Analisis Strategis Penting untuk Perbaiki Kilang-kilang di Indonesia

Kompas.id; 24 April 2023

Sejumlah langkah penting dilakukan untuk mencegah kecelakaan di kilang terulang sekaligus untuk mendongkrak produksi migas. PT Pertamina (Persero) dinilai tidak bisa melaksanakannya sendiri.

JAKARTA, KOMPAS — Analisis strategis, peremajaan, hingga pembangunan kilang-kilang minyak baru dinilai penting dilakukan di Indonesia untuk mencegah kecelakaan terulang. Kehadiran investor juga dibutuhkan untuk membangun kilang baru. Sementara itu, PT Pertamina (Persero) menargetkan semua kilang pada kondisi terbaik pada 2026.

Sebelumnya, dua kecelakaan pada fasilitas Pertamina terjadi dalam rentang sebulan. Pada Jumat (3/3/2023) malam, kebakaran terjadi di Integrated Terminal Bahan Bakar Minyak (BBM) Plumpang, Jakarta. Sementara pada Sabtu (1/4) malam, ledakan terjadi pada kompresor gas di PT Kilang Pertamina Internasional Refinery Unit (RU) II Dumai, Riau.

Pengamat migas yang juga dosen Teknik Perminyakan Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta, Topan Herianto, saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (23/4/2023) berpendapat, ada dua hal yang dapat dilihat dari dua kecelakaan itu, yakni sistem keamanan (safety) dan fasilitas yang sudah berumur.

Menurut dia, analisis strategis dan menyeluruh serta investigasi penting untuk antisipasi kejadian serupa di kemudian hari. ”Apabila nanti masih terjadi kebakaran kilang. Lalu, misalnya, baru pulih dalam dua minggu, pasokan (bahan bakar minyak) dalam negeri akan berkurang,” kata Topan.

Ia menambahkan, jika kebakaran besar terjadi di kilang atau tangki-tangki timbun minyak, ketahanan energi nasional akan terganggu. Oleh karena itu, perbaikan sistem keamanan krusial, selain modernisasi fasilitas seperti tangki bawah tanah sebagaimana sudah diterapkan oleh negara-negara maju.

Menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Komaidi Notonegoro, seiring dengan kian berumurnya fasilitas-fasilitas Pertamina, revitalisasi fasilitas sangat penting. Sayangnya, proyek seperti kilang minyak baru (grass root refinery/GRR) dan peningkatan kapasitas kilang (refinery development master plan/RDMP), belum sesuai harapan.

Sebagai BUMN yang mengurusi banyak hal di bidang migas, termasuk kewajiban pelayanan publik (PSO), Pertamina tidak bisa melaksanakannya sendiri. Namun, Komaidi menilai perlunya keterlibatan investor untuk pendanaan.

Di sisi lain, investor-investor yang masuk membutuhkan kepastian regulasi dan insentif. ”Sering kali insentifnya tidak ketemu (disepakati) Kementerian Keuangan. Jadi ini, bukan persoalan satu pihak, tetapi multipihak,” ujarnya.

Menurut data Pertamina, kilang-kilang di Indonesia saat ini ada di Quartile 2 (Q2) dengan operational availability (OA) 96 persen. Lewat peta jalan berupa program overhaul, turn around, dan peremajaan, OA pada 2026 ditargertkan jadi 96,72 persen atau ada di Q1 atau quartile tertinggi.

”Berdasarkan peta jalan, perkiraan kebutuhan biaya untuk meningkatkan kehandalan kilang hingga 2026 hampir 2 miliar dollar AS,” kata Direktur Utama PT Kilang Pertamina Internasional Taufik Adityawarman dalam rapat (RDP) dengan Komisi VII DPR, Selasa (4/4/2023).

Sebelumnya, peningkatan keandalan hingga pembangunan kilang-kiang baru memang telah masuk dalam rencana pemerintahan Presiden Joko Widodo. Namun, pelaksanaan proyek kerap molor. Proyek GRR Tuban, Jawa Timur, misalnya, terkendala pembebasan lahan dan proses akuisisi.

Proyek kilang minyak dan petrokimia yang terintegrasi di Tuban itu sempat jadi perhatian Presiden Jokowi. Pada Desember 2019, Presiden meminta proyek diselesaikan dalam tiga tahun atau ditargetkan pada 2023. Proyek itu ditunggu lantaran bisa menghasilkan produk-produk BBM dan petrokimia yang diperlukan industri. (Kompas, 22/12/2019).

