Gas Bumi Miliki Peran Strategis pada Masa Transisi Energi

MediaIndonesia; 19 Februari 2023

Gas bumi dinilai memiliki peran strategis pada masa transisi energi sebelum sepenuhnya beralih ke energi baru dan terbarukan (EBT) pada 2060 atau lebih cepat.

Koordinator Kelompok Kerja Penyiapan Program Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rizal Fajar Muttaqinmengatakan gas bumi sebagai sumber energi fosil relatif lebih bersih dibandingkan dengan minyak bumi dan batu bara.

Selain itu, cadangan gas bumi kita masih cukup besar untuk memenuhi kebutuhan domestik dalam jangka panjang,” katanya saat webinar bertajuk Gas Bumi Menjadi Andalan Transisi Energi, yang digelar Komunitas Bincang Energi Update (BEU), sebagaimana dikutip dari keterangannya di Jakarta, Sabtu.

Selain Fajar, hadir sebagai narasumber Tenaga Ahli Lingkungan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Mohammad Kemal Rohali, Vice President Upstream Business Portofolio Performance Management PT Pertamina Hulu Energi (PHE) Akbar, dan Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro. Menurut Rizal, sesuai arahan Presiden Joko Widodo, gas menjadi jembatan untuk transisi energi sebelum net zero emission(NZE) pada 20260 atau lebih cepat.

“Produksi minyak bumi yang terus menurun, sementara konsumsi terus meningkat berdampak pada peningkatan impor dan defisit neraca perdagangan,” katanya.

Ia juga mengatakan pemanfaatan sumber energi alternatif dibutuhkan untuk mengurangi ketergantungan serta impor bahan bakar minyak (BBM) dan minyakmentah.

Karena itu, Kementerian ESDM mengoptimalkan pemanfaatan gas bumi untuk kebutuhan domestik, yang telah terbukti dengan semakin meningkatnya persentase pemanfaatan gas untuk domestik. “Total realisasi penyaluran gas sampai Desember 2022 mencapai 5.474,42 BBTUD, yang 67,27 % dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan domestik. Sementara, ekspor LNG sebesar 21,76 %, ungkap Rizal. Guna memenuhi kebutuhan gas domestik, lanjutnya, kontrak ekspor LNG jangka panjang yang saat ini masih berjalan untuk beberapa pembeli akan dihentikan bila kontraknya berakhir.

Rizal pun memastikan cadangan terbukti (proven reserve) gas bumi Indonesia cukup memenuhi kebutuhan 15 tahun ke depan atau masih ada sebesar 36 triliun kaki kubik (TCF). Cadangan tersebut belum termasuk cadangan terkira (probable reserve) dan cadangan terduga (possible reserve). Hal senada dikemukakan Mohammad Kemal yang mengatakan pilihan pada gas bumi karena emisi CO2, yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan energi fosil lainnya seperti minyak dan batu bara. “Jika gas bumi menghasilkan emisi CO2 satu kali, maka minyak menghasilkan emisi CO2 1,4 kali dan batu bara 1,7 kali lebih banyak,”ucapnya.

Selain itu, menurut dia, keunggulan gas bumi lainnya adalah dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk industri pupuk, amonia, urea, dan produk turunan plastik, sehingga ke depan pemanfaatan gas akan makin meningkat.

Ia menambahkan pilihan pemerintah, yang memutuskan gas sebagai andalan di era transisi energi, adalah tepat mengingat dalam satu dekade terakhir kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) lebih banyak menemukan cadangan gas dibandingkan minyak. “Rata-rata 70 % plan of development merupakan pengembangan lapangan gas dan reserve to production gas Indonesia dua kali lebih besar dibandingkan minyak,” ungkapnya. Sementara itu, Akbar memastikan selaku BUMN hulu migas nasional sekaligus produsen gas besar di Tanah Air, PHE turut mendukung program pemerintah yang menjadikan gas sebagai andalan di era transisi energi. Sebagai Subholding Upstrem Pertamina, PHE berkontribusi signifikan pada pemenuhan pasokan gas nasional, yang pada 2022, memproduksi gas 2.500 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD).

Akbar juga menjelaskan ke depan untuk meningkatkan produksi gas nasional, maka PHE mengintegrasikan seluruh data bawah permukaan (subsurface integration), sinergi borderless operation antaranak usaha hulu migas Pertamina, mempercepat persetujuan terhadap rencana investasi pengembangan proyek-proyek hulu migas (final investment decision/FID), dan cost effectiveness.

