Prospek Harga Minyak dan Tren Investasi Energi

Katadata.co.id; 18 Februari 2023
Penulis: Pri Agung Rakhmanto, Dosen di FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute

Dinamika keseimbangan pasokan-permintaan (supply-demand) pasar dan pergerakan harga minyak dunia sepanjang tahun 2022 dipengaruhi oleh sejumlah faktor utama yaitu: (1) konflik geopolitik di wilayah Eropa Timur, khususnya perang Rusia-Ukraina, (2) kekhawatiran pasar terhadap adanya perlambatan ekonomi dan resesi global pada tahun 2023, dan (3) kebijakan dan respon sejumlah negara, Tiongkok khususnya, dalam menangani lanjutan pandemi Covid 19. Sepanjang kuartal III dan kuartal IV 2022, harga minyak global tercatat berada pada tren menurun. Pada periode Juli sampai Agustus 2022 rata-rata harga minyak tercatat berada pada level 90 – 100 dolar AS per barel, sementara pada periode November sampai Desember 2022, rrata-rata level harga minyak tercatat berada pada kisaran 70 – 80 dolar AS per barel. Level harga tersebut terpantau masih bertahan sampai dengan Januari 2023 ini.

Dinamika dan Prospek Harga Minyak
Merujuk pada berbagai data, diantaranya dari laporan OPEC (2023) dan IEA (2022), secara umum dapat dikatakan bahwa dinamika keseimbangan pasokan-permintaan minyak dunia diproyeksi akan berada pada kondisi yang relatif stabil.

Di sisi supply, pasokan minyak global pada 2023 diproyeksi berada pada kisaran 101,10 juta barel per hari atau tumbuh sekitar 1,1 juta barel per hari dari tahun 2022. Pasokan minyak non-OPEC pada tahun 2023 diperkirakan tumbuh sebesar 1,5 juta barel per hari menjadi rata-rata 67,2 juta barel per hari. Sejumlah negara yang diproyeksi menjadi pendorong utama pertumbuhan pasokan non-OPEC diantaranya yaitu AS, Norwegia, Brazil, Kanada, Kazakhstan dan Guyana. Di sisi lain, penurunan pasokan non-OPEC diperkirakan akan berasal dari Rusia dan Meksiko. Produksi minyak Rusia diproyeksi turun menjadi 9,5 juta barel per hari pada tahun 2023, dari 10,9 juta barel per hari pada tahun 2022. Produksi minyak mentah OPEC diproyeksi sedikit mengalami peningkatan yaitu sebesar 0,16 juta barel per hari pada 2023 menjadi rata – rata sekitar 29 juta barel per hari.

Sementara itu, di sisi demand, permintaan minyak global diproyeksi tetap akan meningkat sebesar 1,9 juta barel per hari pada tahun 2023 menjadi sekitar 101,7 juta barel per hari. Optimisme pasar terhadap adanya peningkatan permintaan minyak global pada 2023 terutama dipengaruhi adanya tren peningkatan permintaan minyak pada kuartal IV 2022 yang khususnya berasal dari kelompok negara non-OECD, dalam hal ini terutama Tiongkok dan India. Peningkatan permintaan minyak pada kuartal IV 2022 dalam hal ini lebih banyak dipengaruhi karena berlanjutnya peningkatan aktivitas dan pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid 19. Tiongkok, dalam hal ini, sebagai negara yang relatif masih bergelut dengan peningkatan kasus Covid 19 pun, dalam perkembangannya saat ini tidak lagi menerapkan kebijakan pembatasan aktivitas.
Dari dinamika pasar dan angka-angka di atas, terdapat setidaknya ada tiga faktor utama yang akan berperan besar dalam mempengaruhi dan menentukan pergerakan dan level harga minyak di tahun 2023 ini.

Pertama adalah kondisi supply-demand yang secara fundamental berada kondisi relatif berimbang dan stabil.

Kedua, di sisi supply, meski perang Rusia-Ukraina masih berlangsung, pasar tampak relatif lebih punya confidence bahwa disrupsi pasokan minyak secara drastis tidak akan atau kecil kemungkinannya untuk terjadi. Peningkatan pasokan bahkan tetap diproyeksikan akan berlangsung, meskipun secara terbatas. Ketiga, di sisi demand, meskipun sentimen resesi ekonomi dan perlambatan ekonomi global terbukti telah mengoreksi harga minyak hingga berada di bawah 90 dolar AS per barel di kuartal akhir 2022, tetap tidak membuat permintaan minyak dunia menjadi berkurang. Permintaan minyak dunia di tahun 2023 diproyeksi akan tetap tumbuh meskipun dalam laju yang relatif terbatas. Berpijak pada ketiga hal ini, dan sepanjang tidak terjadi kejadian luar biasa yang secara fundamental mengganggu keseimbangan supply-demand yang ada, harga minyak di sepanjang tahun 2023 cukup berprospek untuk bergerak secara lebih stabil di kisaran 80 – 90 dolar AS per barel. Level ini berarti sedikit meningkat dibandingkan rentang pergerakan harga 70 – 80 dolar AS per barel yang terjadi di kuartal terakhir tahun 2022 lalu, namun masih di bawah level rata-rata harga minyak di tahun 2022 secara keseluruhan yang mendekati 100 dolar AS per barel.