Dalam RDP dengan Komisi VII DPR pada Selasa (7/2/2023) Taufik mengatakan, proyek GRR Tuban dalam persiapan Final Investment Decision (FID). ”Paralel dengan persiapan untuk EPC (engineering procurement construction). GRR Tuban untuk meningkatkan crude processing capacity jadi 300.000 barel per hari,” ujarnya.

Transisi Energi, Defisit, dan Impor Migas

Katadata.co.id; 15 April 2023
Penulis:
Pri Agung Rakhmanto
Pengajar di FTKE Universitas Trisakti
Founder dan Advisor ReforMiner Institute

Transisi energi terus bergulir dan saat ini telah menjadi tema utama pengelolaan energi nasional. Berbagai proyeksi energi nasional ke depan di dalamnya selalu memasukkan elemen dan skenario transisi energi. Dalam berbagai kesempatan, selalu disampaikan peran sumber energi baru dan energi terbarukan (EBET) dalam bauran energi nasional diproyeksikan dan ditargetkan akan terus meningkat ke depannya.

Pada 2025 porsi EBET ditargetkan sebesar 23%, meningkat menjadi setidaknya 31% pada 2030, hingga kemudian pada 2060 Indonesia ditargetkan akan dapat mencapai net zero emission.

Di ranah publik, transisi energi saat ini memang cenderung lebih diidentikkan dengan bergesernya pendayagunaan energi dari berbasis fosil ke non-fosil, dan khususnya ke peningkatan peran dan porsi EBET dalam bauran dan pengelolaan energi nasional. Hal itu tentu tidak keliru, tetapi pada dasarnya tidak cukup proporsional di dalam memotret keseluruhan kondisi yang ada dan aspek yang terkait dengannya.

Porsi EBET dalam bauran energi nasional yang tercatat memang mengalami peningkatan cukup signifikan, dari sekitar 6,3% pada 2016 menjadi sekitar 13% pada 2022. Namun, porsi energi fosil sejauh ini juga terbukti masih signifikan, jika tidak bisa dikatakan sebagai tetap sangat signifikan.

Porsi batubara, misalnya, merujuk pada data dan laporan Dewan Energi Nasional (DEN)- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2022, pada 2021 tercatat masih mencapai 37,6% dalam bauran energi primer. Porsi minyak dan gas (migas), lebih besar lagi, yaitu mencapai kisaran 51% dari bauran energi primer nasional pada 2021 lalu.

Defisit Migas

Terkait migas, implementasinya tampak perlu melihat lebih utuh pada hal-hal yang bekaitan dengan aspek ekonomi energinya. Dalam beberapa dokumen tertulis, berbagai skenario transisi energi yang ada, konsumsi migas Indonesia ke depan masih akan terus meningkat. sementara produksi migas terutama minyak bumi akan menurun.

Ini membawa konsekuensi dan implikasi bahwa transisi energi di dalam implementasinya akan terus berhadapan dengan persoalan defisit neraca migas dan kebutuhan devisa impor migas yang akan terus meningkat. Dokumen-dokumen tersebut adalah Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), Outlook Energi Indonesia Tahun 2021 dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknolog (BPPT), dan An Energy Sector Roadmap to Net Zero Emissions in Indonesia yang diterbitkan oleh Badan Energi Internasional (IEA) dengan bekerja sama Kementerian ESDM.

Simulasi perhitungan ReforMiner (2022) pada Skenario RUEN memroyeksikan, Indonesia berpotensi mengalami defisit neraca minyak pada 2030 hingga 679,56 juta barel, sementara dalam skenario business as usual (BAU) BPPT defisit neraca minyak pada 2030 diproyeksi mencapai 475,6 juta barel.

Dalam skenario BPPT yang lain, yaitu skenario percepatan pengembangan kendaraan listrik (EV) dan energi terbarukan (NRE) potensi defisit minyak pada 2030 masing-masing diperkirakan mencapai 437,56 juta barel dan 435,6 juta barel.

Untuk gas, skenario RUEN memproyeksikan Indonesia berpotensi mengalami defisit neraca gas pada 2030 hingga sebesar 2 juta billion British Thermal Unit (BBTU). Sementara dalam skenario BPPT defisit neraca gas pada 2030 diproyeksi mencapai 1,1 juta BBTU (BAU), 1,3 juta BBTU (EV) dan 1,3 juta BBTU (NRE).

