Tak Kuat, 14 Kontraktor Migas RI Minta Revisi Target Produksi

CNBC Indonesia; Sabtu 13 April 2020 16:59

Jakarta, CNBC Indonesia – Anjloknya harga minyak dampak dari pandemi corona (Covid-19) membuat beberapa Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) bakal merevisi program kerjanya tahun ini.

Deputi Operasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Julius Wiratno mengatakan saat ini sudah ada sekitar 14 KKKS yang mengajukan.

“Sudah ada sekitar 14 KKKS sampai minggu lalu yang review scenarionya, tapi  maaf saya nggak hafal,” kata Julius  kepada CNBC Indonesia.

Ia menyebut sampai saat ini SKK Migas masih terus melakukan diskusi dengan beberapa KKKS membahas terkait rencana ini. “Kami masih terus bersiskusi dengan beberapa KKKS terkait dengan rencana perubahan program kerja,” paparnya.

Sebelumnya, Kepala SKK Migas  Dwi Soetjipto mengatakan, dampak dari anjloknya harga minyak mentah berdampak pada kontraktor migas yang ramai-ramai merevisi target produksi. “Di bawah ICP US$ 35, mulai banyak yang mereschedule program pengembangan,” ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Senin, (06/04/2020).

Pengamat Migas dari Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto mengatakan dampak terhadap lifting dalam jangka pendek belum terasa, karena operasi masih bejalan seperti biasa. Namun, dalam dua sampai tiga bulan ke depan dampaknya akan mulai terasa.

Mulai ada perlambatan mobilitas, baik di dalam pergerakan orang maupun logistik. Kondisi ini dipastikan akan berdampak pada kegiatan operasional di hulu dan kemudian lifting. “Harga minyak yang rendah, cepat atau lambat Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) akan melakukan penyesuaian di dalam budget dan expenses,” jelasnya.

Di jangka pendek, imbuhnya, akan berdampak ke anggaran untuk kegiatan lifting. Lalu jangka menengah dan panjang berdampak ke investasi lain seperti eksplorasi, enhanced oil recovery (EOR), maupun projek-projek baru.

“Berapa kuantitatifnya? Saya kira semua sedang berupaya menghitungnya, sambil terus memantau perkembangan yang terjadi. Kalau hanya harga minyak yang turun, lebih mudah memperkirakannya, tetapi ini juga bersamaan dengan pandemi Covid-19, sehingga memang lebih kompleks,” jelasnya.

Sebagai informasi  harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) bulan Maret terjun bebas 39,5% menjadi US$ 34,23 per barel. Atau anjlok US$ 22,38 per barel dibandingkan bulan sebelumnya US$ 56,61 per barel.

Penetapan Harga Gas Industri Dikhawatirkan Hambat Perluasan Pemanfaatan Gas Bumi

Bisnis.Com; 15 April 2020

Pengamat Energi dari ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, kebijakan harga gas yang jauh dari tingkat keekonomian proyek akan membuat pembangunan infrastruktur gas bumi semakin sulit.

JAKARTA - Keputusan pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan harga gas industri tertentu dan PLN sebesar enam dolar AS per MMBTU di pembangkit tenaga listrik (plant gate) dinilai bakal menyurutkan perluasan pemanfaatan gas bumi.

Pengamat Energi dari ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, kebijakan harga gas yang jauh dari tingkat keekonomian proyek akan membuat pembangunan infrastruktur gas bumi semakin sulit.

“Jika harga gas diatur sedemikian rendah dan tidak memberi ruang bagi perusahaan niaga untuk mendapatkan keuntungan yang layak, perusahaan niaga tentu akan membatasi ekspansi pembangunan infrastruktur gas bumi,” katanya dikutip dari Antara.

Menurut Komaidi, gas bumi Indonesia memiliki karakteristik yakni sumber gas sebagian besar berada di wilayah Indonesia bagian timur. Sementara konsumsi gas terbesar berada di Indonesia bagian barat. Dalam situasi inilah, infrastruktur menjadi kunci dalam mengoptimalkan sumber daya alam nasional ini untuk kepentingan domestik.