Investasi Energi

Dalam hal investasi energi secara global, data dan laporan World Energy Investment – International Energy Agency (2022) mencatat bahwa pada tahun 2022 estimasi investasi energi secara keseluruhan meningkat sekitar 8% dari 2.177 miliar dolar AS menjadi 2.392 miliar dolar AS. Peningkatan investasi di sektor energi global terjadi di seluruh sub-sektor energi baik hulu maupun hilir. Investasi hulu migas global meningkat sekitar 8% dari 384 miliar dolar AS menjadi 417 miliar dolar AS. Sebagian besar investasi terdistribusi untuk lapangan – lapangan eksisting khususnya shale dan offshore. Investasi hilir migas juga meningkat sekitar 5,3%, dengan distribusi di sektor refinery tercatat meningkat sekitar 7,8% sementara sektor LNG meningkat sekitar 4,2%. Peningkatan investasi migas terutama digerakkan oleh perusahaan migas skala multinasional. Perusahaan minyak negara di kawasan Timur Tengah masih mendominasi peningkatan investasi migas “konvensional”, sedangkan perusahaan migas internasional dari kawasan Eropa lebih banyak mengalokasikan peningkatan investasi migasnya pada teknologi rendah karbon. Investasi pada batubara mencapai 115 miliar dolar AS, atau meningkat sekitar 10,48% , dengan terutama terkonsentrasi di wilayah Tiongkok dan India.

Masih dalam laporan yang sama, investasi di sektor energi bersih di tahun 2022 mencapai 1.400 miliar dolar AS lebih, atau tercatat rata-rata mengalami peningkatan 10 % lebih. Yang tercakup di dalam kategori investasi energi bersih ini, beserta angka peningkatannya, adalah investasi pada pembangkit listrik EBT (6%), penggunaan nuklir untuk energi (11%), upaya efisiensi energi (9%), grid storage (6%), bahan bakar rendah karbon dan CCUS (19%), dan kendaraan listrik atau Electric Vehicles (69%). Peningkatan investasi energi bersih tersebut utamanya masih terkonsentrasi di negara-negara OECD (54,8%) dan kemudian diikuti Tiongkok (29,6%) terutama dengan perkembangan pesat pada pengembangan kendaraan listriknya.

Keamanan Pasokan dan Transisi Energi
Dinamika dan pergerakan harga minyak di satu sisi dan di sisi lain peningkatan angka-angka investasi energi global secara keseluruhan di atas pada dasarnya saling terkait dan mencerminkan beberapa hal penting. Pertama, bahwa suka atau tidak suka, kebutuhan dunia akan energi fosil, sebagai andalan di dalam memenuhi kebutuhan pasokan, khususnya di saat mendesak, terbukti masih signifikan. Lonjakan harga energi fosil – batubara, minyak, gas – dan perang Rusia-Ukraina yang teriadi di tahun 2022 kembali menegaskan bahwa keamanan dan jaminan pasokan energi – dan terbukti dengan masih tetap mengandalkan energi fosil – adalah aspek (ter)penting bagi semua negara. Kedua, bahwa dalam hal nominal maupun persentase pertumbuhan, besaran investasi global pada energi bersih secara keseluruhan mengalami peningkatan yang cukup signifikan, hal itu menandakan bahwa proses transisi energi di tataran global memang terus bergulir. Transisi energi, dalam pengertian luas baik melalui upaya pencapaian emisi nol bersih (Zero Net Emission, NZE), maupun dalam pengertian secara lebih khusus pada pendayagunaan lebih terhadap sumber energi non-fosil saat ini telah menjadi tema pengelolaan energi global. Ketiga, keamanan dan jaminan pasokan energi dan transisi energi, adalah dua faktor utama yang berperan dalam mempengaruhi tren investasi energi global saat ini dan ke depan. Keempat, bahwa dinamika dan pegerakan harga minyak, dengan proyeksi tahun 2023 di kisaran 80 – 90 dolar AS per barel, dengan demikian, secara tidak langsung adalah “kompromi” atau keseimbangan di antara keduanya. Dengan keberagaman sumber energi yang dimilikinya, mudah-mudahan Indonesia dapat menangkap peluang yang ada.

Insentif Fiskal dan Kontrak Kerja Sama Khusus ‘Lapangan Tua’

CNBCIndonesia; 14 Februari 2023

Penulis: Pri Agung Rakhmanto merupakan Founder & Advisor ReforMiner Institute, Pengajar di FTKE Universitas Trisakti.

Produksi minyak dan gas nasional terus menurun. Pada tahun 2010, produksi minyak nasional tercatat masih berada pada kisaran 1 juta barel per hari, sementara pada tahun 2022, SKK Migas mencatat produksi minyak nasional hanya sekitar 612 ribu barel per.

Kondisi yang sama juga terjadi untuk produksi gas, pada tahun 2010 produksi gas nasional tercatat berada pada kisaran 8.857 juta standar kubik per hari, sementara saat ini produksi gas tercatat hanya berada pada kisaran 5.374 juta standar kubik per hari.

Jika di rata-rata, selama periode 2010 hingga 2022 produksi migas nasional tercatat mengalami penurunan sekitar 3,28% per tahun untuk minyak dan 3,36% per tahun untuk gas.

Secara teknis, tren penurunan produksi migas nasional yang terus berlanjut sebetulnya tidak terlalu mengherankan dan memang sudah dapat diprediksi karena produksi mengandalkan lapangan yang sudah dapat dikategorikan sebagai mature field (lapangan tua). Dalam hal ini, mature field yang dimaksud adalah lapangan atau wilayah kerja migas yang berdasarkan perhitungan teknis telah mencapai puncak produksi dan telah berada pada fase natural decline menuju akhir masa produktifnya.

Merujuk pada data Ditjen Migas dan SKK Migas, ReforMiner Institute (2022) mencatat setidaknya terdapat 40 wilayah kerja atau sekitar 52% dari total 75 wilayah kerja produksi yang aktif sampai dengan tahun 2020 merupakan wilayah kerja yang masuk dalam klasifikasi mature field. Dari jumlah tersebut, 36 wilayah kerja tercatat berumur sekitar 25 sampai 50 tahun. Sementara 4 wilayah kerja tercatat berumur lebih dari 50 tahun.

