah dilakukan dalam proses sebelumnya dapat dikatakan sudah cukup progresif.

Sehingga dalam konteks substansi, pemerintah dan DPR yang baru semestinya tidak harus memulai segala sesuatunya dari nol, tetapi tinggal melakukan penyempurnaan untuk beberapa poin pengaturan yang dinilai perlu disempurnakan.

Akses data migas dibuka lebar, investasi dan eksplorasi hulu migas bisa naik?

Kontan, 27 Oktober 2019

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Pembukaan akses data minyak dan gas bumi (migas) melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 7 Tahun 2019 tentang Pengelolaan dan pemanfaatan Data Migas diklaim mulai memperlihatkan hasil untuk menarik minat calon investor.

Deputi Perencanaan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) Jaffee Arizon Suardin mengungkapkan, setidaknya ada 25 calon investor asing yang tertarik untuk melihat data migas sejak pemerintah menerbitkan beleid tersebut pada Agustus 2019 lalu.

“Sudah banyak investor yang datang ke Indonesia. Kira-kira sekitar 25 investor yang tertarik datang ke SKK untuk melihat data,” kata Jaffe dalam paparan kinerja hulu migas di Kantor SKK Migas, Kamis (24/10) lalu.

Direktur Indonesian Petroleum Association (IPA) Nanang Abdul Manaf mengungkapkan, pelaku industri migas memang menyambut positif terbitnya Permen Nomor 7 Tahun 2019. Dengan beleid tersebut, Nanang bilang bahwa peluang untuk menarik minat calon investor dalam melakukan berbagai studi yang terintegrasi menjadi lebih terbuka.

“Sehingga membuka peluang juga untuk dilanjutkan dengan kegiatan eksplorasi yang lebih agresif,” kata Nanang kepada Kontan.co.id, Minggu (27/10).

Namun, Nanang tetap memberikan catatan. Sebab, Nanang berpendapat bahwa pembukaan akses data tersebut tidak cukup untuk mendongkrak secara signifikan minat investor untuk menanamkan investasi dna melakukan eksplorasi migas di tanah air.

Menurutnya, ada sejumlah hal penting lain yang harus diperhatikan pemerintah dalam upaya menggaet investor. Nanang juga menilai, dampak riil dari pembukaan akses data tersebut tidak akan berlangsung instan.

“Jadi isu data ini baru satu hal, yang lainnya terkait isu fiskal term serta regulasi dan penyederhaan perizinan. Impact dari Permen ini mungkin baru terasa setelah beberapa tahun ke depan,” terang Nanang.

Nanang menilai, fiskal term dan juga aspek regulasi-penyederhaan perizinan menjadi hal yang sangat krusial untuk menarik investor, dan karenanya harus lebih atraktif dibandingkan negara-negara lainnya.

“Investor itu membandingkan satu negara dengan negara lainnya. jadi harus lebih atraktif dibanding negara lain seperti Vietnam, Malaysia dan Myanmar,” ungkap Nanang.

Hal senada juga disampaikan oleh Pendiri Reforminer Institute sekaligus Pengamat Migas Universitas Trisakti, Pri Agung Rakhmanto. Menurut Pri, adanya 25 calon investor yang mengakses data migas belum menjadi tolok ukur bahwa iklim investasi migas di Indonesia sudah menarik.

“Masih perlu dilihat lebih jauh lagi dan perlu dibarengi dengan upaya lain dalam kemudahan izin, kepastian fiskal, konsistensi regulasi dan birokrasi, yang menjadi isu utama dalam investasi hulu migas itu lebih menentukan,” katanya saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (27/10).

Pri berpendapat, biaya untuk mendapatkan akses data bukan menjadi penghambat utama dalam menarik investasi di sektor hulu migas. “Jadi saya kira tidak terlalu signifikan secara besaran dalam kerangka investasi hulu migas keseluruhan,” sambungnya.