Evaluasi Harga Gas Bumi Tertentu Untuk Optimalisasi Nilai Tambah Pemanfaatan Pada Era Transisi Energi

RuangEnergi.com; 16 Maret 2023

Jakarta,ruangenergi.com-Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, berharap pemerintah dapat melihat permasalahan yang ada dengan menggunakan helicopter of view yang lebih luas. Pemerintah harus bisa menelurkan kebijakan yang proporsional.

Dia mengingatkan migas ke depan masih sangat diperlukan. Kendati Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi focus pemerintah, namun berdasarkan kajian sejumlah lembaga menunjukkan adanya peningkatan kebutuhan energi pada sisi volume. Meskipun secara persentase terlihat menurun. Oleh karena itu, perlakuan terhadap industri hulu migas tidak
boleh dilakukan serampangan.

“Apakah ada potensi gagal pada pengembangan EBT? Menurut saya hal itu sangat besar kemungkinannya, terkait masalah pembiayaan dan teknis penyediaannya sendiri. Selain panas bumi, pengembangan EBT sangat bergantung pada cuaca. PLTA bergantung pada debit air. Begitu juga dengan PLTS. Ini alasan mengapa gas bumi menjadi penting untuk
diperhatikan,” kata Komaidi saat menjadi pembicara pada acara Media Briefing IPA Convex 2023 “Nilai Tambah Pemanfaat Gas Bumi pada Era Transisi Energi” di Jakarta, Kamis (16/03/2023).

Menurut dia, penggunaan gas di masa transisi energi bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara lainnya seperti Amerika Serikat, Jerman, Rusia, China dan Australia. Hal itu membuat persaingan memperebutkan gas bumi akan sangat besar di kemudian hari.

“Kita punya gas harus dioptimalkan dan dijaga supaya jangan sampai kebijakan HGBT ini membuat potensi gas bumi Indonesia tidak teroptimalisasi,” ungkapnya.

Menurut Komaidi, harga gas bumi bukan satu-satunya variabel penentu pertumbuhan di sektor hilir. Ada 15 variabel lainnya yang juga harus dilihat oleh pemerintah untuk diperbaiki guna meningkatkan daya saing usaha di sektor hilir.

“Variabel daya saing ada 15, termasuk salah satunya harga gas bumi. Ada 14 variabel lainnya yang dapat memperngaruhi daya saing di sektor hilir,” pungkas dia.

Evaluasi
Evaluasi harga gas bumi tertentu (HGBT) sebesar maksimal US$6 per MMBTU yang sudah diberlakukan selama dua tahun merupakan langkah tepat untuk bisa membantu mengoptimalkan potensi gas untuk berperan pada era transisi energi saat ini.

Aris Mulya Azof, Chairman Indonesia Gas Society, mengungkapkan harga gas yang ditetapkan pemerintah tersebut sepintas memberikan manfaat besar bagi industri hilir, khususnya untuk meningkatkan daya saing produk yang dihasilkan.

Namun dalam implementasinya, ternyata target pemerintah agar industri hilir bisa berkembang dan lebih banyak menyumbangkan penerimaan kepada negara dari sisi perpajakan justru tidak sepenuhnya tercapai.

“Di sisi lain, pemerintah sudah rela berkorban banyak dengan mengurangi bagiannya di sisi hulu demi terwujudnya HGBT,” ujar Aris.

Ditambahkan Aris, hal itu menjadi tidak sesuai dengan target keseluruhan
yang ingin dicapai. Apalagi dalam pelaksanaan kebijakan tersebut ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan. Peraturan yang ada menyebutkan bahwa diperlukan kajian terhadap industri tertentu yang dapat memperoleh gas bumi dengan harga khusus.

“Mungkin ada pertimbangan bagaimana harga US$6 per MMBTU dapat sedikit lebih tinggi sehingga harga tersebut bisa juga berpihak pada sector hulu. Pengorbanan pemerintah (di hulu) belum sebanding dengan manfaat yang dihasilkan pada sektor hilir,” katanya.

Dia menjelaskan, pemerintah menargetkan kebijakan HGBT bisa memberikan efek berganda, namun hingga kini hal tersebut belum terealisasi. Padahal pengembangan gas bumi pada era transisi energi mendesak untuk segera dilakukan karena sumber energi ini dianggap merupakan energi fosil yang paling bersih daripada batubara dan minyak
bumi.