Dalam hal porsi produksi minyak, pada tahun 2021 tercatat sekitar dari 36,52% produksi minyak nasional tercatat berasal dari lapangan-lapangan yang telah beroperasi lebih dari 50 tahun dengan perincian wilayah kerja Rokan dengan porsi sekitar 24,61%; wilayah kerja Offshore Southeast Sumatra (OSES) dengan porsi sekitar 3,64%, wilayah kerja Offshore North West Java (ONWJ) dengan porsi sekitar 4,06% dan Mahakam dengan porsi sekitar 4,06%.

Sementara untuk produksi gas, hingga tahun 2021 produksi gas nasional masih didominasi lapangan-lapangan yang telah berproduksi lebih dari dua dekade seperti wilayah kerja Corridor dengan porsi sekitar 14,0%, wilayah kerja Mahakam dengan porsi sekitar 8,0%.

Insentif Fiskal untuk Mature Field

Selain permasalahan teknis, aspek utama lain yang menentukan operasi dan keberlanjutan pengelolaan mature field adalah pada aspek keekonomiannya. Sejalan dengan umur lapangan yang terus menua, biaya yang harus dikeluarkan di dalam melakukan optimalisasi produksi di lapangan-lapangan mature field cenderung terus meningkat seiring dengan tuntutan penerapan teknologi tertentu. Penerapan insentif fiskal sangat diperlukan untuk menjaga tingkat keekonomian proyek agar lapangan dapat terus beroperasi dan berproduksi.

Merujuk studi Inter-American Development Bank (2020), disebutkan pemberian insentif untuk mature field dapat menambah umur keekonomian proyek rata-rata sekitar 30 tahun. Optimalisasi mature field melalui pemberian insentif lazim diterapkan dan tercatat telah berhasil meningkatkan produksi migas di sejumlah negara.

Australia misalnya, melalui pemberian insentif fiskal untuk mature field, telah berhasil meningkatkan produksi minyak sekitar 1,6% per tahun dan gas sebesar 10,3% per tahun pada periode 2010-2019. Beberapa bentuk insentif fiskal yang diberikan diantaranya insentif pembatasan royalti juga insentif bea cukai migas.

Keberhasilan untuk meningkatkan produksi migas melalui pemberian insentif fiskal pada mature field juga terjadi di Brasil dan Kanada. Pemerintah Brasil tercatat memberikan insentif fiskal berupa pengurangan pembayaran royalti sekitar 5% untuk mature field dengan skala kecil, dan 5% sampai dengan 7,5% untuk mature field dengan skala besar.

Sementara untuk Kanada, bentuk kebijakan yang diterapkan adalah pengurangan pajak pendapatan, penangguhan kerugian pajak hingga 20 tahun, dan penerapan tax credit. Hasilnya, selama periode 2010-2019 produksi minyak dan gas di Brasil masing-masing meningkat sekitar 3,2% dan 3,5% per tahun. Sementara produksi minyak dan gas di Kanada untuk periode yang sama tercatat meningkat sekitar 1,3% per tahun untuk minyak dan 4,6% per tahun untuk gas.

Indonesia bukan tidak menerapkan kebijakan insentif fiskal. Pemberian insentif fiskal untuk mendorong optimalisasi wilayah kerja migas pada dasarnya telah diatur melalui dua rujukan regulasi utama, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No.79/2010 jo PP No.27/2017 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi; dan PP No.53/2017 tentang Perlakuan Perpajakan pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Kontrak Bagi Hasil Gross Split. Melalui PP No.79/2010 jo PP No.27/2017, pemerintah menetapkan bahwa wilayah kerja migas yang menggunakan skema kerja sama cost recovery berpeluang diberikan insentif fiskal diantaranya berupa pembebasan bea masuk, PPN, PPnBM, PPh 22 impor dan PBB; depresiasi aset dapat dipercepat; penerapan bagi hasil dinamis (sliding scale split) dan DMO holiday.

Sementara melalui PP No.53/2017, pemerintah menetapkan wilayah kerja migas yang menggunakan skema kerja sama gross split berpeluang diberikan insentif fiskal diantaranya berupa pembebasan bea masuk,PPN, PPnBM, PPh 22 impor dan PBB; biaya operasi kontraktor yang dapat diperhitungkan sebagai unsur pengurang penghasilan dalam penghitungan penghasilan kena pajak; tax loss carry forward atau penangguhan pajak penghasilan (PPh) selama 10 tahun dan biaya operasi fasilitas bersama (cost sharing).

Di atas kertas kebijakan tersebut pada dasarnya dapat dikatakan cukup positif. Namun dalam implementasinya, kebijakan tersebut memerlukan proses dan mekanisme yang tidak sederhana. Pemberian insentif tersebut tidak berlaku secara langsung, bergantung pada peraturan perundangan terkait lainnya, memerlukan proses penilaian teknis oleh pemerintah, yang kemudian juga masih melibatkan berbagai institusi dalam pengeksekusiannya.

Kontrak Kerja Sama Khusus Mature Field

Selain pemberian insentif fiskal, opsi lain yang juga dapat digunakan sebagai upaya untuk menjaga dan bahkan meningkatkan produksi mature field adalah melalui penerapan kontrak kerja sama khusus mature field. Penerapan kontrak kerja sama khusus untuk mature field dimaksudkan untuk memberikan kepastian fiskal secara lebih kuat terhadap pengusahaan dan pengelolaan wilayah kerja mature field, tanpa harus terlalu bergantung pada pemberian insentif fiskal yang diatur melalui peraturan perundangan lainnya.