“Besarnya cadangan gas bumi yang saat ini ada di Indonesia tak berarti tanpa dukungan infrastruktur yang memadai. Harusnya pemerintah fokus membangun infrastruktur ini jika tak ingin terbebani impor BBM yang semakin besar,” Komaidi menilai pemerintah akan sulit mewujudkan target ambisius itu. Apalagi harga gas bumi yang diputuskan pemerintah menjadikan energi ini semakin tidak menarik sebagai instrumen investasi.

Kemudian, jika mengandalkan pengembangan infrastruktur gas bumi kepada Perusahaan Gas Negara (PGN) juga berat karena kemampuannya untuk membangun infrastruktur dalam beberapa tahun terakhir terus menurun. Terbukti margin laba bersih (net profit margin) PGN selama periode 2015-2019 turun rata-rata 40 persen setahun.

“PGN yang didukung pemerintah saja makin kedodoran untuk membangun infrastruktur. Dengan harga gas yang semakin tidak menarik, siapa yang mau bangun infrastruktur gas bumi. Tidak ada pebisnis yang mau rugi, apalagi investor,” tegas Komaidi.

Pandemi Virus Corona Menambah Kompleksitas Masalah Industri Hulu Migas

Dunia Energi, 15 April 2020

JAKARTA – Kondisi industri migas, baik dunia maupun di Indonesia benar-benar mendapatkan pukulan telak. Selain karena anjloknya harga minyak akibat perang harga, pandemi virus Corona atau Covid-19 menjadi pembeda dalam kondisi kali ini. Pemerintah pun diminta campur tangan  lebih besar untuk bisa menyelamatkan masa depan industri hulu migas nasional.

Pri Agung Rakhmanto, pengamat migas dari Universitas Trisakti, mengatakan industri hulu migas tidak bisa memandang sebelah mata pandemi Covid-19, karena akan berimbas, cepat atau lambat. Harga minyak  rendah, industri migas mungkin sudah lebih siap menghadapi karena hal itu, karena bukanlah yang pertama terjadi.

“Tapi Covid-19, yang berimbas ke kontraksi atau bahkan bisa krisis perekonomian global, industri hulu migas juga mesti bersiap dan melakukan langkah-langkah antisipasi bersama dengan pemerintah tentunya,” kata Pri Agung kepada Dunia Energi, Selasa (15/4).

Pri menilai, rata-rata harga minyak dunia berpotensi bisa lebih rendah lagi dari pada US$30 per barel, terutama untuk semester I 2020. Pandemi Covid-19 juga bisa membuat perekonomian global 2020 tumbuh negatif, sehingga permintaan minyak global juga akan semakin melemah dan juga bisa negatif. Sehingga, pun ketika tensi perang harga antara Arab Saudi, Rusia dan Amerika Serikat berkurang, harga juga tetap berat untuk bisa naik.

“Ini sepertinya terbukti ketika kesepakatan pemangkasan produksi baru saja dicapai tapi peningkatan harga minyak dunia tidak signifikan,” kata Pri.

Harga minyak mentah WTI berjangka anjlok 2,05% ke level US$21,95 per barel. Minyak mentah Minyak Brent Berjangka turun 1,04% di $31,41 per barel.

Organisasi negara pengekspor minyak (OPEC) bersama negara mitra atau OPEC+ sepakat untuk memangkas produksi minyak hingga 9,7 juta barel per hari mulai Mei hingga Juni 2020 atau setara dengan 10% pasokan global sebelum merebaknya pandemi corona.

Pri menilai pengaruh terhadap target lifting migas di tanah air cepat atau lambat akan segera dirasakan akibat kondisi global ini. Akan ada perlambatan mobilitas, baik di dalam pergerakan orang maupun logistik. Jelas itu akan berdampak kepada kegiatan operasional di hulu dan kemudian lifting.

