Harmoni Transisi Energi

Kompas, 27 Januari 2023
Penulis: Pri Agung Rakhmanto, Pengajar di Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti; Pendiri ReforMiner Institute

“Transisi energi tidak serta-merta diterjemahkan dengan cara meninggalkan pendayagunaan energi fosil, tetapi dengan menyeimbangkan porsi pembangkit listrik berbasis fosil dan nonfosil”

Transisi energi, sebagai bagian dari upaya pencapaian emisi nol bersih (net zero emission/NZE), dengan berbagai sudut pandang dan kepentingan di dalam pengartiannya saat ini telah menjadi tema utama pengelolaan energi global. Dalam pandangan yang lebih umum dan yang saat ini cenderung lebih mengemuka, transisi energi secara lebih tegas dimaknai sebagai pergeseran dari pendayagunaan sumber energi fosil ke energi baru terbarukan nonfosil.
Negara-negara dengan sumber daya energi fosil yang relatif terbatas tetapi memiliki keunggulan kompetitif di dalam pengembangan energi baru terbarukan dan teknologinya cenderung menggunakan pandangan dan pengertian tersebut.

Sementara negara-negara yang relatif memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif di dalam pengembangan sumber daya energi fosil dan nonfosil cenderung secara lebih konservatif menerjemahkan transisi energi sebagai transformasi ke arah pendayagunaan sumber energi (fosil dan nonfosil) dengan tingkat emisi karbon lebih rendah.

Signifikansi energi fosil

Di lingkungan di mana setidaknya dua pandangan umum tentang transisi energi saling membentuk dan mempengaruhi itulah, transisi energi global terus berproses. Merujuk pada data dan laporan (2020-2022) dari Energy Information Administration (EIA), International Energy Agency (IEA), dan BP Statistical Review of World Energy, kajian ReforMiner Institute (2022) mencatat bahwa di tengah kampanye transisi energi global yang cukup masif dan seiring dengan kemajuan pengembangan energi baru terbarukan yang juga progresif, hingga kini peran energi fosil, khususnya migas dan batubara, ternyata masih sangat signifikan di tingkat global.

Porsi migas dalam bauran energi primer global 2020 tercatat masih sekitar 56 persen. Konsumsi minyak bumi global selama 2011-2021 tercatat meningkat sekitar 0,11 persen per tahun. Sementara konsumsi gas bumi global pada periode yang sama meningkat sekitar 1,78 persen per tahun.

Di subsektor kelistrikan, peran gas dalam bauran energi primer pembangkit listrik global juga masih cukup signifikan, yaitu masih sekitar 22,8 persen. Selama 2011-2020, produksi listrik dari gas tumbuh sekitar 2,5 persen per tahun dan tercatat sebagai pertumbuhan produksi listrik terbesar dalam kelompok pembangkit listrik fosil.

Proyeksi IEA (2021) juga menyebutkan bahwa dalam skenario emisi bersih nol, pembangkit gas masih akan terus tumbuh untuk menggantikan pembangkit listrik batubara. Hingga 2035, gas akan menjembatani transisi energi global di kelistrikan, khususnya sebagai jembatan dari pembangkit listrik batubara ke pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan.

Secara keseluruhan, hingga 2030, migas diproyeksikan masih akan memegang peran penting dalam bauran energi sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman, Rusia, Australia, dan China. Porsi minyak dalam bauran energi primer Amerika Serikat pada 2030 diproyeksikan masih akan mencapai 36 persen dan porsi gas sekitar 31 persen.

Kajian ReforMiner Institute (2022) juga mencatat, porsi batubara dalam bauran energi primer global masih mencapai 25 persen. Konsumsi batubara global juga meningkat 5,8 persen selama periode 2020-2021. Pada 2021 di mana ekonomi global mulai berjalan beriringan dengan pandemi Covid-19, konsumsi batubara tercatat mencapai 7.947 juta ton, lebih tinggi dibandingkan periode sebelum pandemi Covid-19 pada 2019/2020, yaitu 7.801 juta ton.

Peningkatan konsumsi batubara tersebut terutama terjadi di wilayah Amerika Utara sebesar 16,1 persen, Eropa 8,6 persen, dan Asia 5,2 persen. Pada 2022, seiring terjadinya krisis pasokan energi di beberapa wilayah Eropa karena pengaruh perang Rusia-Ukraina, peningkatan konsumsi tersebut juga berlanjut, di mana diperkirakan meningkat 0,7 persen dari level 2021. Peningkatan tersebut membuat emisi karbon dioksida dari batubara pada 2024 diproyeksikan akan mencapai lebih dari 3 giga ton atau lebih tinggi dari target emisi yang ditetapkan.

Fakta bahwa peran sumber energi fosil dalam bauran energi global masih signifikan dan permintaan-konsumsinya bahkan juga meningkat di saat keadaan global sedang berada dalam ketidakpastian tinggi (pandemi Covid-19, perang Rusia-Ukraina) menegaskan bahwa terlepas dari adanya perbedaan kepentingan dan cara pandang di dalam menerjemahkan transisi energi, jaminan keamanan pasokan energi adalah hal yang paling utama bagi setiap negara. Posisi dan porsi kepentingan nasional setiap negara berada di atas dan jauh melampaui berbagai macam narasi transisi energi global yang dikampanyekan.