Lebih lanjut, Pri menyebut bahwa akses gratis atau pun pengurangan biaya untuk mengakses data migas bukan menjadi faktor utama untuk menarik investor. Yang terpenting, sambung Pri, adalah sejauh mana kualitas informasi tersebut secara teknis dan bisnis dapat menunjang program yang akan dirancang perusahaan.

Pri menekankan, prinsip bisnis di hulu migas bertumpu pada risiko dan ganjaran (risk vs reward). Apabila risk tetap dan reward secara relatif aik dan lebih besar dibanding risk, maka investasi akan bertumbuh. Beg

Dalam hal ini, Pri menilai, bahwa pembukaan akses data tersebut tidak berpengaruh signifikan dalam prinsip risk vs reward tersebut. “Sehingga pengaruh langsungnya ke investasi atau ke dalam ease of doing business juga kemungkinan tidak dapat dikatakan cukup signifikan,” ungkap Pri.

Capaian Kuartal III

Terlepas dari beleid tentang akses data yang terbit pada Agustus lalu itu, SKK Migas mencatat bahwa hingga Kuartal III, penerimaan negara di sektor hulu migas baru mencapai US$ 10,99 miliar, atau menurun 6,86% dari periode yang sama pada tahun lalu yang mencapai US$ 11,8 miliar.

Secara target tahunan, angka US$ 10,99 miliar itu setara dengan 62,2% dari target tahun 2019 yang ditetapkan US$ 17,5 miliar. Terkait dengan penerimaan negara ini, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto menjelaskan bahwa hal itu juga dipengaruhi oleh Indonasia Crude Oil (ICP) yang hanya berada di angka US$ 60-an per barel, di bawah target asumsi makro APBN US$ 70 per barel.

Kendati begitu, realisasi investasi di sektor migas hingga September 2019 tercatat US$ 8,4 miliar atau meningkat 11% dibandingkan realisasi investasi di periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 7,6 miliar. Namun secara target tahunan, realisasi investasi per kuartal III itu baru mencapai 57,15% dari target investasi hulu migas tahun 2019 di angka US$ 14,7 miliar.

Meski target investasi untuk tahun ini masih sulit tercapai, namun Deputi Perencanaan SKK Migas Jaffee Suardin Arizon memproyeksikan bahwa investasi migas nasional akan terus meningkat. Sebab, hingga tahun 2027 direncanakan akan ada 42 proyek migas yang dapat bergulir dengan total investasi US$ 43,3 miliar, serta total produksi 1,1 juta boepd yang mencakup produksi minyak sebesar 92,1 ribu bopd dan gas sebesar 6,1 miliar kaki kubik per hari.

Peningkatan produksi dan cadangan minyak perlu dilakukan agar defisit migas berkurang

www.kontan.co.id; Kamis, 24 Oktober 2019 / 20:44 WIB

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Salah satu pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terbaru adalah memperbaiki current account deficit (CAD). Apalagi, salah satu penyebab utama pelebaran CAD adalah defisit neraca minyak dan gas (migas).

Sekadar catatan, per September 2019, defisit neraca migas Indonesia tercatat sebesar US$ 6,44 miliar. Hasil ini diperoleh dari nilai impor migas Indonesia yang mencapai US$ 15,86 miliar sedangkan ekspor migas hanya mencapai US$ 9,42 miliar.

Pengamat Energi dari Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, perbaikan neraca migas bukan perkara mudah dan tidak bisa diselesaikan dalam satu periode pemerintahan saja. Apalagi, defisit neraca migas sudah terjadi sejak tahun 2000.

Hal ini terjadi lantaran kebutuhan migas di dalam negeri yang terus belum mampu diimbangi oleh tingkat produksi yang memadai. “Khusus untuk minyak, konsumsi sudah mencapai 1,6 juta barel, tapi produksi minyak hanya bisa 800 ribu barel,” ujar dia kepada Kontan, Kamis (24/10).