“Kebijakan ini tidak bisa permanen. Mungkin harga US$6 bisa dikoreksi akibat penerimaan negara secara total terus berkurang. Kebijakan HGBT harus dievaluasi untuk menghitung efek berganda dan nilai tambah yang diharapkan pemerintah, seperti meningkatkan kapasitas produksi, meningkatkan investasi baru, meningkatkan efisiensi proses produksi sehingga produk yang dihasilkan menjadi lebih kompetitif dan meningkatnya penyerapan tenaga kerja,” jelas Aris.

Berdasarkan data LPEM Universitas Indonesia kontribusi perpajakan tujuh industri yang mendapatkan HGBT memang mengalami peningkatan tipis dari 2020, yaitu sebesar Rp13.323 miliar menjadi Rp15.896 miliar pada 2021. Namun dari sisi lain ternyata terjadi penurunan, misalnya pada tahun 2020 realisasi investasi di sektor hilir menurun dari Rp120.059 miliar menjadi Rp93.521 miliar.

Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association, Marjolijn Wajong yang juga menjadi pembicara pada acara tersebut mengatakan, saat ini investor migas harus lebih selektif dalam menempatkan investasinya di suatu negara.

Pasalnya, perusahaan-perusahaan migas global telah membagi portofolio investasi mereka antara energi dan enegri baru terbarukan.

“Dengan berkurangnya porsi investasi di energi fosil, investor harus benar-benar mempertimbangkan dimana mereka akan berinvestasi. Hal ini harus termasuk menjadi pertimbangan semua pemangku kepentingan termasuk pemerintah agar produksi gas bumi tetap terjaga dan tidak terjadi krisis energi,” ungkapnya.

Keistimewaan (Pengusahaan) Hulu Migas dan Revisi UU Migas

CNBCIndonesia; 09 Maret 2023

Penulis: Pri Agung Rakhmanto
Founder & Advisor ReforMiner Institute; Dosen di FTKE Universitas Trisakti.

Sektor hulu minyak dan gas (migas) nasional dapat dikatakan memiliki masa jaya pada periode awal 1972/1973 hingga mendekati 1996/1997. Pada periode tersebut, Indonesia tercatat memiliki cadangan minyak terbukti hingga 11,6 miliar barel lebih dengan rata-rata produksi minyak mencapai 1,6 juta barel per hari.

Kontribusi sektor hulu migas secara langsung terhadap APBN dari sisi pendapatan selama periode itu juga tercatat sangat signifikan, secara rata-rata mencapai lebih dari 60%. Dari sisi signifikansi, sektor hulu migas dapat dikatakan istimewa pada saat itu.

Sesudahnya, dan sudah lebih dari dua dekade terakhir, tren pencapaian dari angka-angka yang pada tingkatan tertentu merepresentasikan kinerja dan signifikansi sektor hulu migas tersebut, terus menurun. Saat ini cadangan minyak terbukti Indonesia tercatat hanya sekitar 3,95 miliar barel dengan rata-rata produksi sekitar 600 ribu barel per hari.

Kontribusi sektor hulu migas secara langsung terhadap pendapatan APBN tercatat juga mengalami penurunan signifikan menjadi hanya sekitar 5% dalam lima tahun terakhir. Dari sisi signifikansi, sektor hulu migas secara relatif menjadi tidak lagi istimewa saat ini.

Dari berbagai faktor yang berperan, salah satu faktor terpenting yang menopang dan menjadikan sektor hulu migas dalam hal signifikansinya istimewa pada periode 1972/1973-1996/1997 adalah kerangka aturan main dan peraturan perundangannya yang mendukung. Dalam hal ini, adalah Undang-Undang Migas yang berlaku saat itu, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Pertamina (UU Pertamina 8/1971).

Dalam hal pengusahaan hulu migas, UU Pertamina 8/1971 mengaturnya secara sederhana namun sinkron, sejalan dan mampu memfasilitasi penerapan sistem Kontrak Bagi Hasil Produksi (Production Sharing Contract/PSC) yang digunakan secara efektif.

Tiga Keistimewaan
Dalam aspek pengusahaan, UU Pertamina 8/1971 mengatur setidaknya tiga keistimewaan yang merupakan esensi bagi berlakunya sistem PSC secara efektif di Indonesia. Ketiga hal tersebut adalah: (1) prinsip pemisahan pengelolaan keuangan pengusahaan hulu migas dengan keuangan negara, (2) penerapan asas lex specialis dan prinsip assume and discharge dalam perpajakan hulu migas, dan (3) prinsip penerapan birokrasi satu atap satu pintu dalam pengurusan perizinan dan administrasi kegiatan operasi hulu migas.