Harga minyak yg rendah, cepat atau lambat Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) akan melakukan penyesuaian di dalam budget dan expenses.

“Ujungnya pasti berpengaruh kepada kegiatan operasional. Di jangka pendek, efeknya ke anggaran untuk kegiatan lifting. Di jangka menengah-panjang, ke investasi lain seperti eksplorasi, EOR, maupun poject-project baru,” ungkap Pri Agung.

Dia mengingatkan kondisi ini berbeda dengan kondisi anjloknya harga minyak dunia beberapa kali sebelumnya. Keputusan investasi para KKKS besar di tanah air juga diperkirakan tidak akan berjalan dengan mulus. Pasalnya kantor pusat KKKS tersebut berada di negara yang saat ini sedang berjibaku juga dengan Covid-19.

“Saya kira semua sedang berupaya menghitungnya, sambil terus memantau perkembangan yang terjadi. Kalau hanya harga minyak yang turun, lebih mudah memperkirakannya. Namun ini juga bersamaan dengan pandemi Covid-19, sehingga memang lebih kompleks. Apalagi sebagian keputusan investasi KKKS juga dilakukan di kantor pusat di luar negeri seperti Amerika Serikat, Inggris, Spanyol, yang saat ini juga masih bergulat dengan Covid 19,” ujarnya.

Menurut Pri Agung, kondisi saat ini juga bisa dipakai sebagai momentum untuk mengubah paradigma kebijakan hulu migas nasional. Bukan saatnya lagi di hulu migas Indonesia memprioritaskan aspek penerimaan negara sebagai yang utama. Pemerintah tidak perlu lagi mengambil porsi penerimaan negara yang terlalu besar dari migas di hulu. Tetapi lebih penting dari itu adalah bagaimana hulu tetap dapat menarik investasi, karena dari investasi itulah perekonomian akan berputar. Investasi hulu migas memiliki multiplier efek dan ada efeknya langsung juga ke neraca pembayaran nasional, moneter dan lain-lain.

Ditingkat operasional kebijakan perubahan paradigma tersebut bisa diwujudkan dengan menerpakan skema Production Sharing Contract (PSC) baru dengan split baru yang lebih menarik, kemudian memberikan tambahan insentif berupa investment credit, percepatan pengembalian cost recovery serta insentif fiskal dan non fiskal lainnya. Ini bisa diterapkan sehinga akan membantu keekonomian project-project dan investasi migas agar tetap dapat berjalan dan menggerakkan perekonomian, menyerap tenaga kerja.

“Itu yang mestinya jadi paradigma baru. Bentuk kontrak apa pun, asalkan menarik bagi investasi, dibuka selebar-lebarnya saja,” tegas Pri Agung.(RI)

Ketetapan Harga Gas Di Bawah Keekonomian

Investor Daily: Rabu, 15 April 2020 | 20:30 WIB

JAKARTA, investor.id -Harga gas untuk industri tertentu sebesar US$ 6 per MMBTU di plant gate dinilai berada di bawah nilai keekononomian. Hal  ini dikhawatirkan menurunkan minat investor untuk berinvestasi dalam pengembangan infrasruktur gas bumi.

“Jika harga gas diatur sedemikian rendah dan tidak memberi ruang bagi perusahaan niaga untuk mendapatkan keuntungan yang layak, jangan berharap terlalu banyak terhadap optimalisasi gas bumi. Dengan biaya dan risiko yang besar, perusahaan niaga tentu akan membatasi ekspansi pembangunan infrastruktur gas bumi,” kata Pengamat Energi dari ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, dalam keterangannya, Rabu (15/4).

Menurut Komaidi gas bumi Indonesia memiliki karakteristik dimana sumber gas sebagian besar berada di wilayah Indonesia Bagian Timur. Sementara konsumsi gas terbesar berada di Indonesia Bagian Barat. Dalam situasi inilah infrastruktur menjadi kunci dalam mengoptimalkan sumber daya alam nasional ini untuk kepentingan domestik.