Menurutnya, upaya terbaik yang bisa dilakukan sekarang adalah memperbanyak produksi dan cadangan minyak. Dengan begitu, setidaknya kebutuhan minyak di dalam negeri dapat terpenuhi dan impor berangsur-angsur turun.

Komaidi juga berpendapat, implementasi bauran BBM dengan biodiesel 20% (B20) hanya memberi manfaat bagi neraca migas secara jangka pendek. Terlebih, kebijakan tersebut disubsidi oleh pemerintah. “Risikonya, walau secara moneter menguntungkan, subsidi yang besar juga bisa membebani fiskal kita,” imbuhnya.

Justru, ketika harga crude palm oil (CPO) bergerak naik, alangkah baiknya pemerintah memaksimalkan momentum tersebut untuk memperbesar ekspor komoditas ini ke berbagai negara. “Nilai tambah dari ekspor CPO akan lebih terasa sewaktu harganya naik,” kata Komaidi.

Terlepas dari itu, ia berharap Arifin Tasrif yang kini menjadi Menteri ESDM periode 2019-2024 bisa mengemban tugasnya untuk memperbaiki defisit neraca migas. Pasalnya, masalah ini bisa memberi efek domino di tahun-tahun mendatang jika suatu pemerintahan gagal mengatasinya.

Perizinan Hulu Migas Didorong Satu Pintu Melalui SKK Migas

Sindonews.com: Selasa, 22 Oktober 2019 – 12:47 WIB

JAKARTA – Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mendorong agar tanggung jawab pengurusan izin investasi hulu migas tidak dilakukan sendiri oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Kewenangan tugas mengurus perizinan di kementerian/lembaga diniali sebaiknya dilakukan satu pintu melalui SKK Migas untuk mewakili negara dalam kontrak pengusahaan migas.

“Jadi nanti kita membantu menjadi satu pintu menyelesaikan perizinan ke pemerintah. Nantinya SKK Migas yang akan mengurus di kementerian/lembaga terkait,” ujar Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto saat berkunjung ke SINDO MEDIA, Jakarta, Senin (21/10/2019).

Dia meyakini perubahan konsep pengurusan perizinan tersebut akan mempercepat proses izin yang selama ini dikeluhkan KKKS mengingat SKK Migas merupakan bagian dari pemerintah. Terobosan tersebut juga dipastikan mampu mendorong investasi hulu migas di Indonesia.

“Mestinya itu akan lebih cepat karena SKK Migas adalah bagian dari pemerintah. Jadi nanti KKKS hanya berurusan dengan SKK Migas saja tidak perlu masuk ke masing-masing kementerian/lembaga,” ungkapnya.

Pihaknya berharap terobosan besar tersebut dapat menyelesaikan kesulitan perizinan yang selama ini dialami oleh KKKS termasuk pembebasan lahan. Harapannya, dengan adanya kemudahan berinvestasi tersebut, kegiatan eksplorasi dan dapat kembali bergairah sehingga cadangan dan produksi migas nasional dapat kembali meningkat.

“Mudah-mudahan ini akan menjadi terobosan besar untuk menyelesaikan kesulitan-kesulitan yang selama ini dialami investor hulu migas. Apalagi terobosan ini juga telah didukung pemangkasan perizinan di sektor hulu migas telah mencapai 50%,” kata dia.

Dosen FTKE Universitas Trisakti sekaligus pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan, memang sudah seharusnya pengurusan perizinan hulu migas menjadi tanggung jawab dari lembaga/institusi yang nantinya ditunjuk untuk mewakili negara dalam kontrak pengusahaan migas. Mekanisme yang dilakukan yakni dengan melakukan revisi Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas). Pasalnya kehadiran UU tersebut kemudian KKKS dituntut menyelesaikan perizinan sendiri.

Dalam konteks proses revisi UU Migas yang saat ini masih bergulir, imbuhnya, menjadi sangat penting untuk merumuskan secara lebih spesifik kewenangan dan sekaligus tugas dan tanggung jawab dari Badan Usaha Khusus (BUK) Migas, sebagaimana yang saat ini ada di dalam draf RUU Migas usulan DPR maupun di dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang disusun pemerintah.