Prinsip pemisahan pengelolaan keuangan pengusahaan hulu migas dengan keuangan negara dalam UU Pertamina 8/1971 diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 8 yang menetapkan bahwa pengelolaan keuangan kontrak PSC dilakukan di dalam kerangka kerja sama usaha (bisnis) antara perusahaan negara – dalam hal ini Pertamina – dengan kontraktor. Pertamina, dalam hal ini, diwajibkan memiliki cadangan umum yang dipergunakan untuk menutupi kerugian yang mungkin terjadi dari pengusahaan kontrak PSC tersebut.

Dengan prinsip pemisahan tersebut, keputusan investasi maupun pelaksanaan kegiatan usaha menjadi lebih sederhana dan cepat. Pihak yang berkontrak juga tidak dibayangi kekhawatiran akan risiko dipersalahkan menyebabkan kerugian negara jika sekiranya pilihan keputusan investasi ataupun pelaksanaan kegiatan usaha di dalam kerangka kontrak PSC menemui kegagalan atau mendapatkan hasil yang tidak sesuai ekspektasi. Secara singkat, prinsip ini dapat dikatakan memberikan kepastian hukum yang jelas bahwa kontrak pengusahaan hulu migas adalah kontrak antar entitas usaha yang terpisah dari urusan keuangan atau kerugian negara.

Penerapan asas lex specialis dan prinsip assume and discharge dalam UU Pertamina 8/1971 terutama diatur dalam Pasal 14 dan Pasal 15. Pasal 14 terutama mengatur bahwa ketentuan perpajakan pengusahaan hulu migas PSC mengikuti ketentuan UU Pertamina 8/1971tersebut (lex specialis). Pasal 15 secara prinsip menetapkan bahwa bahwa perhitungan bagian negara dan kontraktor yang berasal dari kegiatan usaha hulu migas telah mencakup perhitungan komponen pajak (assume and discharge). Penerapan asas dan prinsip ini memberikan kepastian hukum dalam aspek fiskal pengusahaan PSC.

Penerapan birokrasi satu atap satu pintu di dalam pengurusan perizinan dan administrasi dalam UU Pertamina 8/1971 secara prinsip dijalankan melalui penyediaan seluruh wilayah migas dan pemberian kuasapertambangannya kepada Pertamina (Pasal 11, 12 dan 13). Dengan konstruksi di mana kewenangan atas wilayah dan Kuasa Pertambangan di tangan Pertamina dan posisi kontraktorPSC sebagai pihak yang membantu mengusahakan wilayah migas tersebut – sesuai filosofi dasarPSC -, maka Pertamina menjadi pihak yang kemudian menjadi pintu masuk dan sekaligus eksekutor bagi pengurusan perizinan dan administrasi kegiatan usaha dan operasi.

Kontraktor PSC dalam hal ini ibarat mendapat karpet merah karena semua perizinan dan administrasi akan diurus dan diselesaikan oleh Pertamina. Logis karena hal itu berkaitan dengan kepentingan Pertamina untuk mengusahakan migas di “wilayahnya” sendiri.

Ketiga keistimewaan itulah yang secara prinsip kemudian tidak ada lagi di dalam pengaturan pengusahaan hulu migas berdasarkan Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001 (UU Migas 22/2001). Pengelolaan keuangan kontrak PSC terkondisikan dan pada tingkatan tertentu diperlakukan sebagai bagian dari pengelolaan keuangan negara karena pihak yang mewakili negara dalam berkontrak adalah institusi atau badan pemerintah.

Isu dan persepsi yang cenderung negatif seputar kewajaran besaran pengembalian biaya operasi (cost recovery), pembahasan dan pengaitan cost recovery dengan APBN, dan tereksposenya para pihak yang berkontrak dalam PSC karena dianggap merugikan negara, yang muncul selama ini adalah beberapa contoh implikasi dan ekses negatif dari hal tersebut. Dalam hal ini, bukan saja proses pengambilan keputusan dalam pengusahaan PSC kemudian menjadi lebih birokratis dan memakan waktu, tetapi pada kondisi tertentu juga menyebabkan para pengambil kebijakan enggan menerapkan kebijakan progresif atau mengambil keputusan penting yang diperlukan.