 “Besarnya cadangan gas bumi yang saat ini ada di Indonesia tak berarti tanpa dukungan infrastruktur yang memadai. Harusnya pemerintah fokus membangun infrastruktur ini jika tak ingin terbebani impor BBM yang semakin besar,” ujarnya.

Pemerintah sendiri telah menetapkan sejumlah target-target kinerja jangka panjang terkait optimalisasi gas bumi. Sebagai contoh dalam rencana Induk Infrastruktur Gas Bumi Indonesia 2016-2030 Kementerian ESDM menargetkan pipa open access bertambah menjadi 9.992 km atau bertambah 5.695 km dibandingkan tahun 2016. Kemudian pipa hilir ditargetkan bertambah 1.140,70 km menjadi 6.301 km. Sehingga total panjang pipa gas bumi di Indonesia mencapai 16.364 km dari posisi tahun 2016 sepanjang 9.528,18 km.

Namun, Komaidi menilai pemerintah akan sulit mewujudkan target ambisius itu. Apalagi harga gas bumi yang diputuskan pemerintah menjadikan energi ini semakin tidak menarik sebagai instrumen investasi.

Lebih jauh Komaidi mengatakan, dengan kebijakan pemerintah yang seringkali berubah dan politis, ketahanan energi nasional menjadi taruhan. Yang terdekat adalah realisasi target bauran energi pembangkit listrik yang telah diputuskan, dimana bauran gas bumi ditargetkan mencapai 22,2 persen. Untuk mencapai target itu, lanjut Komaidi, dibutuhkan pembangunan berbagai infrastruktur gas bumi agar mampu menjangkau wilayah-wilayah baru.

“Dengan iklim bisnis yang tidak kondusif seperti saat ini, sektor gas bumi beserta pembangunan infrastrukturnya akan mengalami stagnasi. Apalagi wabah Corona yang datang tiba-tiba telah merontokkan hampir semua aktivitas ekonomi kita,” tambah Komaidi.

Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa pernah mengungkapkan, berdasarkan Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional (RIJTDGBN) 2012 – 2025 yang tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 2700 K/11/MEM/2012, terdapat 18 jalur pengembangan pipa gas bumi. Namun dari 18 proyek jalur pipa gas yang bakal dibangun itu baru tiga jalur yang berhasil di lelang. Ketiganya yaitu Kalimantan-Jawa Tahap II (Kalija II), Duri-Dumai, dan Grissik – Palembang.

Ketetapan Harga Gas Di Bawah Keekonomian

InvestorDaily; 15 April 2020

JAKARTA, investor.id -Harga gas untuk industri tertentu sebesar US$ 6 per MMBTU di plant gate dinilai berada di bawah nilai keekononomian. Hal  ini dikhawatirkan menurunkan minat investor untuk berinvestasi dalam pengembangan infrasruktur gas bumi.

“Jika harga gas diatur sedemikian rendah dan tidak memberi ruang bagi perusahaan niaga untuk mendapatkan keuntungan yang layak, jangan berharap terlalu banyak terhadap optimalisasi gas bumi. Dengan biaya dan risiko yang besar, perusahaan niaga tentu akan membatasi ekspansi pembangunan infrastruktur gas bumi,” kata Pengamat Energi dari ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, dalam keterangannya, Rabu (15/4).

Menurut Komaidi gas bumi Indonesia memiliki karakteristik dimana sumber gas sebagian besar berada di wilayah Indonesia Bagian Timur. Sementara konsumsi gas terbesar berada di Indonesia Bagian Barat. Dalam situasi inilah infrastruktur menjadi kunci dalam mengoptimalkan sumber daya alam nasional ini untuk kepentingan domestik.