Similaritas global-nasional

Gambaran kondisi bauran energi yang ada di tingkat global tersebut, secara umum juga dijumpai pada bauran energi nasional. Merujuk kepada data dan laporan Dewan Energi Nasional (DEN)-KESDM 2022, hingga kini migas juga tercatat memiliki peran penting dalam bauran energi primer Indonesia dan diproyeksikan masih akan tetap penting hingga 2050.

Porsi migas dalam bauran energi primer nasional 2021 di kisaran 51 persen dan pada 2050 porsinya diproyeksikan masih akan bertahan di kisaran 44 persen terhadap total konsumsi energi primer. Porsi batubara mencapai 37,6 persen dan energi baru terbarukan tercatat meningkat signifikan dari sekitar 6,3 persen pada 2016 menjadi 12,2 persen pada 2021.

Dalam konteks migas, gas bumi diproyeksikan akan memainkan peran lebih strategis dalam bauran energi nasional ke depan. Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pemerintah memproyeksikan porsi gas bumi dalam bauran energi primer nasional akan menjadi sekitar 24 persen pada 2050, terbesar kedua setelah EBT. Selama 2012-2021 porsi pemanfaatan gas untuk kepentingan domestik rata-rata meningkat sekitar 1,5 persen per tahun. Porsi pemanfaatan gas untuk domestik tercatat meningkat dari 52 persen pada 2012 menjadi 65 persen pada 2021.

Kemiripan pola bauran energi primer global dan nasional yang ada tampaknya sedikit banyak mengindikasikan bahwa di dalam menerjemahkan transisi energi, Indonesia mengambil posisi relatif moderat, dengan mengambil elemen-elemen positif dan rasional yang ada pada kedua pandangan arus utama transisi energi yang ada. Transisi energi tidak serta-merta diterjemahkan dengan cara meninggalkan pendayagunaan energi fosil. Jika pun itu dilakukan, data yang ada menunjukkan hal itu tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Sifat sumber suatu energi pada dasarnya tidak hanya sebagai substitusi untuk sumber energi lainnya, tetapi justru lebih sebagai komplemen, melengkapi satu sama lain. Emisi bersih nol juga tampaknya dijalankan dalam koridor yang tetap sesuai dengan norma definisi global di mana emisi bersih nol mengandung pengertian bahwa jumlah emisi karbon yang dihasilkan setara dengan jumlah emisi karbon yang mampu diserap oleh atmosfer (United Nation Framework Convention on Climate Change/UNFCCC, 2021). Di sini terlihat ada kesamaan cara pandang dan pada tingkatan tertentu harmoni antara transisi energi yang bergulir di tingkat global dan nasional.

Sejauh ini, di dalam diplomasi dan upaya menunjukkan komitmennya di dalam pencapaian target emisi bersih nol dan implementasi transisi energi, Indonesia dapat dikatakan juga cukup aktif dan proaktif dalam berbagai forum dan inisiatif regional dan global.

Proporsional

Dari sisi kerangka regulasi yang ada saat ini, komitmen Pemerintah Indonesia dalam pencapaian target emisi nol bersih itu salah satunya dapat ditemukan pada Keputusan Menteri KLHK No 168/Menlhk/PTKL/PLA.1/2/2002. Merujuk regulasi ini, terdapat tiga skenario terkait upaya pencapaian target emisi nol bersih, yaitu skenario Current Policy (CPOS), skenario Transitions (TRNS), dan skenario Low Carbon Development Compatible with Paris (LCPP).

Dalam skenario CPOS, emisi gas rumah kaca Indonesia diproyeksikan akan terus meningkat menjadi sekitar 2.500 juta ton CO2e pada 2050. Emisi diproyeksikan turun menjadi sekitar 1.500 juta ton CO2e pada 2050 jika Indonesia menjalankan skenario TRNS. Sementara jika skenario LCPP yang dijalankan, emisi gas rumah kaca Indonesia pada 2050 diproyeksikan dapat lebih rendah lagi. Dari ketiga skenario tersebut, sektor energi dapat dikatakan merupakan tulang punggung bagi Indonesia dalam pencapaian target emisi nol bersih.

Mencermati dinamika perkembangan arah kebijakan sektor energi hingga saat ini, jika merujuk kepada dokumen-dokumen kebijakan dan program yang ada, tampak bahwa secara umum pemerintah dan para penyelenggara negara lainnya di sektor energi pada dasarnya telah cukup proporsional dalam merespons tema emisi bersih nol dan transisi energi ini. Dalam konteks ini, sebagai contoh, pemerintah secara jelas menggariskan subsektor kelistrikan sebagai target dan sekaligus instrumen utama di dalam pencapaian target emisi nol bersih di sektor energi.

Hal itu dilakukan dengan menyeimbangkan porsi pembangkit listrik berbasis fosil dan non-fosil. Pembangkit listrik berbahan bakar fosil khususnya batubara akan dikurangi, digantikan pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan, secara bertahap. Aktivitas dan operasi penyediaan energi nasional berbasis fosil dari sub-sektor minyak dan gas juga tidak kemudian begitu saja ditinggalkan, tetap akan terus berjalan dengan penerapan teknologi penangkapan, penyimpanan dan penggunaan karbon (Carbon Capture Storage, CCS/Carbon Capture Utilization and Storage, CCUS). Upaya dekarbonisasi dan pengembangan green business di sektor pengguna energi seperti promosi penggunaan kendaraan listrik dan pengembangan ekosistemnya juga telah menjadi garis kebijakan pemerintah.