Sejauh ini, Malaysia menjadi salah satu negara yang tercatat telah menerapkan kontrak kerja sama khusus untuk mature field. Melalui bentuk kontrak kerja sama PSC Late Life Assets (LLA), pemerintah Malaysia menetapkan kontrak untuk mature field dengan sumber daya kurang dari 30 juta barel tanki stok (MMstb).

Melalui penerapan kontrak khusus mature field tersebut pemerintah mengatur tentang jaminan pengembalian investasi kepada kontraktor dengan lebih dulu memberikan prioritas fixed percentage bagi hasil produksi kepada kontraktor. Setelah investasi kembali, fixed percentage kemudian diubah untuk mengakomodasi penerimaan negara. Besaran bagi hasil di dalam kontrak khusus mature field tersebut juga dapat diperlakukan sebagai biddable item.

Di Indonesia, penerapan kontrak kerja sama khusus untuk mature field dapat dikatakan belum diatur. Dalam kerangka regulasi pengelolaan hulu migas nasional saat ini, kontrak pengusahaan mature field sejauh ini cenderung diperlakukan sama dengan kontrak pengusahaan lapangan migas secara umum.

Meskipun di dalamnya terdapat komponen yang tidak seragam, yang di dalamnya tak jarang juga memuat elemen insentif fiskal, bentuk dan jenis kontraknya secara prinsip relatif tidak dibedakan apakah untuk lapangan baru ataukah untuk lapangan yang sudah mature.

Keberhasilan sejumlah negara di atas di dalam meningkatkan produksi migas dari mature field, memberikan gambaran bahwa optimalisasi produksi migas pada wilayah kerja mature field pada dasarnya dapat dilakukan sepanjang terdapat dukungan kebijakan yang optimal dari pemerintah.

Untuk Indonesia, melihat peran mature field yang strategis bagi produksi migas nasional, pemberian insentif fiskal secara langsung, baik melalui penerapan kembali prinsip assume and discharge di dalam perpajakan hulu migas maupun melalui penerapan bentuk kontrak khusus untuk mature field, kiranya dapat menjadi opsi bagi pemerintah.

Minyak dan Gas Berakhir Bukan karena Cadangannya Habis

Merdeka.com; 14 Februari 2023

Merdeka.com – Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menanti pengesahan Revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas). Pasalnya, itu jadi salah satu kunci agar sektor industri hulu migas tidak kehilangan investasi.

Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Mohammad Kemal mengatakan, ada beberapa hal terkait substansi RUU Migas untuk bisa dorong tingkatkan investasi. Dia menilai persaingan investasi sekarang semakin ketat.

“Kita harus belajar bahwa kita bukan hanya bersaing dengan negara lain, tapi juga bersaing dengan energi lain, renewable (energy). Sehingga sudah selayaknya supaya cadangan kita tidak hilang begitu saja,” kata Kemal dalam acara konferensi pers di Kantor SKK Migas, Jakarta, Selasa (14/2).

“Dulu Menteri OPEC pernah bilang yang namanya zaman batu bukan berhenti karena batunya habis. Sama juga, minyak dan gas berakhir bukan karena cadangan migasnya habis, tapi karena keekonomiannya sudah berubah menuju enegi lain,” tuturnya.

Kemal menyampaikan, SKK Migas telah beberapa kali melakukan survei untuk menilai seberapa penting kehadiran RUU Migas ini.

“Kepastian hukum ini salah satu yang paling dinanti dari para investor. Ini bisnis long term, kontraknya aja 10+20 tahun. Investasi sangat besar. Mereka menanti kepastian hukum ini,” tegasnya.

Perhatian serupa juga sempat diutarakan pihak akademisi, yang menanti proses pengesahan RUU Migas segera dilakukan.

Analis energi dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), Putra Adhiguna, menekankan, RUU Migas menjadi hal mendasar yang harus dituntaskan pemerintah untuk memberikan kepastian hukum di sektor migas.

Terlebih, saat ini Pemerintah Indonesia memiliki target produksi 1 juta barel minyak per hari (bph) dan gas sebesar 12 miliar kaki kubik per hari (bscfd) pada 2030.

Namun dengan proses RUU Migas yang tak kunjung selesai, Putra menilai hal ini akan berpengaruh terhadap pandangan investor untuk masuk ke industri migas di Indonesia.

“Rentang waktu dari investasi sampai produksi sektor migas cukup lama, bisa mencapai 5 sampai 10 tahun. Saya rasa investor sudah mulai berhati-hati melihat bukan hanya dari potensi ya, juga kepastian hukum dan kebijakan ke depan,” jelasnya beberapa waktu lalu.

Sejumlah perusahaan raksasa menyatakan mundur dari proyek pengelolaan blok migas di Indonesia. Tercatat, Conoco Phillips sudah resmi melepas asetnya kepada PT Medco Energi Internasional Tbk.

Sedangkan Chevron dan Shell masih berproses mencari mitra pengganti melanjutkan proyek gas laut dalam Indonesia Deepwater Development (IDD) di Kalimantan Timur dan pengembangan proyek Blok Masela.

3 dari 3 halaman
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menambahkan, jika berbicara soal transisi energi, ada dua aturan yang menjadi landasan Hukum. Keduanya adalah UU Migas dan UU Energi Baru Terbarukan (EBT) yang hingga kini belum kunjung diselesaikan.

“Sayangnya sudah menjadi kebiasaan di kita sepertinya, kita ramai-ramai di ujungnya atau permukaan saja tapi fundamental gak kesentuh. Padahal kalau pemerintah komitmen harusnya ada payung hukum dari awal, jangan nunggu sampai ada pro-kontra setelah semua sudah jalan baru menjadi concern,” tuturnya.