“Besarnya cadangan gas bumi yang saat ini ada di Indonesia tak berarti tanpa dukungan infrastruktur yang memadai. Harusnya pemerintah fokus membangun infrastruktur ini jika tak ingin terbebani impor BBM yang semakin besar,” ujarnya.

Pemerintah sendiri telah menetapkan sejumlah target-target kinerja jangka panjang terkait optimalisasi gas bumi. Sebagai contoh dalam rencana Induk Infrastruktur Gas Bumi Indonesia 2016-2030 Kementerian ESDM menargetkan pipa open access bertambah menjadi 9.992 km atau bertambah 5.695 km dibandingkan tahun 2016. Kemudian pipa hilir ditargetkan bertambah 1.140,70 km menjadi 6.301 km. Sehingga total panjang pipa gas bumi di Indonesia mencapai 16.364 km dari posisi tahun 2016 sepanjang 9.528,18 km.

Namun, Komaidi menilai pemerintah akan sulit mewujudkan target ambisius itu. Apalagi harga gas bumi yang diputuskan pemerintah menjadikan energi ini semakin tidak menarik sebagai instrumen investasi. Lebih jauh Komaidi mengatakan, dengan kebijakan pemerintah yang seringkali berubah dan politis, ketahanan energi nasional menjadi taruhan. Yang terdekat adalah realisasi target bauran energi pembangkit listrik yang telah diputuskan, dimana bauran gas bumi ditargetkan mencapai 22,2 persen. Untuk mencapai target itu, lanjut Komaidi, dibutuhkan pembangunan berbagai infrastruktur gas bumi agar mampu menjangkau wilayah-wilayah baru.

“Dengan iklim bisnis yang tidak kondusif seperti saat ini, sektor gas bumi beserta pembangunan infrastrukturnya akan mengalami stagnasi. Apalagi wabah Corona yang datang tiba-tiba telah merontokkan hampir semua aktivitas ekonomi kita,” tambah Komaidi.

Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa pernah mengungkapkan, berdasarkan Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional (RIJTDGBN) 2012 – 2025 yang tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 2700 K/11/MEM/2012, terdapat 18 jalur pengembangan pipa gas bumi. Namun dari 18 proyek jalur pipa gas yang bakal dibangun itu baru tiga jalur yang berhasil di lelang. Ketiganya yaitu Kalimantan-Jawa Tahap II (Kalija II), Duri-Dumai, dan Grissik – Palembang.

Artikel ini telah tayang di Investor.id dengan judul “Ketetapan Harga Gas Di Bawah Keekonomian”
Penulis: Euis Rita Hartati
Read more at: http://brt.st/6xuj

Penetapan Harga Gas Industri Dikhawatirkan Hambat Perluasan Pemanfaatan Gas Bumi

Bisnis.com; 15 April 2020

Pengamat Energi dari ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, kebijakan harga gas yang jauh dari tingkat keekonomian proyek akan membuat pembangunan infrastruktur gas bumi semakin sulit.

JAKARTA - Keputusan pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan harga gas industri tertentu dan PLN sebesar enam dolar AS per MMBTU di pembangkit tenaga listrik (plant gate) dinilai bakal menyurutkan perluasan pemanfaatan gas bumi.

Pengamat Energi dari ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, kebijakan harga gas yang jauh dari tingkat keekonomian proyek akan membuat pembangunan infrastruktur gas bumi semakin sulit.

“Jika harga gas diatur sedemikian rendah dan tidak memberi ruang bagi perusahaan niaga untuk mendapatkan keuntungan yang layak, perusahaan niaga tentu akan membatasi ekspansi pembangunan infrastruktur gas bumi,” katanya dikutip dari Antara.

Menurut Komaidi, gas bumi Indonesia memiliki karakteristik yakni sumber gas sebagian besar berada di wilayah Indonesia bagian timur. Sementara konsumsi gas terbesar berada di Indonesia bagian barat. Dalam situasi inilah, infrastruktur menjadi kunci dalam mengoptimalkan sumber daya alam nasional ini untuk kepentingan domestik.