Dengan harmoni cara pandang dan respon kebijakan yang relatif telah cukup proporsional tersebut, tantangan sesungguhnya yang lebih besar adalah pada bagaimana hal tersebut dapat direalisasikan secara nyata dan konsisten. Menjadi tugas kita bersama untuk mewujudkannya.

Ekonomi Transisi Energi dalam Undang-undang Energi Baru Terbarukan

Katadata.co.id;25 Januari 2023
Penulis: Pri Agung Rakhmanto; Pengajar di Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti; Pendiri ReforMiner Institute

Keberadaan Undang-undang Energi Baru Terbarukan diharapkan dapat memperbaiki aspek tata kelola dan memperkuat kelembagaan di dalam pengembangan energi hijau.

Dalam sejumlah kesempatan Presiden Joko Widodo menyampaikan arahan untuk mentrasformasikan ekonomi Indonesia ke arah ekonomi hijau (green economy). Ini menjadi bagian dari komitmen Indonesia dalam pengendalian perubahan iklim.

Tiga aspek disebutkan merupakan elemen utamanya. Pertama, pertumbuhan ekonomi, melalui peningkatan investasi dan penciptaan nilai tambah (value added) dan manfaat yang optimal dari setiap aktivitas ekonomi.

Kedua, peningkatan kesejahteraan masyarakat, melalui pembukaan lapangan kerja baru. Ketiga, perlindungan lingkungan hidup, dengan mengurangi dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.

Ekonomi Energi Transisi

Di sektor energi, jajaran pemerintah menerjemahkannya sebagai gagasan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesetaraan sosial masyarakat, sekaligus mengurangi risiko kerusakan lingkungan secara signifikan (KESDM, 2021).

Beberapa program dan kebijakan telah banyak digulirkan. Jika dicermati, arahnya pada meningkatkan porsi energi baru terbarukan (EBT) – sekarang muncul istilah baru energi baru dan energi terbarukan (EBET) – dan pengendalian tingkat emisi karbon dalam bauran energi nasional.

Seluruh langkah itu untuk menciptakan nilai tambah ekonomi. Dapat dikatakan, terjemahan visi ekonomi hijau di dalam sektor energi itu tidak lain adalah transisi energi itu sendiri.

Transisi energi, dengan penekanan lebih pada peningkatan pendayagunaan sumber daya EBET, sangat memerlukan kerangka payung hukum dan perangkat regulasi yang kuat.

Di dalam aspek ini, dibandingkan dengan beberapa negara lain di kawasan ASEAN, Indonesia dapat dikatakan relatif tertinggal.

Vietnam, Thailand dan Malaysia adalah beberapa negara di kawasan Asia Tenggara yang telah memiliki perangkat regulasi setingkat undang-undang yang khusus mengatur tentang pendayagunaan dan pengembangan EBET. Filipina belum memilikinya tapi ada perangkat regulasi yang relatif lengkap di dalam pengusahaan sumber daya panas bumi, yang merupakan sumber energi terbarukan terbesarnya.

Pendayagunaan EBET pada keempat negara tersebut secara relatif dibandingkan potensinya dapat dikatakan cukup progresif.

Merujuk pada data ASEAN Centre for Energy (2021), kapasitas terpasang EBET di Vietnam mencapai 24.519 mega-Watt (MW), Thailand 11.860 MW, Malaysia 8.046 MW, dan Filipina 6.695 MW. Secara rata-rata, porsi pendayagunaan EBET negara-negara di kawasan tersebut mencapai sekitar 10% dari potensi sumberdaya yang ada. Di Asia Tenggara, Indonesia sebenarnya tercatat memiliki potensi sumberdaya EBET yang paling besar dan paling beragam.

Potensinya mencapai 443.208 MW. Dengan potensi sebesar itu, kapasitas terpasang yang ada baru mencapai 8.907 MW, atau berarti di kisaran 2% hingga 3% dari total kapasitas sumber daya yang ada. Mengacu pada pengalaman negara-negara tersebut di dalam pengaturan pendayagunaan sumber daya EBET, perangkat regulasi dan undang-undang yang secara khusus mengaturnya memang digunakan. Keberadaan undang-undang khusus EBET bagi Indonesia menjadi sebuah urgensi yang tidak dapat ditunda-tunda lagi.

Landasan Kepastian Hukum Keberadaan

undang-undang yang khusus mengatur tentang EBET (Undang-undang/UU EBET) nantinya diharapkan dapat menjawab permasalahan mendasar yang selama ini ada di dalam pengembangan EBT. Permasalahan tersebut adalah peraturan perundang-undangan yang saat ini ada tersebar, tidak terintegrasi, tidak semuanya memiliki kekuatan setingkat undang-undang, sehingga seringkali terjadi disharmoni pengaturan.

Dapat dikatakan bahwa peraturan perundangan terkait EBET yang ada saat ini tidak cukup kuat dan tidak cukup komprehensif untuk menjadi landasan dan menjamin kepastian hukum yang diperlukan. Kepastian hukum, dalam konteks ini, sangat diperlukan sebagai landasan pelaksanaan berbagai program kebijakan EBET yang sejatinya telah cukup lama digariskan pemerintah.