Khusus untuk RUU Migas, Komaidi menambahkan, beleid tersebut fundamental untuk investasi dan target lifting, sehingga perlu segera diselesaikan.

Dia mencatat, proses UU Migas ini mulai dibahas dari 2008 dan sudah beberapa kali dibatalkan atau mengalami proses judicial review di Mahkamah Konstitusi.

“Kenapa ya selama 14 tahun ini gak selesai-selesai? padahal kalau bicara migas sebagai komoditas strategis harusnya justru menjadi kesadaran bersama untuk segera diselesaikan RUU-nya karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak, seharusnya demikian sudut pandangnya,” tutupnya.

Manfaat Ekonomi Pemanfaatan Gas Bumi Untuk Konversi LPG Subsidi

InvestorDaily, 07 Februari 2023

Penulis: Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute dan Pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti

Dalam beberapa tahun terakhir, anggaran subsidi LPG tercatat sebagai salah satu komponen terbesar dalam komposisi subsidi energi. Untuk APBN 2023 misalnya, anggaran subsidi LPG ditetapkan sebesar Rp 117,40 triliun atau setara dengan 55,73 % dari total subsidi energi. Dalam APBN 2023 subsidi energi dialokasikan untuk tiga komponen yaitu subsidi BBM, subsidi LPG, dan subsidi listrik.

Alokasi anggaran untuk subsidi LPG juga tercatat terus meningkat. Realisasi subsidi LPG pada tahun anggaran 2021 dilaporkan sebesar Rp 67,62 triliun, lebih besar dari alokasi APBN 2021 yang ditetapkan Rp 49,90 triliun. Pada APBNP 2022 alokasi subsidi LPG ditambah menjadi Rp 134,70 triliun dari sebelumnya Rp 66,30 triliun pada APBN 2022.
Selain memberikan konsekuensi terhadap aspek fiskal, peningkatan konsumsi LPG Indonesia juga memberikan konsekuensi terhadap aspek moneter. Hal itu karena sekitar 75 % kebutuhan LPG untuk domestik masih harus dipenuhi dari impor. Porsi subsidi LPG yang besar karena alokasi tersebut merupakan konversi dari anggaran subsidi sekitar 12 juta kilo liter minyak tanah.

Manfaat ekonomi pemanfaatan gas bumi

Pertimbangan kebijakan konversi minyak tanah ke LPG pada saat itu adalah karena terdapat penghematan anggaran subsidi yang diperoleh. Penghematan diperoleh karena alokasi anggaran yang diperlukan untuk memberikan subsidi LPG dalam satuan energi yang sama lebih rendah dibandingkan anggaran yang diperlukan untuk memberikan subsidi kepada minyak tanah.

Jika ditinjau dari aspek fiskal, sampai saat ini basis kebijakan konversi minyak tanah ke LPG tersebut masih relevan. Anggaran yang harus dialokasikan untuk subsidi LPG masih tetap lebih rendah dibandingkan jika pemerintah harus memberikan subsidi untuk minyak tanah. Namun, kondisi keseimbangan neraca LPG dalam negeri menyebabkan kebutuhan anggaran subsidi LPG akan semakin meningkat dan berpotensi menjadi permasalahan fiskal dalam jangka panjang.

Untuk tahun 2021 misalnya, realisasi konsumsi LPG Indonesia dilaporkan sebesar 8,55 juta ton. Dari jumlah tersebut sekitar 6,33 juta ton atau 74 % diantaranya dipenuhi dari impor. Realisasi produksi LPG domestik pada tahun yang sama dilaporkan hanya sekitar 2,22 juta ton atau baru sekitar 26 % dari total konsumsi dalam negeri. Data juga menunjukkan impor LPG Indonesia rata-rata meningkat sekitar 4,8 % per tahun.

Jika ditinjau dari sejumlah aspek, pemanfaatan gas bumi untuk konversi LPG berpotensi memberikan sejumlah dampak positif. Pemanfaatan gas bumi untuk menggantikan konsumsi LPG berpotensi memberikan manfaat positif baik untuk aspek fiskal, moneter, daya beli masyarakat, dan keberlanjutan pasokan energi itu sendiri.

Dari aspek fiskal, sejumlah kajian menemukan bahwa harga keekonomian gas bumi lebih terjangkau apabila dibandingkan dengan LPG Non Subsidi. Jika mengacu pada ketetapan BPH Migas di sejumlah lokasi, harga gas bumi tercatat lebih rendah sekitar 30 % dibandingkan dengan harga LPG Non Subsidi.

Berdasarkan informasi tersebut, jelas bahwa pemanfaatan gas bumi akan menurunkan beban subsidi di APBN dan secara paralel dapat meningkatkan daya beli masyarakat. Sebagai gambaran, jika selama ini harga LPG Subsidi ditetapkan sekitar 30 % lebih murah dibandingkan LPG Non Subsidi, maka pemanfaatan gas bumi untuk konversi LPG seluruhnya secara otomatis akan menghilangkan kebutuhan anggaran untuk subsidi LPG di APBN.

Selain berpotensi dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan kebutuhan anggaran untuk subsidi LPG, pemanfaatan gas bumi juga akan meningkatkan daya beli masyarakat, khususnya yang selama ini menggunakan LPG Non Subsidi. Dengan memanfaatkan gas bumi, masyarakat pengguna LPG Non Subsidi akan mendapatkan harga 30 % lebih murah untuk setiap satuan energi yang sama.

Dari aspek moneter, dengan volume impor LPG pada tahun 2021 tersebut kebutuhan devisa untuk impor LPG Indonesia mencapai sekitar 4,45 miliar USD per tahun. Dengan jumlah penduduk dan ekonomi yang terus meningkat, konsumsi LPG juga berpotensi akan terus meningkat. Artinya, kebutuhan devisa impor LPG akan meningkat. Melalui pemanfaatan gas bumi untuk konversi LPG, kebutuhan devisa impor tersebut dapat dihemat atau bahkan ditiadakan.