Asas lex specialis dan prinsip assume and discharge dalam perpajakan hulu migas juga tak lagi dianut dalam pengaturan berdasar UU Migas 22/2001. Pasal 31 UU Migas 22/2001 mengatur bahwa dalam hal perpajakan kontrak PSC mengikuti ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku (lex generalis) dan atas kontraktor diwajibkan membayar komponen pajak-pajak sesuai dengan ketentuan perundangan perpajakan yang berlaku. Jadi, dalam hal ini terhadap kontraktor PSC tidak ditanggung dan dibebaskan (non assume and discharge) atas pajak dan pungutan yang semestinya bukan merupakan bagian dari fiskal PSC.

Persoalan ini bukan tidak disadari oleh para pengambil kebijakan dan upaya untuk menyelesaikannya juga telah dilakukan. Salah satunya adalah melalui mekanisme restitusi pajak dan penetapan tarif 0% atas jenis pajak atau pungutan tertentu. Hal itu pada dasarnya cukup positif dan secara prinsip telah berupaya mengembalikan prinsip assume and discharge, namun secara teknis mekanisme dan administrasinya tetap tidak sama sehingga tetap menimbulkan ketidakpastian dalam aspek fiskal bagi PSC.

Prinsip birokrasi satu atap satu pintu di dalam pengurusan perizinan dan administrasi tidak lagi ada dalam UU Migas 22/2001. Pihak yang berkontrak mewakili negara dalam PSC dalam hal ini bukanlah pihak yang memiliki wilayah migas sendiri.

Pun juga bukan merupakan pihak yang diberikan Kuasa Pertambangan atas wilayah migas yang ada. Ketentuan Pasal 12 ayat 3 UU Migas 22/2001 yang menyebutkan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap diberi wewenang untuk melakukan kegiatan usaha membawa konsekuensi logis bahwa kontraktor PSC adalah subjek langsung untuk melakukan pengurusan perizinan dan administrasi yang diperlukan.

Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 36/PUU-X/2012 lalu juga menyatakan pasal ini bertentangan dengan konstitusi. Jadi, selain aspek konstitusional, di dalam aspek kemudahan birokrasi dan perizinan, ketentuan Pasal 12 ayat 3 tersebut secara langsung dan tak langsung juga telah mengonstruksikan peniadaan prinsip birokrasi satu atap satu pintu yang sebelumnya ada dan sangat sejalan dengan filosofi PSC itu sendiri.

Revisi UU Migas

Jika ingin mencapai lagi kondisi yang istimewa bagi sektor hulu migas – mencapai target 1 juta barel minyak per hari misalnya – , maka secara konseptual, idealnya ketiga keistimewaan yang sebelumnya berlaku di dalam pengusahaan hulu migas tersebut perlu diterapkan kembali. Revisi UU Migas yang dikatakan saat ini kembali (lagi) bergulir di DPR, normatifnya adalah pintu masuk untuk itu.

Di dalam draft RUU yang berkembang hingga tulisan ini dibuat, setidaknya terdapat tiga aspek yang memiliki keterkaitan dengan ketiga keistimewaan di atas, yaitu (1) aspek penguasaan dan pengusahaan; (2) aspek kelembagaan hulu migas; dan (3) aspek penerimaan negara.

Di dalam aspek penguasaan dan pengusahaan, prinsip yang sejauh ini diatur di dalam draft RUU Migas yang ada adalah bahwa pemegang Kuasa Pertambangan adalah Pemerintah Pusat sementara pemegang Kuasa Usaha Pertambangan diberikan kepada Badan Usaha Khusus Migas (BUK Migas).

Dalam aspek kelembagaannya, BUK Migas disebutkan sebagai badan usaha yang dibentuk oleh UU dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. BUK Migas akan berfungsi mengelola dan mengendalikan kegiatan usaha hulu. BUK Migas dapat melakukan kegiatan usaha hulu baik secara mandiri atau melalui kerja sama.

Dalam kaitan dengan tiga keistimewaan di atas, pengaturan dalam draft RUU ini terlihat berupaya menempatkan pengusahaan hulu migas untuk kembali ke tingkatan badan usaha. Namun, konstruksi pengaturan yang ada tetap tidak dapat mengembalikan birokrasi perizinan dan administrasi menjadi satu atap satu pintu karena pemegang Kuasa Pertambangan dan Kuasa Usaha Pertambangan dalam hal ini adalah dua entitas yang berbeda.

Adapun dalam hal prinsip pengelolaan keuangan usaha dengan keuangan negara yang terpisah, pengaturan yang ada juga tidak menyebutkannya secara jelas. Satu hal yang terlihat jelas dan cukup positif dari pengaturan yang ada adalah bahwa hal tersebut adalah untuk memenuhi amanat Putusan MK No 36/PUU-X/2012 di dalam aspek konstitutional.