Program-program seperti pembangunan PLT EBET On Grid, implementasi PLTS Atap, konversi PLTD ke PLT EBET, mandatori B30, Co-Firing Biomassa pada PLTU, eksplorasi panas bumi oleh pemerintah, hingga pada penerapan pajak dan perdagangan karbon di sektor energi. Semua ini memerlukan landasan hukum yang solid uhtuk dapat dijalankan.

Keberadaan UU EBET juga diharapkan dapat memperbaiki aspek tata kelola dan memperkuat kelembagaan di dalam pengembangan EBET. Terobosan terkait aspek kelembagaan.

Misalnya, pembentukan Badan Usaha Khusus (BUK) Perencanaan dan Investasi EBET, yang dapat difungsikan sebagai executing agency di dalam pengembangan EBET, hanya akan dapat direalisasikan melalui perangkat regulasi setingkat undang-undang. Lebih jauh, kepastian hukum diharapkan akan menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif bagi investor EBET.

Dalam konteks ini, pengaturan terkait penentuan harga EBET, kebijakan terkait komponen lokal, jenis dan mekanisme pemberian insentif, baik insentif fiskal maupun non-fiskal, kepada pelaku usaha diharapkan akan lebih jelas dan benar-benar dapat diimplementasikan dengan adanya UU EBET.

Dengan kepastian hukum berusaha yang lebih baik, investasi, penciptaan nilai tambah ekonomi, dan pembukaan lapangan kerja baru di dalam pengembangan EBET, diharapkan akan berjalan dengan lebih progresif.

Keekonomian Aspek Terpenting Untuk dapat lebih workable dan merealisasikan objektif dari transisi energi secara khusus maupun ekonomi hijau secara lebih luas, beberapa aspek kritikal di dalam UU EBET perlu mendapatkan perhatian dan pengaturan khusus.

Salah satu yang terpenting adalah aspek keekonomian. UU EBET hendaknya memuat ketentuan-ketentuan yang dapat memfasilitasi dan pada tingkatan kepastian tertentu menjamin berjalannya mekanisme pasar di dalam investasi-investasi EBET secara sehat, efektif, dan efisien.

Sebagai contoh dalam hal ini adalah pengaturan di dalam penerapan harga listrik EBET maupun skema Feed In Tariff (FIT) yang menyertainya. Hendaknya di dalam pengaturan harga dan skema FIT ini UU EBET nantinya tidak sekadar menetapkan rentang skala harga dan FIT yang layak saja, tetapi juga mengatur secara lebih lugas bahwa pemerintah melalui mekanisme insentif ataupun subsidi tertentu adalah pihak yang akan menanggung selisih keekonomian investasi yang tidak dapat dicapai melalui mekanisme pasar murni.

Pengalaman di berbagai negara mengajarkan bahwa keekonomian di dalam sebagian besar investasi EBET memang memerlukan pengaturan cukup detail dan intervensi langsung dalam bentuk insentif baik fiskal maupun non-fiskal dari pemerintah.

Termasuk di dalam hal ini misalnya adalah kejelasan pengaturan dalam hal kewajiban atau penugasan kepada pihak tertentu untuk membeli listrik yang dihasilkan dari pembangkit EBET dan atau di dalam menanggung selisih harganya yang mungkin masih di bawah nilai keekonomian.

Tanpa kejelasan tentang siapa pihak yang akan menanggung selisih keekonomian itu, dalam apa bentuknya, dan melalui mekanisme apa, sulit untuk mengharapkan investasi EBET akan dapat berjalan, apalagi dalam skala masif.

Kejelasan di dalam aspek keekonomian UU EBET dapat dikatakan merupakan penentu keberhasilan dalam menjalankan transisi energi dan merealisasikan objektif-objektif mulia dari visi ekonomi hijau.

Nilai Tambah Gas Bumi dalam Kebijakan Transisi Energi dan Mendorong Pengembangan Industri Petrokimia Indonesia

FokusEnergi.com; 17 Januari 2023

Fokusenergi.com, Jakarta – Pemanfaatan gas bumi sebagai jembatan transisi energi dan untuk mendorong pengembangan industri petrokimia berpotensi dapat menciptakan nilai tambah ekonomi yang signifikan. Pemanfaatan gas bumi untuk transisi energi secara relatif berpotensi dapat mengurangi biaya transisi energi yang diproyeksikan masih cukup mahal. Kegiatan usaha hulu gas bumi yang sudah relatif lebih mapan, menyebabkan kebutuhan investasi serta harga jual dari gas yang akan diproduksikan lebih mudah untuk diprediksikan.
Pemanfaatan gas bumi untuk mendorong pengembangan industri petrokimia dalam negeri berpotensi memberikan dampak positif terhadap perekonomian secara keseluruhan. Data menunjukkan, kontribusi industri petrokimia terhadap penerimaan pajak, serapan tenaga kerja, dan realisasi investasi tercatat sebagai salah satu yang terbaik.

Pandangan dan catatan ReforMiner terhadap nilai tambah gas bumi dalam kebijakan transisi energi dan mendorong pengembangan industri petrokimia Indonesia adalah sebagai berikut:

ReforMiner menilai gas bumi merupakan sumber energi yang dapat menjadi pilihan utama dalam pelaksanaan transisi energi. Dari sisi jumlah, ketersediaan gas bumi cukup memadai. Selain itu, dari perspektif lingkungan, gas bumi juga relatif lebih ramah lingkungan jika dibandingkan dengan minyak bumi dan batubara.