Untuk aspek keberlanjutan pasokan, jelas bahwa pemanfaatan gas bumi akan lebih memberikan jaminan keamanan pasokan dibandingkan LPG. Indonesia memiliki cadangan gas bumi yang cukup bahkan untuk puluhan tahun ke depan tanpa harus bergantung pada impor. Kegiatan usaha hulu migas yang dalam beberapa tahun terakhir dilaporkan menemukan cadangan gas dalam jumlah signifikan semakin memperkuat bahwa pemanfaatan gas bumi untuk konversi LPG berpotensi memberikan manfaat ekonomi yang lebih luas lagi.

Dari perspektif makro ekonomi, pemanfaatan gas bumi untuk menggantikan LPG berpotensi menciptakan nilai tambah ekonomi yang lebih besar. Dari aspek kegiatan usaha gas bumi, kebijakan tersebut berpotensi menambah manfaat ekonomi dari bertambahnya investasi pada kegiatan usaha hulu gas, hilir gas, termasuk investasi untuk penyediaan jaringan infrastruktur transmisi dan distribusi gas.

Peningkatan daya beli masyarakat akibat harga gas bumi yang lebih murah jika dibandingkan LPG juga akan memberikan manfaat positif terhadap perekonomian Indonesia. Peningkatan daya beli masyarakat tersebut berpotensi meningkatkan konsumsi dan memberikan manfaat positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Hal tersebut terkait dengan sekitar 55 % PDB Indonesia dikontribusikan dari konsumsi masyarakat.

Dalam jangka menengah dan panjang, peningkatan pemanfaatan gas bumi berpotensi memberikan dampak positif terhadap kesehatan APBN. Berkurangnya atau bahkan hilangnya kebutuhan alokasi anggaran untuk subsidi LPG dapat meningkatkan ruang gerak APBN dalam membiayai belanja yang lebih produktif. Sejumlah data dan informasi yang tersebut menegaskan bahwa secara keseluruhan dan ditinjau dari sejumlah aspek, pemanfaatan gas bumi untuk menggantikan penggunaan LPG berpotensi menciptakan manfaat ekonomi yang lebih besar.

IPA Berharap Kebijakan Harga Gas Tetap Perhatikan Keekonomian Lapangan

Kontan.co.id; 05 Februari 2023

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Indonesian Petroleum Association (IPA) mengharapkan agar keekonomian lapangan migas tidak dikorbankan dalam kebijakan harga gas.

Sebelumnya, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) berharap adanya dukungan insentif harga gas murah dari hulu dengan besaran maksimum US$ 4,72 per MMBTU.

Besaran ini secara khusus diminta agar mendorong proyek jaringan gas rumah tangga yang juga menjadi program pemerintah. Saat ini, PGN mengklaim harga gas yang dibeli ada dikisaran US$ 6,5 hingga US$ 7 per MMBTU.

Direktur Eksekutif IPA Marjolijn Wajong mengungkapkan, penetapan harga gas dari produsen tentunya mengikuti keekonomian lapangan yang ada. Dengan demikian pengembangan lapangan dapat tetap dilakukan.

Pihaknya pun belum mengetahui apakah bakal ada kebijakan baru dari pemerintah untuk memfasilitasi permintaan penurunan harga gas tersebut. Namun, pelaku usaha berharap agar keekonomian lapangan tidak terganggu.

“Tanpa mengganggu keekonomian lapangan gas tersebut, sebab kan kalau tidak ekonomis maka tidak bisa lapangannya di kembangkan,” ungkap Marjolijn kepada Kontan.co.id, Jumat (3/2).

Sementara itu, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menjelaskan, pemberian harga gas murah untuk PGN masih dimungkinkan.

Menurutnya, meskipun jumlah pelanggan jargas cukup tinggi, namun kebutuhan volumenya masih jauh lebih kecil ketimbang segmen industri.

Akan tetapi, Komaidi menegaskan kalau pemberian harga gas murah untuk PGN jangan sampai mengorbankan bagian kontraktor atau perusahaan hulu migas.

“Kalau memerlukan subsisdi juga masih di bawah kontrol pemerintah. Saya kira komitmen pemerintah adalah bagian yang akan dikurangi adalah bagian negara sementara bagian kontraktor dijanjikan di level yang sama,” jelas Komaidi kepada Kontan.

Meski demikian, Komaidi menegaskan bahwa pemerintah tetap perlu memperhatikan para kontraktor migas jika nantinya implementasi harga gas murah untuk PGN diberlakukan.

Menurutnya, meskipun kontraktor migas tak terdampak langsung, ada proses teknis dalam jual beli gas yang harus diperhatikan.

Harga BBM Non Subsidi Berubah? Jadi Kewenangan Badan Usaha

CNBCIndonesia; 31 Januari 2023

Jakarta, CNBC Indonesia – Badan usaha penyedia Bahan Bakar Minyak (BBM) biasanya melakukan penyesuaian harga per tanggal 1 atau tiap bulan. Khususnya untuk perubahan harga BBM non subsidi seperti misalnya harga RON 92 atau Pertamax Cs, Pertamax Turbo, serta Dexlite dan Pertamina Dex.
Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute mengatakan, untuk perubahan harga BBM non subsidi, seharusnya memang diberikan kewenangan melakukan perubahan harga dengan memperhitungkan banyak aspek.

Di negara lain bahkan ketika harga minyak turun, seketika harga BBM akan turun, namun periode evaluasi masing-masing negara berbeda dan ada beberapa metode.

