BBM Premium dan Pertalite Mau Dihapus, Keuangan Negara Bisa Terancam

Kumparan; 26 Desember 2021

Pemerintah kembali mengemukakan rencana penghapusan bahan bakar minyak (BBM) RON 88 atau Premium dan Bensin RON 90 alias Pertalite dan menggantinya dengan BBM berkadar oktan (Research Octane Number/RON) di atas 91 yang dinilai ramah lingkungan.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan kebijakan tersebut apabila diterapkan akan ada risiko bisnis dan APBN, sehingga perlu disiapkan juga upaya mitigasinya.
Selama 2020, Pertamina telah berkontribusi pada negara sebesar Rp 126,7 triliun. Jumlah tersebut meliputi setoran pajak sebesar Rp 92,7 triliun, dividen Rp 8,5 triliun, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 25,5 triliun.
“Selama ini penjualan terbesar dari usaha BBM Pertamina adalah dari produk pertalite dan premium, jika nantinya dihilangkan pasti ada dampak bagi bisnis Pertamina, minimal dalam jangka waktu tertentu,” kata Komaidi kepada kumparan, Minggu (26/12).
Untuk harga BBM Premium (RON 88) dan Pertalite (RON 91) saat ini di wilayah Jabodetabek masing-masing adalah Rp 6.540 per liter dan Rp 7.650 per liter, lebih murah dibanding BBM Pertamax (RON 92) yang dijual dengan harga Rp 9.000 per liter, atau Pertamax Turbo (RON 98) Rp 12.000 per liter.
Komaidi juga menilai bahwa wacana penghapusan BBM Premium seperti ini bukan lagi menjadi hal baru dalam konteks regulasi. Menurutnya, sudah sejak lama penggunaan bahan bakar minyak ramah lingkungan diatur di dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLKH).
Dalam catatan kumparan, berdasarkan Peraturan Menteri KLHK Nomor P.20 Tahun 2017, Indonesia sudah harus mengadopsi kendaraan dengan BBM berdasar Euro 4 sejak 10 Maret 2017.
BBM yang memenuhi standar Euro 4 yaitu bensin dengan RON di atas 91 dan kadar sulfur maksimal 50 ppm. Sedangkan untuk produk diesel, minimal Cetene Number (CN) 51 dan kadar sulfur maksimal 50 ppm.
Jika berpatokan pada kualifikasi tersebut, maka Premium, Pertalite, dan Solar tidak memenuhi standar karena masih di bawah Euro 4.
Dorong Percepatan Revisi UU Migas, Ini Kata Pengamat Reforminer Institute

Kontan, 20 Desember 2021

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Dengan maraknya Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) asing yang hengkang dari Indonesia, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menilai, sedikit banyak akan memberikan pengaruh bagi target investasi hulu migas.

“Bagaimanapun hal tersebut akan berdampak terhadap persepsi yang terbentuk. Bisa muncul persepsi bahwa iklim investasi di Indonesia tidak cukup kondusif. Saya kira ini hal yg perlu diantisipasi,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Jumat (16/12).

Selain perihal target investasi hulu migas, hal ini juga akan turut memberikan tantangan yang besar terhadap target produksi yang dicanangkan sebelumnya yakni produksi minyak sebesar 1 juta barel dan gas 12 BSCFD pada tahun 2030. Komaidi bilang, tantangan untuk mencapai target tersebut secara relatif menjadi lebih berat.

Dengan kondisi ini, beban sebagian besar akan berada di pundak Pertamina. Sementara seperti yang diketahui, peran Pertamina tidak hanya terkait produksi di hulu tetapi juga harus maksimal di hilirnya.

Komaidi menyoroti, pentingnya segera menyelesaikan proses revisi UU No 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi sebagai payung hukum tertinggi dalam kegiatan usaha hulu migas yang kerap menjadi kendala masuknya investasi.

“Selain sudah sangat lama prosesnya yakni 13 tahun beberapa ketentuan yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi harus segera ditindaklanjuti.