Dalam aspek penerimaan negara, pengaturan dalam draft RUU yang ada secara prinsip masih mengatur hal yang sama dengan UU Migas 22/2001, di mana penerimaan negara dari pengusahaan migas terdiri dari penerimaan bukan pajak dan penerimaan pajak dan atau iuran pungutan lain. Dalam hal perpajakan, pengaturan yang ada juga masih menyebutkan akan mengikuti ketentuan perundangan perpajakan yang berlaku. Dari pengaturan tersebut, secara tidak langsung dapat kita ketahui bahwa di dalam perpajakan hulu migas, prinsip yang diterapkan dalam UU Migas mendatang kemungkinan memang bukan lex specialis dan bukan assume and discharge.

Secara umum, dapat dikatakan bahwa di dalam draft RUU Migas yang sejauh ini berkembang, pengaturan yang ada cukup positif di dalam memenuhi aspek konstitutionalitas, namun tidak akan dapat mengembalikan ketiga keistimewaan mendasar yang diperlukan untuk berjalannya kontrak PSC secara efektif.

Sama halnya dengan UU Migas 22/2001, draft yang ada pada dasarnya hanya menyebut tentang kontrak pengusahaan migas, tetapi tidak secara integral memuat ketentuan-ketentuan yang dapat memfasilitasi operasionalitas dari kontrak tersebut. Situasi dan kondisi memang telah banyak berubah.

Berharap ketiga keistimewaan yang ada di dalam UU Pertamina 8/1971 untuk diterapkan kembali secara utuh di dalam pengusahaan hulu migas saat ini tentu sudah tidak proporsional. Namun, dengan pemahaman atas konsepsi dan konsekuensi yang ada, prinsip dan fundamentalnya yang perlu kita adopsi mestinya tetap kita gunakan sebagai pijakan dalam melakukan revisi UU Migas yang ada, untuk menghasilkan UU Migas baru yang lebih baik.

Ini Dia Sisi Positif dan Negatif B35 untuk Indonesia

WartaEkonomi, 01 Maret 2023

Warta Ekonomi, Jakarta –
Upaya pemerintah untuk melakukan pencampuran antara bahan bakar fosil dan bahan bakar nabati melalui program B35 dinilai mengandung sisi positif maupun negatif dari sisi biaya maupun manfaatnya.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan bahwa pemerintah menyampaikan, implementasi kebijakan B35 diproyeksikan akan memberikan manfaat terhadap indikator ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Di mana implementasi B35 disebut bakal mengurangi impor solar, sehingga dapat menghemat devisa impor sekitar US$10,75 miliar atau setara Rp161 triliun.

Kebijakan tersebut juga diproyeksikan dapat menyerap tenaga kerja sekitar 1,6 juta orang. Terkait aspek lingkungan, implementasi B35 akan mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 34,9 juta ton CO2e.

Selain berpotensi memberikan sejumlah manfaat, implementasi kebijakan B35 juga berpotensi menimbulkan tambahan biaya dalam aspek fiskal, moneter, dan bagi badan usaha niaga BBM yang akan diberikan penugasan.

“Hal tersebut salah satunya karena rata-rata harga bahan baku Biodiesel (CPO) lebih mahal dibandingkan rata-rata harga minyak mentah. Rata-rata harga CPO selama 2021-2022 sekitar 1,86 kali lebih mahal dibandingkan harga minyak mentah jenis Brent,” ujar Komaidi kepada Warta Ekonomi, Rabu (1/3/2023).

Komaidi mengatakan, jika komponen biaya-biaya yang lain diasumsikan sama, maka harga Biosolar akan lebih mahal sekitar 1,86 kali dibandingkan harga Solar yang diproduksi dari minyak mentah.

“Akibatnya, kebutuhan anggaran untuk subsidi Biosolar juga lebih besar dibandingkan anggaran untuk subsidi Solar,” ujarnya.

Sementara itu, dari aspek moneter, terkait dengan penghematan devisa impor dari implementasi B35 pada dasarnya bergantung pada sejumlah asumsi.

Di mana, penghematan devisa secara riil akan diperoleh jika realisasi rata-rata harga CPO dalam satuan yang sama lebih murah dibandingkan rata-rata harga minyak mentah, atau CPO yang dialokasikan untuk produksi Biodiesel merupakan hasil produksi yang tidak terserap atau tidak laku untuk ekspor

“Jika kedua asumsi tersebut tidak terpenuhi, penghematan devisa dari implementasi kebijakan B35 pada dasarnya tidak akan diperoleh,” ucapnya.