“Penyelesaian persoalan perizinan hulu migas tidak dilakukan dengan cara menghapus perizinan di lintas kementerian atau sektor, tetapi dengan cara mengembalikan prinsip perizinan satu pintu,” kata dia.

Menurut dia, pengurusan perizinan dilakukan melalui institusi yang nantinya berdasarkan UU Migas yang baru ditunjuk untuk mewakili negara di dalam tugas pengusahaan kegiatan usaha hulu migas yang dilakukan melalui kontrak kerja sama. Dengan demikian, secara prinsip kontraktor hulu migas nantinya hanya perlu melakukan pengurusan perizinan di satu institusi dan tidak berlapis-lapis sebagaimana yang terjadi saat ini. “Poin prinsip inilah yang semestinya ada di dalam UU Migas yang baru nanti,” tegasnya.

Dia menekankan, apabila revisi UU Migas sulit dilakukan, menurut Pri Agung, pemerintah dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu). Penerbitan Perppu oleh pemeritah akan menjadi terobosan konkret yang lebih fundamental meningkatkan investasi hulu migas.

“Untuk menarik investasi hulu migas butuh terobosan konkret. Pemerintah bisa menyederhakan perizinan kegiatan operasional yang selama ini lintas kementerian/lembaga, lintas sektoral, pusat-regional, menjadi hanya satu pintu, yaitu di SKK migas,” ujarnya.

Lima Tahun Terkerangkeng Defisit Migas

Medcom.id; Jum’at, 18 Oktober 2019 12:34

Jakarta: Dalam kurun waktu lima tahun terakhir di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM) masih dibayang-bayangi oleh masalah yang sama; defisit minyak dan gas (migas).

Pengamat energi dan pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan defisit migas yang besar masih akan menjadi tantangan dan pekerjaan rumah bagi Kementerian ESDM di masa selanjutnya. Sektor migas akan tetap defisit sejalan dengan peningkatan kebutuhan energi masyarakat.

Di satu sisi Indonesia memang belum bisa memenuhi kebutuhan energinya sebab keterbatasan pasokan dari produksi migas yang kian menurun. Indonesia masih bergantung pada impor. Hal ini yang menjadikan defisit migas tetap menggerogoti neraca dagang dan transaksi berjalan Indonesia.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) teranyar mencatat, meskipun menurun, namun angkanya masih relatif tinggi. Defisit migas pada September 2019 sebesar USD761,8 juta cenderung menurun dibandingkan dengan September tahun lalu yang sebesar USD970,4 juta. Sedangkan kumulatif Januari-September 2019 sebesar USD6,4 miliar, menurun dari periode yang sama tahun lalu USD9,5 miliar.

“Permintaan energi terus naik, suplai harus cukup dengan tidak membebani perekonomian. Kalau kondisi sekarang dilakukan, suplai kita akan tidak cukup. Di sisi lain devisa yang dikeluarkan untuk impor akan makin membesar dan akan menjadi tekanan ke stabilitas fiskal maupun moneter,” kata Pri pada Medcom.id.

Artinya, kata dia, perlu dilakukan perbaikan dan peningkatan yang lebih signifikan di sektor ESDM terutama migas.

Berbagai upaya untuk menekan defisit migas diapresiasi, namun tetap harus dipacu untuk dilakukan pembenahan. Salah satunya dengan mendatangkan investasi migas dalam skala yang lebih besar baik untuk kegiatan eksplorasi yang berkaitan dengan produksi di hulu maupun pengembangan kapasitas kilang di hilirnya.

Pri menganggap investasi sebanyak 70 persen yang saat ini dilakukan merupakan operating expenses, yakni untuk melakukan operasi dan investasi yang sebelumnya sudah berjalan. Artinya, kecenderungan masuknya investasi baru di hulu migas masih minim. Sementara di hilir belum ada investasi asing langsung yang masuk untuk mengembangkan kilang.