Sejumlah publikasi -diantaranya dari Pusat Data dan Teknologi Informasi KESDM, 2017- menginformasikan bahwa emisi pembakaran gas bumi relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan minyak bumi dan batubara. Jika dibandingkan dengan minyak bumi, emisi pembakaran gas bumi lebih rendah sekitar 20 g CO2e/MJ. Sementara jika dibandingkan dengan batubara, emisi pembakaran gas bumi lebih rendah sekitar 43 g CO2e/MJ.
Simulasi ReforMiner menemukan, jika mengacu pada catatan poin 2 dan terkait volume konsumsi minyak bumi Indonesia telah mencapai kisaran 1,6 juta barel per hari, perbedaan emisi pembakaran antara minyak bumi dan gas bumi selama satu tahun dapat mencapai kisaran 72,33 juta ton CO2e. Artinya jika Indonesia mengkonversi sekitar 50 % konsumsi minyaknya dengan menggunakan gas bumi, hal tersebut sudah akan menurunkan emisi sekitar 36,16 juta ton CO2e.

Terkait volume konsumsi batubara Indonesia tahun 2023 yang diproyeksikan mencapai kisaran 195,9 juta ton dan mengacu pada catatan poin 2 tersebut, perbedaan emisi pembakaran antara batubara dan gas bumi selama satu tahun dapat mencapai kisaran 246,71 juta ton CO2e. Artinya jika Indonesia mengkonversi sekitar 50 % konsumsi batubaranya dengan menggunakan gas bumi, hal tersebut sudah akan menurunkan emisi sekitar 123,35 juta ton CO2e.

Peningkatan pemanfaatan gas bumi dapat membantu merealisasikan komitmen Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 % atau setara dengan 834 juta ton CO2e pada tahun 2030 dari kondisi Business as Usual (BaU). Dari target tersebut, sektor energi mendapatkan porsi penurunan emisi sebesar 314 juta ton CO2e.

Target penurunan emisi untuk sektor energi tersebut sudah akan dapat dicapai jika Indonesia dapat mengkonversi seluruh konsumsi minyak bumi dan batubara dengan menggunakan gas bumi. Penurunan emisi yang dihasilkan dari konversi konsumsi seluruh minyak bumi dan batubara Indonesia dengan gas bumi dapat mencapai kisaran 319 juta ton CO2e, lebih besar dari target penurunan emisi pada sektor energi.

Gas bumi juga memiliki peran strategis untuk mendorong pengembangan industri petrokimia dan nilai tambah ekonomi Indonesia. Untuk industri petrokimia, gas bumi memiliki dua peran penting sekaligus, yaitu untuk bahan baku dan sumber energi.

Peluang untuk dapat mendorong pengembangan industri petrokimia Indonesia masih cukup besar. Data menyebutkan, dengan kapasitas produksi petrokimia Indonesia yang saat ini sekitar 7,1 juta ton per tahun, sekitar 70 % kebutuhan petrokimia untuk domestik masih harus dipenuhi dari impor.

Berdasarkan perhitungan ReforMiner, kebutuhan gas untuk bahan baku industri petrokimia domestik dengan kapasitas 7,1 juta ton per tahun tersebut dapat mencapai kisaran 716 BBTUD. Kebutuhan gas untuk bahan baku dan sumber energi untuk industri petrokimia berpotensi meningkat signifikan jika pemerintah menerapkan kebijakan substitusi terhadap sekitar 70 % kebutuhan petrokimia yang masih diimpor dengan produksi dalam negeri.

Potensi penciptaan nilai tambah ekonomi dari pemanfaatan gas bumi untuk industri petrokimia dalam negeri berpotensi cukup signifikan. Data menunjukkan kinerja laba/rugi, kinerja pajak, komitmen investasi, dan penyerapan tenaga kerja dari industri petrokimia tercatat sebagai salah satu yang terbaik dalam kelompok tujuh industri yang memperoleh kebijakan harga gas khusus.

Data menunjukkan, industri petrokimia mencatatkan laba sebesar Rp 7,30 triliun pada tahun 2021, meningkat signifikan setelah merugi sebesar Rp 862 miliar pada tahun 2020. Pembayaran pajak industri petrokimia pada tahun 2021 sebesar Rp 4,09 triliun, terbesar dalam kelompok industri yang memperoleh kebijakan harga gas khusus. Realisasi investasi kumulatif industri petrokimia untuk tahun 2020-2021 juga tercatat sebagai yang terbesar yaitu sebesar Rp 23,61 triliun. Serapan tenaga kerja pada industri petrokimia juga tercatat sebagai salah satu yang terbesar yaitu sekitar 20.000 tenaga kerja.