Salah satunya terkait posisi SKK Migas sebagai pengganti BP Migas yang dibubarkan berdasarkan keputusan MK,” ujarnya. Saat dihubungi, pihak SKK Migas tidak memberikan keterangan lebih lanjut mengenai dampak hengkangnya KKKS asing ke investasi hulu migas.

SKK Migas hanya memastikan bahwa program peningkatan produksi tetap berjalan khususnya di WK Coridor pasca-pengambilalihan Participating Interest Wilayah Kerja koridor dari ConocoPhillips oleh Medco Energi Global Pte. Ltd Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas, Rinto Pudyo mengatakan terkait pengambilalihan participating interest merupakan suatu hal biasa di dalam dunia bisnis.

“Karena itu yang kami lakukan adalah memastikan agar program-program peningkatan produksi tetap terjaga,” jelasnya saat dihubungi terpisah.

Sebagai informasi, Kontrak Kerja Sama WK Coridor ditandatangani pertama kali pada 20 Desember 1983, dan telah mendapatkan perpanjangan kontrak sebanyak dua kali.

Perpanjangan pertama dilakukan pada 7 Oktober 1996 dengan tanggal efektif kontrak pada 20 Desember 2003 hingga 19 Desember 2023, dengan kontrak bagi hasil (PSC). Sedang perpanjangan kedua ditandatangani pada 11 November 2019 dan akan berlaku efektif mulai tanggal efektif 20 Desember 2023 selama 20 tahun, dengan kontrak Gross Split.

Peralihan saham WK Coridor berawal saat Phillips International Investment Inc (Phillips International), yaitu perusahaan yang merupakan pemegang saham tidak langsung dari CPGL, menandatangani Share Purchase and Sale Agreement (SPSA) untuk menjual 100% saham di ConocoPhillips Indonesia Holding Ltd. (CIHL) yang memiliki 100% saham di WK CPGL, kepada PT Medco.

Transaksi ini bergantung pada penyelesaian SPSA yang diperkirakan akan terjadi pada Kuartal I tahun 2022, di mana prosesnya akan mengakibatkan terjadinya perubahan pengendalian secara tidak langsung atas CPGL. Akibat peralihan tersebut, Medco akan berhak menjadi penguasa 54% saham WK Coridor, sekaligus akan bertindak sebagai operator WK tersebut, baik pada saat kontrak PSC maupun ketika memasuki era perpanjangan kontrak berdasarkan GS.

Adapun pemilik PI lain WK tersebut adalah Talisman Coridor dan PHE Coridor. WK Coridor saat ini memproduksi minyak dan gas. Realisasi produksi minyak adalah 6.864 bopd atau lebih besar dari target di WPNB 2021 sebesar 6.691 bopd. Sedang produksi gas sebesar 989,70 mmscfd, digunakan untuk memenuhi kebutuhan gas dalam negeri dan luar negeri.

 

Ditinggal Perusahaan Besar, Target Produksi Migas Andalkan ke Pertamina

Bisnis.com; 13 Desember 2021

Bisnis.com, JAKARTA – Besarnya kebutuhan investasi untuk mencapai target peningkatan produksi minyak dan gas bumi membutuhkan peranan perusahaan berskala besar. Dengan berkurangnya partisipasi perusahaan raksasa di dalam negeri, maka PT Pertamina (Persero) dipastikan akan berperan cukup besar.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan bahwa untuk mencapai target peningkatan produksi minyak 1 juta barel per hari (BOPD) dan gas bumi 12 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD) akan menjadi lebih berat apabila hanya mengandalkan Pertamina.

Menurut dia, pencapaian target itu akan menjadi lebih berat apabila seluruhnya dibebankan ke Pertamina. Di samping itu, distribusi risiko akan lebih baik jika ada pelaku lain yang juga berpartisipasi.

“Karena itu, tanpa mengurangi peran Pertamina, penting kiranya jika pemerintah juga dapat kembali mengundang KKKS [kontraktor kontrak kerja sama] hulu migas utama yang sebelumnya sudah beroperasi di Indonesia utamanya,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (13/12/2021).

Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal menjelaskan bahwa industri hulu migas erat kaitannya dengan risiko bisnis yang tinggi.

Moshe berpendapat hanya perusahaan migas besar yang memiliki kemampuan untuk mengambil risiko besar dengan harapan mendapatkan keuntungan yang sepadan.

“Untuk investor kelas menengah yang sekarang lebih berperan, pemerintah harus bisa mengurangi risiko eksplorasi kalau mau ditawarkan lapangan baru. Pemerintah juga harus investasi untuk menambah data lapangan, membantu mengurangi ketidakpastian, dan risiko sebuah lapangan,” katanya kepada Bisnis, Senin (13/12/2021).

Di lain pihak, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan bahwa kendati saat ini perusahaan besar sudah keluar dari Indonesia, masih terdapat sejumlah perusahaan migas yang masih bertahan untuk bisa mencapai target tersebut.

Dia menilai, Pertamina yang saat ini menguasai lifting migas nasional menjadi tumpuan dalam mencapai target tersebut, tetapi tidak mengecilkan arti dari KKKS lain.

“Untuk mencapai target tersebut tidak bisa hanya SKK Migas, Kementerian ESDM, dan Pertamina saja yang berjuang. Harus dibantu oleh kementerian dan lembaga lain dalam mencapai target tersebut,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (13/12/2021).

Raksasa Migas Hengkang, Target 1 Juta Barel Cuma Jadi Angan?

CNBCIndonesia,09 Desember 2021

Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah RI memiliki target ambisius terkait produksi minyak dan gas bumi (migas) pada 2030. Untuk produksi minyak ditargetkan mencapai 1 juta barel per hari (bph), sementara untuk gas ditargetkan hingga 12 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD).

Target itu bukan tanpa tantangan, salah satu tantangan yang dihadapi dalam beberapa waktu ini yaitu investor-investor raksasa di sektor migas mengundurkan diri dari Indonesia.

Lalu, mungkinkah target 1 juta bph dan 12 BSCFD itu bisa tercapai?

Pri Agung Rakhmanto, Ahli Ekonomi Energi dan Perminyakan Universitas Trisakti dan juga pendiri ReforMiner Institute, mengatakan bahwa iklim investasi migas RI yang kalah kompetitif tentunya akan membuat target yang dicanangkan itu sulit tercapai.

Alasannya, secara kalkulasi target 1 juta barel per hari minyak dan 12 BSCFD gas itu memerlukan tambahan produksi dari lapangan-lapangan migas skala besar.

“Untuk bisa mencapai 1 juta bph, secara kalkulasi memerlukan tambahan produksi dari lapangan-lapangan migas skala besar yang di dalam kenyataan, umumnya atau mayoritas dihasilkan dari investasi-investasi skala besar yang dilakukan oleh para major international oil companies (IOCs),” ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Kamis (09/12/2021).

Pri berpandangan jika 1 juta bph ini belum layak untuk disebut sebagai target karena belum ada kejelasan dari detail program kerjanya. Misalnya, dari lapangan mana saja target produksi itu dihasilkan.

“Termasuk di dalamnya akan dari lapangan mana produksi itu dihasilkan, berapa produksinya, kapan waktunya, dan oleh siapa yang akan melakukannya, sampai saat ini belum jelas,” ucap Pri Agung.

Hal senada disampaikan oleh Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi. Dia mengatakan, target ini mustahil dicapai tanpa adanya temuan cadangan yang besar.

“Target 1 juta bph mustahil dicapai, kecuali ditemukan sumur baru dengan cadangan terbukti yang besar,” paparnya.

Seperti diketahui, raksasa migas yang akan hengkang dari Indonesia terbaru adalah ConocoPhillips Indonesia Holding Ltd (CIHL), unit perusahaan minyak dan gas bumi (migas) berbasis di Houston, Amerika Serikat. CIHL menjual 100% sahamnya kepada PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC).