Menurutnya, investasi menjadi kunci bagi Indonesia untuk memperbesar cadangan dan produksi migas dalam negeri. Dia bilang investasi adalah modal untuk mengembangkan pencarian cadangan baru dari sumber daya alam tanah air yang sangat potensial.

“Kita punya sumber daya besar tapi kalau tidak ada investasi maka akan tetap sebagai sumber daya, makannya butuh investasi untuk mengubah itu semua sebagai cadangan, lalu mengubah itu menjadi produksi,” ujar dia.

Praktisi migas nasional Tumbur Parlindungan memandang investasi di sektor migas sangat penting dalam konteks kedaulatan energi nasional. Pasalnya kebanyakan berasal dari impor, bukan dari hasil produksi dalam negeri.

Mengandalkan impor tentu tidak baik bagi negara. Selain mencederai tujuan kemandirian energi yang ingin diangkat oleh Indonesia, impor pun membebani keuangan negara.

Oleh karena itu, menurut Tumbur, pemupukan cadangan perlu dilakukan dengan memasifkan lagi kegiatan eksplorasi migas di Indonesia. Namun, sayangnya kegiatan ekplorasi terbentur oleh kepastian hukum di Tanah Air yang dinilai belum sepenuhnya mendukung.

Hal ini tentu membuat pengusaha di sektor migas berpikir ulang, sebab untuk melakukan eksplorasi migas di Indonesia penuh risiko. Belum tentu mendapatkan cadangan yang diharapkan kendati telah mengeluarkan dana besar. Untuk itu, dibutuhkan adalah jaminan hukum berinvestasi.

“Harusnya dibantu supaya investor nyaman berinvestasi. Kinesis dari mereka adalah kepastian hukum,” kata Tumbur.

Mantan President Indonesian Petroleum Association (IPA) ini meminta agar jangan ada lagi aturan baru yang bertentangan dengan kontrak yang telah ditandatangani. Tumbur menyarankan agar pemerintah membantu investor agar lebih nyaman berinvestasi.

Presiden Direktur Pertamina EP Nanang Abdul Manaf mengatakan, untuk menggairahkan investasi di sektor hulu migas, perlu impovisasi terutama dari sisi kebijakan. Penyederhanaan regulasi atau kebijakan perlu terus ditingkatkan agar membuat investasi di sektor ini makin atraktif. Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka investor akan lebih memilih negara lain untuk menambahkan modalnya.

“Investor kan inginnya satu payung hukum. Kalau bisa dari pusat sampai daerah. Investor bisa memilih, ketika di tempat lain lebih atraktif, mereka bisa pilih yang lebih mudah,” jelas Nanang.

Kendala payung hukum tidak hanya dirasakan oleh sektor migas. Sektor mineral dan batu bara (minerba) juga meminta agar kebijakan tidak cepat berubah mengingat ekplorasi memiliki risiko yang tinggi dan memakan waktu yang panjang.

“Jadi stabilitas kebijakan perlu didorong untuk meningkatkan ekplorasi, khusus kebijakan di sektor perizinan lahan hutan. Juga perlu dukungan insentif,” kata Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia.

Selain itu, tidak hanya perlu membenahi sektor migas dan minerba, pemerintah juga diminta konsisten dan memprioritaskan pengembangan energi terbarukan. Selain bisa mengurangi energi fosil, pengembangan energi terbarukan juga ditujukan untuk pengurangan emisi karbon yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat.

Lebih lanjut, Pemerintah juga perlu konsisten dalam kebijakan reformasi subsidi energi khususnya harga bahan bakar minyak (BBM) Solar yang di awal pemerintahan Jokowi sudah dihapuskan.

Di sisi kelistrikan, sambung Pri, bisa membuat perencanaan yang lebih baik untuk mengantisipasi kejadian pemadaman massal (blackout). Sebab, kejadian blackout sangat berdampak negatif bagi banyak hal, apalagi aktivitas masyarakat saat ini banyak ditopang oleh penggunaan kartu elektronik.