Catatan pada poin-poin di atas memberikan gambaran dan menegaskan bahwa Indonesia berpotensi memperoleh nilai tambah ekonomi yang cukup signifikan jika dapat memanfaatkan gas bumi untuk transisi energi dan untuk mengembangkan industri petrokimia nasional. Dengan biaya yang relatif lebih murah, pemanfaatan gas bumi sudah akan dapat mencapai target penurunan emisi dalam jumlah tertentu. Sementara dengan memanfaatkan gas bumi untuk menghasilkan lebih dari 40 jenis produk petrokimia, hal tersebut tidak hanya strategis bagi kepentingan industri hilir petrokimia dan industri turunannya, tetapi juga memiliki makna penting bagi keberlanjutan kegiatan usaha hulu gas bumi karena masih akan terus dibutuhkan.(Komaidi Notonegoro – RefroMiner)

Menilik Polemik Insentif Kendaran Listrik

WartaEkonomi; 10 Januari 2023

Fahmy mengingatkan pemerintah untuk dapat mewaspadai agar dalam menciptakan pasar kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) di dalam negeri tidak dikuasai oleh produk impor.

“Dalam penciptaan pasar kendaraan listrik, Pemerintah harus mewapadai jangan sampai pasar dalam negeri dikuasai oleh produk impor dan perusahaan asing, seperti industri otomotif konvensional,” ujar Fahmy dalam keterangan tertulis yang diterima, Selasa (20/12/2022).

Fahmy mengatakan, untuk dapat mengantisipasi hal tersebut terjadi, maka pemerintah harus mensyaratkan pemberian insentif kendaraan listrik. Salah satunya adalah tidak hanya keharusan pabrik di Indonesia, tetapi juga harus mensyaratkan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) minimal 75 persen.

“Pemerintah harus mensyaratkan juga transfer teknologi, khususnya technological capability dalam waktu lima tahun. Kalau persyaratan tersebut dipenuhi, pada saatnya kendaraan listrik dapat diproduksi sendiri oleh anak-bangsa, yang dipasarkan di pasar dalam negeri dan luar negeri,” ujarnya.

Menurutnya, jika pasar dalam negeri sudah terbentuk, tanpa disuruh pun PLN pasti akan berinvestasi dalam Stasiun Pengisian Listrik Umum (SPLU) di seluruh wilayah Indonesia, lantaaran SPLU merupakan investasi yang prospektif.

Untuk penyediaan SPLU tersebut, PLN seharusya menggandeng penguasaha UMKM yang tersebar di seluruh wilayah Inonesia. Selain itu, PLN juga harus secara istiqomah menjalankan program migrasi dari penggunaan batu bara ke Energi Baru dan Terbarukan (EBT).

“Melaui insentif kendaraan listrik ini diharapkan ke depan akan tercipta penggunaan energi ramah lingkungan dari hulu hingga hilir, sehingga bukan mustahil bagi Indonesia mencapai zero carbon pada 2060,” ungkapnya.

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat mengatakan pemberian subsidi untuk pembelian kendaraan listrik (EV) hanya akan dinikmati perusahaan asing terutama, produsen Wuling dari China dan Hyundai dari Korea Selatan.

“Dengan adanya subsidi pembelian EV ini akan membuat perusahaan-perusahaan tersebut akan memproduksi EV secara masif dan menyerap banyak tenaga kerja dan menghasilkan banyak keuntungan. Sementara Indonesia hanya kebagian bebannya saja yang membuat subsidi ini seperti menyubsidi China dan Korea. Semuanya merek-merek kendaraan buatan luar negeri. Tidak ada mobil nasional,” ujar Achmad dalam keterangan tertulis yang diterima, Rabu (21/12/2022).

Achmad mengatakan subsidi seharusnya bisa menghidupkan industri dalam negeri. Menurutnya, akan sangat rasional jika subsidi ini diberikan jika Indonesia memproduksi kendaraan listrik nasional sehingga keuntungannya adalah buat negara.

Lanjutnya, impor EV merupakan impor dengan kategori heavy. Hal ini akan menyebabkan peningkatan nilai impor yang berpotensi merusak neraca perdagangan.

“Kita hanya memberi keuntungan buat asing di mana demand produk kendaraan listrik akan meningkat dari waktu ke waktu. Sangat bodoh jika Indonesia tidak ambil bagian atas peluang jangka panjang ini,” ujarnya.

Selain itu, yang akan menjadi persoalan ada infrastruktur yang belum memadai, di mana subsidi hanya diberikan di kota-kota besar saja yang sudah terdukung secara infrastruktur, sehingga akan terjadi ketidakadilan.

Dengan kondisi tersebut, seharusnya pemerintah dapat lebih memperhatikan faktor lainnya sebelum mengeluarkan kebijakan. Menurutnya, subsidi baru bisa dilakukan seandainya infrastruktur tidak merata.

Lebih lanjut, Achmad menyebut daripada memberikan subsidi EV lebih baik pemerintah memperbaiki transportasi publik yang menggunakan listrik untuk mengurangi emisi karbon dan mengurai kemacetan.

Termasuk dalam rangka menekan inflasi, pemerintah bisa memprioritaskan subsidi BBM, dan stimulasi untuk membuka lapangan-lapangan kerja baru sebagai antisipasi angka PHK yang sudah mulai terjadi.

“Walau bagaimanapun pemerintah harus punya sense of crisis sebagai pengemban amanat rakyat dengan mengedepankan persoalan yang sedang terjadi sebagai skala prioritas. Jadi subsidi pembelian kendaraan belum tepat dilakukan untuk saat ini,” tutupnya.