Lanjutnya, jika mengacu pada rata-rata harga CPO dan minyak mentah jenis Brent periode 2021-2022, devisa yang diperoleh dari ekspor CPO sebesar 1 barel pada dasarnya dapat untuk mengimpor minyak mentah jenis Brent sekitar 1,86 barel.

Dengan kata lain, jika hanya memperhitungkan aspek penghematan devisa saja justru penghematan akan diperoleh ketika CPO yang dialokasikan untuk bahan baku Biodiesel diekspor.

Menurutnya, dengan volume kebutuhan Biodiesel 2023 yang diproyeksikan 82,69 juta barel dan mengacu pada rata-rata harga CPO tersebut, devisa yang dapat diperoleh jika CPO yang diekspor sekitar US$ 13,84 miliar.

“Sementara, bila Biosolar diganti dengan Solar hanya akan memerlukan sekitar US$7,44 miliar untuk mengimpor minyak mentah. Artinya, penghematan devisa yang berpotensi dapat diperoleh dengan pola tersebut sekitar US$6,40 miliar,” ungkapnya.

Biaya dan Manfaat Implementasi Kebijakan B35

Katadata.co.id; 01 Maret 2023

Penulis: Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute dan Pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti

Dalam Rapat Kabinet 6 Desember 2022, pemerintah memutuskan pencampuran Bahan Bakar Nabati jenis Biodiesel ke dalam Bahan Bakar Minyak jenis Solar ditingkatkan menjadi 35 % atau B35. Pada tahun 2023 kebutuhan volume Biodiesel diproyeksikan mencapai 13,15 juta KL atau sekitar 82,69 juta barel. Keputusan tersebut lebih progresif dibandingkan pentahapan implementasi kebijakan Bahan Bakar Nabati yang diamanatkan oleh regulasi yang ada.

Pentahapan kewajiban minimal pemanfaatan Biodiesel sebagai campuran Bahan Bakar Minyak diatur melalui Permen ESDM No.32/2008 yang telah dilakukan perubahan ketiga dengan Permen ESDM No.12/2015. Berdasarkan regulasi tersebut, pentahapan kewajiban minimal pemanfaatan Biodiesel (B100) sebagai campuran Bahan Bakar Minyak pada Januari 2020 – Januari 2025 ditetapkan sebesar 30 %. Karena itu, dapat dikatakan bahwa implementasi B35 yang diberlakukan efektif per Februari 2023 telah melampaui pentahapan kewajiban minimal yang ditetapkan oleh regulasi yang ada.

Pentahapan kewajiban tersebut diberlakukan untuk sejumlah sektor yaitu Usaha Mikro, Usaha Perikanan, Usaha Pertanian, Usaha Transportasi, dan Pelayanan Umum (PSO), Transportasi Non PSO, Industri dan Komersial, dan Pembangkit Listrik. Masing-masing sektor diberikan pentahapan baik dalam mencapai porsi minimal Biodiesel yang harus dicampurkan dalam BBM yang digunakan dan kapan harus dicapai.

Biaya dan Manfaat B35

Pemerintah menyampaikan, implementasi kebijakan B35 diproyeksikan akan memberikan manfaat terhadap indikator ekonomi, sosial, dan lingkungan. Implementasi B35 disebut akan mengurangi impor solar yang diproyeksikan dapat menghemat devisa impor sekitar 10,75 miliar USD atau setara Rp 161 triliun. Kebijakan tersebut juga diproyeksikan dapat menyerap tenaga kerja sekitar 1,6 juta orang. Terkait aspek lingkungan, implementasi B35 disampaikan akan mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 34,9 juta ton CO2e.

Selain berpotensi memberikan sejumlah manfaat, implementasi kebijakan B35 juga berpotensi menimbulkan tambahan biaya baik dalam aspek fiskal, moneter, dan bagi badan usaha niaga BBM yang akan diberikan penugasan. Hal tersebut salah satunya karena rata-rata harga bahan baku Biodiesel (CPO) tercatat lebih mahal dibandingkan rata-rata harga minyak mentah.

Berdasarkan data, rata-rata harga CPO selama tahun 2021-2022 sekitar 1,86 kali lebih mahal dibandingkan harga minyak mentah jenis BRENT. Karena itu, jika komponen biaya-biaya yang lain diasumsikan sama, maka harga Biosolar akan lebih mahal sekitar 1,86 kali dibandingkan harga Solar yang diproduksikan dari minyak mentah. Akibatnya, kebutuhan anggaran untuk subsidi Biosolar juga lebih besar dibandingkan anggaran untuk subsidi Solar.