Distribusi Masih Menjadi Tantangan Bisnis Gas Bumi

Kontan,10 Oktober 2019

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemanfaatan gas bumi telah menjadi bagian dari penggerak ekonomi seiring dengan meningkatnya alokasi untuk kepentingan domestik. Gas bumi tak lagi hanya menjadi komoditas, tapi juga sebagai sumber energi potensial baik untuk sektor kelistrikan, industri maupun rumah tangga.

Kendati begitu, bisnis gas bumi bukannya tanpa kendala. Menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, kendala utama di bisnis gas bumi ialah masalah distribusi.

Komaidi menggambarkan, sekitar 80% pengguna gas berada di wilayah Indonesia bagian barat. Sebaliknya, saat ini sekitar 75% cadangan gas berada di wilayah Indonesia timur.

Selain itu, Komaidi menyebut bahwa karakteristik komoditas gas berbeda dengan minyak. “Kan distribusi gas berbeda dengan minyak. Kalau minyak diproduksi, bisa disimpan dalam suatu tempat dan bisa dipindahkan ke pengguna. Sementara gas unik, pilihannya relatif terbatas dalam hal distribusi,” kata Komaidi kepada Kontan.co.id, Kamis (10/10).

Pilihannya, kata Komaidi, gas tersebut harus diubah terlebih dulu menjadi gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) supaya mudah diangkut. Jika tidak, maka harus dibangun infrastruktur distribusi berupa jaringan pipa.

“Berarti harus bangun pipa sepanjang sumber dan pengguna. Tentu, dalam beberapa kasus, ini menjadi tidak ekonomis,” terang Komaidi.

Hal tersebut diamini oleh asosiasi trader gas melalui pipa atau Indonesian Natural Gas Trader Association (INGTA). Kepala Bidang Kelembagaan INGTA, A. Hendrayana mengatakan distribusi gas menjadi tantangan yang harus diatasi oleh anggotanya.

Alasannya, ada ketidak seimbangan antara daerah penghasil gas yang sebagian besar berada di Jawa, sementara penghasil gas lebih banyak di luar Jawa. “Jadi tantangannya ada di infrastruktur jalur pipa. Ini perlu diperhatikan sehingga dapat menggairahkan industri untuk lebih memanfaatkan gas,” kata Hendra saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (10/10).

Menurut Hendra, sektor industri memang menjadi penyerap gas terbanyak dibandingkan rumah tangga. “Kalau untuk pasokan ke rumah tangga angkanya kecil sekali, dibandingkan volume suplai ke industri,” sebutnya.

Untuk pangsa pasar penyaluran gas, Hendra menyebut, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) memegang peranan paling besar. Dari 26 perusahaan yang bernaung di INGTA, porsi sub holding gas BUMN untuk segmen industri dan rumah tangga sangat signifikan, yakni mencapai 96%. “Sementara 4% sisanya dipegang oleh 25 anggota lainnya,” ungkap Hendrayana.

Selain karena besaran investasi, PGAS memegang porsi yang besar lantaran mendapatkan penugasan dari pemerintah, seperti membuat pipa transmisi. “Mereka (PGAS) mendapat penugasan dan previlage dari pemerintah serta mendapatkan alokasi gas yang diprioritaskan sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM,” terangnya.

Asal tahu saja, bersama pemerintah, PGAS memang diberikan penugasan untuk membangun infrastruktur gas bumi, seperti jaringan distribusi gas bumi (jargas). Targetnya, akan terbangun jargas sebanyak 4,7 juta sambungan hingga 2025 nanti.

Hingga tutup tahun lalu, PGAS sudah merealisasikan 524.433 sambungan. Adapun untuk tahun ini, subholding gas bumi plat merah itu menargetkan pembangunan 78.216 sambungan.

Sebagai informasi, hingga Semester I 2019 volume distribusi PGAS mencapai 932 BBUTD, yang mana lebih dari 95% dialirkan ke segmen industri.