“Di Asia Tenggara paling lama di Indonesia. Kalau di Malaysia dan Thailand sekitar 10 hari. Ada juga yang penentuan harga baru BBM setiap satu minggu dievaluasi, salah satunya Singapura. Kalau waktunya pendek ketika harga minyak turun jadi masyarakat konsumen lebih ingat satu minggu lalu habis turun (harga minyak) sehingga kalau turun (harga minyak) diturunkan harga BBM, jadi logis. Begitu juga kalau naik,” kata Komaidi kepada CNBC Indonesia, Selasa (31/1/2022).

Menurut dia, sisi regulasi sebenarnya sudah diatur bagaimana secara berkala badan usaha, termasuk Pertamina, berhak melakukan evaluasi harga BBM nonsubsidi. Hanya ada batas atas maupun batas bawah sebagai pedoman bagi para badan usaha.

Sebelumnya, Tutuka Ariadji, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, mengakui bahwa Pertamina memang bisa melakukan evaluasi dan menetapkan harga BBM nonsubsidi. Hak dan kewenangan itu dijamin oleh regulasi.

“Secara peraturan (penyesuaian harga, red) diserahkan ke badan usaha niaga. Kementerian hanya menetapkan harga jual eceran batas atasnya, jadi memang dinamik. Saat ini penentuan harga BBM mengikuti harga minyak. Begitu harga minyak turun, kita juga evaluasi. Nanti badan usaha yang menentukan,” ujar Tutuka usai Konferensi Pers Kinerja Kementerian ESDM, Senin (30/1/2023).

Sebelumnya Menteri BUMN Erick Thohir jugamengatakan harga BBM nonsubsidi bersifat fluktuatif sehingga dievaluasi secara berkala mengikuti tren dan mekanisme pasar. Pertamina melakukan penyesuaian harga mengikuti tren harga minyak dunia dan harga rata-rata publikasi minyak.

“Pada dasarnya, harga BBM nonsubsidi sudah seyogya-nya harga pasar, namun untuk membuktikan bahwa pemerintah hadir. Pada kebijakan sebelumnya ketika harga minyak dunia tinggi pemerintah meminta Pertamina untuk tidak menaikan harga. Saat harga minyak di bawah US$ 80 per barel, saya bersama Menteri ESDM, Menteri Keuangan, dan Direktur Utama Pertamina menggelar rapat untuk memproyeksikan dan menentukan harga BBM yang baru ke masyarakat,” ujarnya.

Erick menjelaskan, usulan mengenai pemberlakukan evaluasi harga BBM nonsubsidi setiap pekan sudah bergulir dan tengah dibahas. “Jangan kita terjebak di birokrasi harga bensinnya turun, aturannya belum keluar. Kalau tiap minggu kan enak, oh minggu depan kira-kira harga sekian karena minyak dunia harganya sekian,” katanya

Fluktuasi Harga BBM dan Faktor Penyebabnya

JawaPos, 1 Februari 2023,
Penulis: Komaidi Notonegoro, *) Direktur Eksekutif ReforMiner Institute dan Pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti

FLUKTUASI atau perubahan harga BBM pada dasarnya merupakan sesuatu yang wajar seperti perubahan harga barang dan jasa pada umumnya. Harga minyak mentah yang diperdagangkan di pasar internasional tercatat terus mengalami perubahan hampir untuk setiap harinya. Sementara minyak mentah merupakan komponen terbesar dalam pembentuk harga BBM.

Meskipun merupakan sesuatu yang wajar, bagi masyarakat Indonesia, fluktuasi harga BBM secara relatif tampak belum sepenuhnya dapat diterima. Hal tersebut karena dalam kurun waktu yang cukup lama masyarakat Indonesia telah terbiasa dengan harga BBM yang stabil akibat diintervensi oleh pemerintah.

Perubahan kondisi permintaan dan penawaran minyak Indonesia menyebabkan biaya yang diperlukan untuk dapat mengintervensi harga BBM semakin besar. Konsumsi minyak Indonesia telah meningkat dari kisaran 300 ribu barel per hari pada periode awal pelaksanaan pembangunan menjadi sekitar 1,5 juta barel per hari. Sementara kemampuan produksi minyak Indonesia yang sempat mencapai 1,6 juta barel per hari, saat ini turun menjadi 600-700 ribu barel per hari.

Faktor Pembentuk harga BBM

Harga BBM secara umum sama dengan harga barang dan jasa yang lain, dibentuk melalui komponen biaya-biaya dalam proses pengadaannya. Harga BBM diantaranya ditentukan oleh harga minyak mentah, nilai tukar rupiah, biaya untuk mengangkut minyak mentah, biaya pengolahan/pengilangan, biaya penyimpanan BBM, biaya distribusi BBM, tarif pajak yang meliputi PPN dan PBBKB, dan margin wajar badan usaha yang terlibat dalam rantai bisnis penyediaan BBM.

Sebagian besar komponen pembentuk harga BBM tersebut bersifat fluktuatif. Karena itu, menjadi logis jika harga BBM juga fluktuatif, dapat naik dan turun sesuai dengan perubahan faktor pembentuk harganya. Jika selama ini harga BBM di Indonesia relatif stabil, hal tersebut bukan karena faktor-faktor pembentuk harganya yang stabil, tetapi lebih karena harga BBM diintervensi oleh pemerintah.

Meskipun relatif sama dengan barang dan jasa yang lainnya, perhitungan harga wajar BBM tidak mudah untuk dapat disederhanakan. Terdapat sejumlah faktor penting yang perlu dilihat lebih cermat ketika menghitung harga wajar BBM.

Salah satunya adalah terkait karakteristik minyak mentah dan setting pada kilang minyak. Jenis minyak mentah dan setting kilang akan berpengaruh terhadap produk yang akan dihasilkan dari proses pengilangan.