“Besarnya cadangan gas bumi yang saat ini ada di Indonesia tak berarti tanpa dukungan infrastruktur yang memadai. Harusnya pemerintah fokus membangun infrastruktur ini jika tak ingin terbebani impor BBM yang semakin besar,” Komaidi menilai pemerintah akan sulit mewujudkan target ambisius itu. Apalagi harga gas bumi yang diputuskan pemerintah menjadikan energi ini semakin tidak menarik sebagai instrumen investasi.

Kemudian, jika mengandalkan pengembangan infrastruktur gas bumi kepada Perusahaan Gas Negara (PGN) juga berat karena kemampuannya untuk membangun infrastruktur dalam beberapa tahun terakhir terus menurun. Terbukti margin laba bersih (net profit margin) PGN selama periode 2015-2019 turun rata-rata 40 persen setahun.

“PGN yang didukung pemerintah saja makin kedodoran untuk membangun infrastruktur. Dengan harga gas yang semakin tidak menarik, siapa yang mau bangun infrastruktur gas bumi. Tidak ada pebisnis yang mau rugi, apalagi investor,” tegas Komaidi.

ICP Di Bawah US$ 35, KKKS Migas RI Revisi Target Produksi

CNBC Indonesia, 6 April 2020

Jakarta, CNBC Indonesia – Anjloknya harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) bulan Maret berdampak pada kontraktor migas yang ramai-ramai merevisi target produksi.

Hal ini disampaikan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto.

“Di bawah ICP US$ 35, mulai banyak yang mereschedule program pengembangan,” ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Senin, (06/04/2020).

Sementara mengenai dampak anjloknya harga minyak pada lifting, SKK Migas masih melakukan penghitungan. “Masih dikalkulasi,” ungkap Wakil Kepala SKK Migas Fataryani Abdurrahman.

Pengamat Migas dari Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto mengatakan dampak terhadap lifting dalam jangka pendek belum terasa, karena operasi masih bejalan seperti biasa. Namun, dalam dua sampai tiga bulan ke depan dampaknya akan mulai terasa.

Mulai ada perlambatan mobilitas, baik di dalam pergerakan orang maupun logistik. Kondisi ini dipastikan akan berdampak pada kegiatan operasional di hulu dan kemudian lifting. “Harga minyak yang rendah, cepat atau lambat Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) akan melakukan penyesuaian di dalam budget dan expenses,” jelasnya.

Di jangka pendek, imbuhnya, akan berdampak ke anggaran untuk kegiatan lifting. Lalu jangka menengah dan panjang berdampak ke investasi lain seperti eksplorasi, enhanced oil recovery (EOR), maupun projek-projek baru.

“Berapa kuantitatifnya? Saya kira semua sedang berupaya menghitungnya, sambil terus memantau perkembangan yang terjadi. Kalau hanya harga minyak yang turun, lebih mudah memperkirakannya, tetapi ini juga bersamaan dengan pandemi Covid-19, sehingga memang lebih kompleks,” jelasnya.

Menghadapi kondisi ini peran pemerintah dibutuhkan untuk memberikan stimulus atau insentif agar investasi dan kegiatan operasional dunia usaha tetap berjalan. Anjloknya harga minyak menurutnya bisa menjadi momentum untuk merubah paradigma kebijaka hulu migas nasional.

“Bukan saatnya lagi di hulu migas kita memprioritaskan aspek penerimaan negara sebagai yang utama. Pemerintah tidak perlu lagi mengambil porsi penerimaan negara yang terlalu besar dari migas di hulu. Tetapi lebih penting dari itu adalah bagaiman hulu tetap dapat menarik investasi,” tuturnya.

Seperti diketahui, harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) bulan Maret terjun bebas 39,5% menjadi US$ 34,23 per barel. Atau anjlok US$ 22,38 per barel dibandingkan bulan sebelumnya US$ 56,61 per barel.