CIHL memegang 100% saham di ConocoPhillips (Grissik) Ltd (CPGL) dan 35% saham di Transasia Pipeline Company Pvt Ltd. CPGL adalah operator dari blok gas Corridor (Corridor PSC), Sumatera Selatan, dengan kepemilikan hak partisipasi 54% di Blok Corridor ini.

Beberapa waktu belakangan raksasa migas asing lainnya juga menyatakan akan cabut dari Indonesia, salah satunya adalah Royal Dutch Shell yang melepas 35% sahamnya di Lapangan Abadi, Blok Masela.

Satu lagi adalah Chevron Indonesia Company yang menyatakan mundur dari proyek gas laut dalam Indonesia Deep Water Development (IDD) di Kalimantan Timur. Sebelumnya, pihak Chevron menyampaikan bahwa proyek IDD tahap 2 dengan nilai investasi menembus US$ 5 miliar itu tidak dapat bersaing untuk mendapatkan modal dalam portfolio global Chevron.

Berdasarkan hasil riset, sebelumnya terdapat beberapa Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) asing yang juga hengkang dari Indonesia sejak tahun 2013. Diantaranya adalah Hess Corporation dari Blok Semai. Kemudian Marathon Oil dari Blok Pasang Kayu, Sulawesi Selatan. Dan juga Talisman Energy yang sahamnya di caplok oleh Repsol. Pada waktu itu, Talisman Energy adalah pemegang hak partisipasi Blok Corridor.

 

 

Iklim Invesasi Migas di Indonesia Kalah Saing dari Negara Lain

BisnisIndonesia 9 Desember 2021

Bisnis.com, JAKARTA — Keluarnya perusahaan minyak dan gas bumi (migas) internasional skala besar dari Indonesia mengindikasikan bahwa iklim investasi di dalam negeri kalah saing dengan sejumlah negara-negara penghasil energi fosil lainnya.

Pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan bertambahnya daftar perusahaan migas internasional yang keluar dari Indonesia menjadi sebuah penegasan bahwa kompetisi untuk mendapatkan investasi hulu migas di tingkat regional maupun global semakin ketat.

Dia menuturkan, sudah lebih dari satu dekade kebelakang iklim investasi hulu migas Indonesia relatif kalah kompetitif jika dibandingkan dengan negara-negara lain dalam menarik investasi-investasi skala besar dari para perusahaan migas besar internasional.

“Ditinggalkan tidak selalu karena tidak ekonomis, tetapi karena kalah kompetitif dengan portofolio investasi dan opportunities investasi para IOC majors itu di tempat lain,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (9/12/2021).

Sebelumnya, PT Medco Energi Internasional Tbk. telah menandatangani kesepakatan untuk mengakuisisi seluruh saham yang diterbitkan ConocoPhillips Indonesia Holding Ltd. (CIHL) dari Phillips International Investment Inc., yang merupakan anak perusahaan dari ConocoPhillips.

CIHL memegang 100 persen saham di ConocoPhillips (Grissik) Ltd. (CPGL) dan 35 persen saham di Transasia Pipeline Company Pvt. Ltd. CPGL adalah Operator dari Corridor PSC dengan kepemilikan 54 persen working interest.

Corridor PSC memiliki dua lapangan produksi minyak dan tujuh lapangan produksi gas berlokasi di onshore Sumatera Selatan, Indonesia.

Transaksi tersebut diharapkan selesai pada kuartal I/2022, dengan mengikuti persyaratan yang berlaku umum serta persetujuan para pemegang saham di rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) yang akan diadakan sesuai jadwal.

Direktur Utama Medco Energi Internasional Hilmi Panigoro mengatakan akuisisi Corridor sesuai dengan strategi yakni memiliki dan mengembangkan aset berkualitas tinggi serta menghasilkan arus kas positif.

“Akuisisi ini akan memperkuat posisi MedcoEnergi sebagai perusahaan energi dan sumber daya alam independen terkemuka di Indonesia dan memperkuat komitmen kami dalam pembangunan nasional,” ungkapnya.