Produk yang akan dihasilkan umumnya akan tergantung dari crude assay. Melalui crude assay sudah akan diketahui berapa komposisi dari masing-masing produk yang akan dihasilkan mulai dari gas, LPG, minyak tanah, bensin, solar, dan residunya. Hasil studi menyebutkan pengilangan minyak jenis BRENT rata-rata akan menghasilkan komposisi produk: Butane and Lighter (2,9%), Lt. Naptha (9,2%), Hvy Naphtha (21,3%), Kerosene (15,6%), Diesel (16,7%), Vacuum Gas Oil (24,5%), dan Vacuum Residue (9,7%).

Studi tersebut menggambarkan bahwa pendekatan yang mengasumsikan bahwa 1 barel minyak mentah akan menjadi 1 barel BBM adalah tidak tepat. Dalam proses pengilangan minyak mentah tidak semua akan menjadi BBM tetapi juga produk turunan yang lainnya. Hal tersebut menegaskan bahwa perhitungan harga wajar BBM tidak sederhana karena harus melibatkan perhitungan hasil produk lain yang harganya juga tidak sama.

Data menunjukkan bahwa harga BBM antar negara dapat berbeda-beda. Hal tersebut karena struktur biaya penyediaan BBM antara negara yang satu dan yang lainnya memang tidak selalu sama. Publikasi OPEC misalnya juga menunjukkan bahwa struktur biaya produksi BBM pada kelompok negara OECD dan G7 berbeda. Struktur biaya produksi BBM di Usa, Canada, Japan, Korea, France, Germany, Italy, UK, India, dan China juga dilaporkan berbeda.

Secara umum struktur harga BBM terbagi menjadi tiga komponen utama yaitu biaya minyak mentah, keuntungan badan usaha, dan pajak. Komponen terbesar umumnya terdistribusi untuk biaya minyak mentah dan pajak. Untuk kelompok negara OECD dan G7 porsi besaran pajak yang dibayar oleh konsumen masing-masing mencapai 49 % dan 51 % terhadap total harga BBM. Sementara porsi pajak dalam struktur harga BBM di Usa, Canada, Japan, Korea, France, Germany, Italy, UK, India, dan China masing-masing sekitar 19 %, 33 %, 38 %, 43 %, 60 %, 57 %, 60 %, 59 %, 51 %, dan 38 %.

Untuk Indonesia, formula perhitungan harga BBM pada dasarnya sudah diatur dan tertuang dalam sebuah regulasi. Karena itu jika masih terdapat pihak yang menilai bahwa Pemerintah dan Pertamina tidak transparan dalam hal perhitungan harga BBM hal tersebut merupakan pesan bahwa sosialisasi terhadap regulasi perhitungan harga BBM masih perlu ditingkatkan dan dilakukan secara masif.

Saat ini formula perhitungan harga BBM di Indonesia diatur melalui Permen ESDM No.20/2021 dan telah diperbarui dalam Permen ESDM No. 11/2022 tentang Perhitungan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Regulasi tersebut menggantikan Permen ESDM No.39/2014 yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan Permen ESDM No.40/2018 tentang Perubahan Keenam atas Permen ESDM No.39/2014 tentang Perhitungan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.

Berdasarkan regulasi tersebut, harga eceran jenis BBM Subsidi/Tertentu ditetapkan dengan formula harga dasar ditambah Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dikurangi subsidi, dan ditambah Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB). Sementara untuk harga eceran BBM Khusus Penugasan (JBKP) ditetapkan dengan formula harga dasar ditambah biaya tambahan pendistribusian di wilayah penugasan sebesar 90 Rupiah, ditambah Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan ditambah Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB).

Selain mengatur harga eceran BBM Subsidi dan JBKP, Permen ESDM No.20/2021 juga mengatur harga eceran jenis BBM Umum. Harga eceran jenis BBM Umum dihitung dan ditetapkan oleh Badan Usaha berdasarkan formula harga tertinggi yang terdiri atas harga dasar, ditambah Pajak Pertambahan Nilai (PPN), ditambah Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB), dan margin usaha paling tinggi 10 % dari harga dasar.

Harga dasar BBM merupakan formula yang terdiri atas biaya perolehan, biaya distribusi, biaya penyimpanan, dan margin. Perhitungan harga dasar untuk setiap bulannya ditetapkan dengan menggunakan rata-rata harga indeks pasar dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika dengan kurs beli Bank Indonesia periode tanggal 25 pada 1 (satu) bulan sebelumnya sampai dengan tanggal 24 bulan berjalan untuk perhitungan harga dasar bulan berikutnya.

Formula harga dasar tersebut menjelaskan mengapa harga keekonomian BBM yang disampaikan oleh Menteri ESDM dan Menteri Keuangan pernah berbeda. Jika Menteri Keuangan menggunakan basis data tanggal 25 Januari – 24 Februari, sementara Menteri ESDM menggunakan data 25 Februari – 24 Maret maka hasil perhitungan harga BBM oleh kedua belah pihak kemungkinan akan berbeda.

Jika mencermati sebagian besar faktor pembentuk harga BBM yang fluktuatif tersebut, perubahan harga BBM semestinya juga dapat disikapi seperti harga barang dan jasa di pasar pada umumnya. Bahwa naik dan turunnya harga adalah sesuatu yang wajar. Dalam hal ini yang perlu dikawal adalah memastikan bahwa mekanisme penyesuaian harga tersebut adil untuk semua pihak. Ketika biaya penyediaan turun, harga BBM harus diturunkan agar tidak merugikan konsumen. Sebaliknya, ketika biaya penyediaan naik, harga BBM harus dinaikkan agar tidak merugikan pelaku usaha penyedia BBM.