Transisi Energi Tidak Hanya Lewat Kendaraan Listrik

Novia Xu mengatakan dalam mendorong penurunan emisi gas rumah kaca (GRK), efisiensi penggunaan energi juga harus dilakukan.

Dalam artian bahwa pembangunan ekosistem rendah karbon tidak serta merta hanya lewat penggunaan kendaraan listrik, tapi non-bermotor atau transportasi umum penting.

“Keamanan dan kenyamanan transportasi umum bermanfaat untuk semua (inklusif), misalnya siswa yang belum bisa berkendara,” ujarnya.

Novia mengatakan, subsidi kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) yang dilakukan oleh pemerintah jika dikaitkan dengan memengaruhi subsidi energi rasanya sulit untuk dinilai.

Sulit untuk melihat dampak dari subsidi mobil atau motor listrik karena faktor yang memengaruhi besaran subsidi energi tidak hanya penggunaan kendaraan pribadi.

“Tapi juga penggunaan untuk industri, kemudian dipengaruhi juga oleh harga energi di dunia karena Indonesia masih price taker sebagai net importir,” ujarnya.

Sementra itu Ekonom Centre of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Yusuf Rendi Manilet mengatakan kebijakan insentif mobil listrik memang menjadi salah satu langkah yang bisa berpeluang untuk mencapai target pengurangan karbon.

“Hanya saja, pemberian insentif konversi kendaraan listrik tentu tidak bisa bekerja sendiri mengingat, salah satu penyebab meningkatnya emisi karbon adalah pembebasan lahan dan juga asap buangan dari salah satunya PLTU,” ujar Yusuf saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Rabu (21/12/2022).

Yusuf mengatakan, kebijakan tersebut tentunya akan mendorong angka kendaraan listrik, namun dibutuhkan waktu apalagi dibutuhkan waktu untuk membangun infrastruktur kendaraan listrik, termasuk di dalamnya tempat melakukan recharging baterai di seluruh Indonesia.

“Menurut saya dalam jangka panjang, ada peluang konversi kendaraan listrik akan menurunkan subsidi energi pada APBN,” ujarnya.

Namun, butuh berapa lama dan seberapa besar akam meringankan APBN, bergantung pada seberapa besar nominal subsidi yang diberikan.

“Kepada jenis kendaraan apa diberikan dan kemampuan atau respons konsumem otomotif dalam melakukam konversi kendaraannya,” ungkapnya

Harus Perhatikan Kapasitas Fiskal

Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan kebijakan pemerintah untuk memberikan subsidi untuk pembelian kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) harus memperhatikan kemampuan fiskal.

“Saya kira bagus untuk akselerasi kendaraan listrik dan tentu dilihat juga kemampuan fiskalnya sampai sejauh mana,” ujar Komaidi saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Rabu (21/12/2022).

Komaidi mengatakan kebijakan ini dapat dikatakan positif jika untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060. Pasalnya memperbanyak kendaraan listrik merupakan bagian yang harus dilakukan untuk mencapai hal tersebut.

“Hanya saja nanti dilihat kira-kira kapasitas fiskalnya seperti apa, jangan sampai mengganggu keseimbangan yang lain,” ujarnya.

Komaidi menyebut untuk dapat mencapai tujuan pemerintah demi menghemat subsidi energi melalui kendaraan listrik tidak dapat diperkirakan secara seutuhnya. Menurutnya, hal tersebut bergantung sampai berapa kapasitas yang mampu disubsidi dan penetrasi kendaraan listriknya sendiri.

“Nanti kalau bisa banyak, tentu bisa menghemat, tapi kalau enggak banyak kan belum tentu bisa menghemat juga, di satu sisi mungkin dari konsumsi BBM-nya iya, tapi kan nanti mereka juga konsumsi listrik, ada aspek yang lainnya. Sementara listriknya masih disubsidi nih, jadi juga perlu dihitung sehingga tidak over optimis saja pemerintah,” ungkapnya.

Lanjutnya, jangan sampai kelewatan optimis, di mana seolah-olah hanya BBM saja yang kurang, tetapi di sisi lain ada juga subsidi listrik yang diberikan pemerintah dan ini harus dikalkulasi secara utuh selisihnya berapa.

“Intinya tetap ada penghematan, artinya subsidi listriinya jauh lebih murah dibandingkan dengan subsidi BBM-nya, tapi apa pun itu lihatnya harus lebih utuh atau lebih lengkap, kalau enggak utuh nanti khawatirnya akan jadi salah kalkulasi,” ucapnya.

Harapan Palsu

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat menilai program subsidi pembelian kendaraan listrik hanya memberi harapan palsu kepada masyarakat.

Pasalnya informasi yang sempat menghebohkan ternyata tidak ada alokasinya di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023.

“Hanya bikin gaduh saja. Masyarakat selalu di-PHP-in. Program yang belum jelas implementasinya sebaiknya pemerintah tidak menyampaikan ke publik. Karena jiika masyarakat berharap dan tidak tertunaikan akan mengesankan bahwa pemerintah mempermainkan harapan rakyat,” ujar Achmad dalam keterangan tertulis yang diterima, Rabu (21/12/2022).

Ditambah lagi dengan ungkapan yang dilontarkan oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu yang menyebutkan APBN 2023 belum memasukkan anggaran untuk subsidi kendaraan listrik.