Dari aspek moneter, terutama terkait dengan penghematan devisa impor dari implementasi B35 pada dasarnya masih akan tergantung pada sejumlah asumsi. Penghematan devisa secara riil akan dapat diperoleh jika (1) realisasi rata-rata harga CPO dalam satuan yang sama lebih murah dibandingkan rata-rata harga minyak mentah, dan/atau (2) CPO yang dialokasikan untuk produksi Biodiesel merupakan hasil produksi yang tidak terserap atau tidak laku untuk ekspor. Akan tetapi, jika kedua asumsi tersebut tidak terpenuhi penghematan devisa dari implementasi kebijakan B35 pada dasarnya tidak akan diperoleh.

Jika mengacu pada rata-rata harga CPO dan minyak mentah jenis BRENT periode 2021-2022 tersebut, devisa yang diperoleh dari ekspor CPO sebesar 1 barel pada dasarnya dapat untuk mengimpor minyak mentah jenis BRENT sekitar 1,86 barel. Artinya, jika hanya memperhitungkan aspek penghematan devisa saja justru penghematan akan diperoleh ketika CPO yang dialokasikan untuk bahan baku Biodiesel diekspor.

Dengan volume kebutuhan Biodiesel 2023 yang diproyeksikan sekitar 82,69 juta barel dan mengacu pada rata-rata harga CPO tersebut, maka devisa yang dapat diperoleh jika CPO tersebut diekspor adalah sekitar 13,84 miliar USD. Sementara, jika Biosolar tersebut diganti dengan Solar hanya akan memerlukan sekitar 7,44 milyar USD untuk mengimpor minyak mentah. Artinya, penghematan devisa yang berpotensi dapat diperoleh dengan pola tersebut adalah sekitar 6,40 miliar USD.

Selain terhadap aspek fiskal dan moneter, implementasi kebijakan B35 juga berpotensi memberikan tambahan biaya bagi badan usaha niaga BBM. Berdasarkan informasi yang ada, diperlukan tambahan biaya sekitar Rp 110 per liter untuk melaksanakan implementasi kebijakan B35. Karena itu, jika mengacu pada ketentuan Kepmen ESDM 205.K/EK.05/DJE/2022 tentang Penetapan Badan Usaha BBM dan Badan Usaha BBN Jenis Biodiesel Serta Alokasi Volume BBN Jenis Biodiesel Untuk Pencampuran BBM Jenis Minyak Solar Periode Januari-Desember 2023, Pertamina Patra Niaga yang mendapatkan volume alokasi Biodiesel sekitar 10 juta KL paling tidak akan memerlukan tambahan biaya sekitar Rp 1,11 triliun untuk dapat melaksanakan implementasi kebijakan B35 di tahun 2023.

Jika mengacu pada data dan informasi yang ada tersebut, implementasi kebijakan B35 memang berpotensi memberikan sejumlah manfaat. Akan tetapi, kiranya perlu dilihat lebih utuh dan proporsional di dalam menilai manfaat yang akan diperoleh. Salah satu manfaat dari implementasi kebijakan B35 adalah kebijakan tersebut dapat menjadi salah satu instrumen untuk mencapai target EBT dalam bauran energi nasional. Meskipun terdapat sejumlah pihak yang menilai bahwa Biodiesel tersebut tidak dikategorikan sebagai EBT karena dihasilkan dari proses pertanian sawit yang tidak berkelanjutan.

Manfaat lain dari implementasi kebijakan B35 adalah berpotensi menciptakan nilai tambah ekonomi dalam proses penyediaannya, termasuk penyerapan tenaga kerja yang telah disampaikan tersebut. Keberlanjutan dan dalam tingkatan tertentu kemandirian penyediaan bahan bakar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri juga merupakan manfaat yang akan diperoleh dari implementasi kebijakan B35. Ketergantungan terhadap impor minyak mentah dan/atau BBM jenis Solar paling tidak dapat berkurang sebesar volume Biodiesel yang dapat diproduksikan di dalam negeri.

Selain manfaat yang berpotensi akan diperoleh, para pihak terutama para pengambil kebijakan juga perlu memperhitungkan adanya potensi tambahan biaya yang akan timbul dari implementasi kebijakan B35. Diantaranya adalah potensi bertambahnya subsidi BBM di APBN, berkurangnya secara relatif penerimaan devisa ekspor CPO, dan tambahan biaya bagi badan usaha niaga BBM.