“Dia pun menegaskan bahwa untuk nilai anggaran subsidi sebesar Rp80 juta untuk pembelian mobil listrik, Rp40 juta untuk mobil berbasis hybrid, Rp8 juta untuk motor listrik, dan Rp5 juta untuk konversi motor listrik masih belum difinalkan,” ujarnya.

Achmad mengatakan, besaran angka subsidi untuk pembelian mobil listrik senilai Rp80 juga dan mobil berbasis hybrid sebesar Rp40 juta sangatlah fantastis mengingat angka tersebut hanya bisa didapatkan oleh orang dengan ekonomi kelas atas.

Berbanding terbalik dengan bantuan sosial yang hanya berada di angka Rp600 ribu, dengan begitu ini berpotensi bisa mengakibatkan kecemburuan sosial.

“Subsidi kendaraan listrik ini hanya akan menguntungkan perusahaan asing saja karena saat ini yang menguasai pasar kendaraan listrik adalah China dan Korea,” ungkapnya.

Menurutnya, ambisi negara ini kurang besar dalam industri kendaraan. Jika kendaraan listrik ini dijadikan solusi sebagai kendaraan yang ramah lingkungan yang mengurangi emisi karbon, maka seharusnya dari saat ini program yang didahulukan adalah membangun industri kendaraan listrik.

Ditambah lagi dengan kondisi Indonesia sebagai penghasil nikel terbesar di dunia yang mana nikel merupakan bahan baku baterai.

“Jika produksi nikel dikuasai oleh Indonesia (bukan oleh China atau asing) dan juga memproduksi baterai dan kendaraan listrik, maka Indonesia akan mengalami lompatan besar dalam ekonomi,” ucapnya.

Achmad mengungkapkan jika mampu melakukan itu, maka yang terjadi adalah Indonesia bisa menjadi raksasa ekonomi dunia. Pasalnya, dahulu negara yang menjadi raksasa ekonomi adalah negara yang menguasai minyak, sementara energi berbahan fosil semakin habis dan sekarang beralih ke penggunaan baterai.

Kemudian juga Indonesia dapat memproduksi kendaraan listrik yang baterainya dihasilkan di dalam negeri, sehingga keuntungan akan masuk ke dalam negeri.

“Dampaknya adalah harga kendaraan listrik yang dibuat di dalam negeri akan lebih murah, jadi tidak perlu ada lagi wacana subsidi kendaraan listrik,” ujar Achmad.

Meski begitu, tantangannya akan sangat besar karena perusahaan kendaraan listrik asing akan tersaingi dan terpinggirkan. Namun, Indonesia akan mempunyai posisi kuat untuk bekerja sama dalam penyediaan baterai yang telah dikuasai negara dari hulu ke hilir.

“Pertanyaannya, apakah Indonesia tidak punya SDM yang mampu merancang dan membuat kendaraan? Apakah Indonesia tidak mampu mengadakan peralatan untuk memproduksi kendaraan? Jika jawabannya “iya”, maka Indonesia susah untuk menjadi negara maju, program pendidikan Indonesia dianggap gagal jika tidak mampu mencetak SDM yang mampu merancang dan membuat kendaraan,” tutupnya.

Harga BBM Terbaru Indonesia Dinilai Paling Moderat dari Negara ASEAN Lain, Kenapa?

Liputan6.com, 05 Januari 2023

Jakarta Pemerintah kembali menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi jenis Pertamax, Pertamax Turbo, Pertamina Dex, dan Dexlite, terhitung mulai 3 Januari 2023.Harga BBM terbaru yang turun ini dengan berbagai pertimbangan antara lain kondisi harga minyak dunia.

Meski demikian pemerintah masih menetapkan harga BBM yang sama untuk BBM subsidi jenis Pertalite dan Solar.

“Salah satunya, Pertamax, yang banyak dipakai dulu aja, itu maka diputuskan kemarin, bu Nicke bisa tambahkan, ya yang hari ini (turun dari) Rp 13.900 (per liter) itu menjadi Rp 12.800 (per liter) ya,” kata Menteri BUMN Erick Thohir kepada wartawan di SPBU Pertamina di Jalan MT Haryono, Selasa (3/1/2022).

Pengamat Energi ReforMiner, Komaidi Notonegoro menilai berdasarkan data, jika dibandingkan dengan lima negara ASEAN yang lain yakni Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, saat ini level harga BBM Indonesia berada pada posisi yang relatif moderat.

“Bukan sebagai yang paling tinggi, tetapi juga bukan sebagai yang paling rendah,” jelas dia, Kamis (5/1/2023).

Dia menjabarkan bila saat ini Singapura tercatat sebagai negara dengan harga jual BBM yang relatif paling tinggi. Sedangkan Malaysia sebagai negara yang menjual BBM relatif paling rendah dibandingkan lima negara yang lain

Kemudian bila mengacu pada perspektif biaya pengadaan dan formula harga yang ditetapkan dalam regulasi, kebijakan penurunan harga BBM non-subsidi pada awal Januari 2023 pada dasarnya merupakan sesuatu yang lumrah.

“Harga minyak mentah yang merupakan komponen terbesar pembentuk harga BBM memang sedang turun. Indonesian Crude Price (ICP) turun dari 87,50 USD per barel pada November 2022 menjadi 76,66 USD per barel pada Desember 2022,” tutur dia.