Devisa Impor Migas

Dengan potensi defisit migas yang diproyeksikan akan terus meningkat, kebutuhan devisa impor migas yang menyertainya dengan sendirinya juga akan semakin bertambah. Simulasi perhitungan ReforMiner (2022) menemukan kebutuhan devisa impor migas, baik berdasarkan skenario RUEN maupun tiga skenario roadmap energi BPPT, semuanya mengkonfirmasi hal itu. Pada 2022, kebutuhan devisa impor migas tercatat mencapai US$ 24,4, meningkat dari 2021 yang masih berada di kisaran US$ 13,3 miliar. Dengan nilau tukar rupiah yang berlaku pada saat itu, nilai keduanya kurang lebih adalah Rp. 380,4 triliun dan Rp. 189,4 triliun. Rata-rata kebutuhan devisa impor migas selama periode 2015 sampai dengan 2021 berada di kisaran Rp 290 triliun per tahun.

Sebagai ilustrasi perbandingan, posisi cadangan devisa nasional di sepanjang 2022 rata-rata berada di kisaran US$ 130 miliar sampai US$ 140 miliar. Jika menggunakan asumsi nilai tukar Rp 15.500 per dolar AS, maka angkanya kurang lebih setara dengan Rp 2.015 triliun hingga Rp 2.170 triliun.

Artinya, pada tahun yang sama, porsi kebutuhan devisa impor migas rata-rata kurang lebih mencapai 15% sampai 20% dari cadangan devisa yang ada. Pada 2030, jika mengacu pada skenario RUEN, kebutuhan devisa impor migas diproyeksi akan mencapai Rp 1.391 triliun.

Sementara jika menggunakan skenario roadmap energi BPPT kebutuhan devisa impor migas pada masing-masing skenario adalah Rp 525 triliun (BAU), Rp 495 triliun (EV) dan Rp 491 triliun (NRE). Besaran angka-angka itu signifikan baik secara nominal maupun dalam konteks keterkaitannya dengan ketersediaan cadangan devisa nasional.

Transisi Memerlukan Migas

Gambaran tentang kondisi bauran energi saat ini dan proyeksi ke depannya dengan berbagai skenario transisi energi yang ada dan keterkaitan implikasinya dengan defisit dan kebutuhan devisa impor migas di atas memberi sinyal bahwa implementasi transisi energi migas tetap tidak dapat dikesampingkan.

Semakin kita mengabaikan dan menganggap migas tidak lagi perlu diperhatikan, potensi dampak negatif yang akan berbalik melemahkan ketahanan ekonomi energi nasional akan semakin besar. Defisit pasokan-kebutuhan migas yang terus meningkat akan memperbesar impor migas dari waktu ke waktu, dan dengan sendirinya akan terus menerus menggerogoti dan menggerus ketersediaan cadangan devisa nasional.

Kondisi ini tidak hanya tidak sehat bagi keamanan pasokan energi nasional tetapi juga bagi ketahanan ekonomi nasional. Pilihan untuk bertindak business as usual dan terlebih memperlakukan migas sebagai komoditas yang tidak lagi penting dan strategis dengan mengatasnamakan transisi energi pada dasarnya tidak hanya tidak proporsional dalam memandang dan merespons transisi energi tetapi juga berpotensi menggagalkan pencapaian tujuan dan esensi transisi energi itu sendiri.

Tanpa keamanan pasokan energi yang cukup dan tanpa ketahanan ekonomi yang tangguh transisi energi tak akan dapat berjalan dengan baik. Transisi energi untuk bergerak ke arah pengarusutamaan pendayagunaan sumber EBET memerlukan sinergi dengan sumber energi yang lain termasuk dengan sumber energi fosil itu sendiri.

Dalam konteks Indonesia, secara lebih khusus, merujuk pada kondisi dan proyeksi di atas, transisi energi secara strategis dan implementatif memerlukan migas, baik sebagai sumber energi maupun sebagai komoditas yang memiliki nilai ekonomi.

Pengembangan Migas Tetap Diperlukan

Kompas, 11 April 2023

Peningkatan produksi migas amat diperlukan. Salah satu yang mendesak ialah penuntasan revisi UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas yang terkatung-katung selama belasan tahun.

JAKARTA, KOMPAS — Minyak dan gas bumi masih memegang peranan penting dalam transisi energi, terutama terkait dengan keamanan energi dan juga aspek ekonomi. Pengembangan migas pun masih amat dibutuhkan, termasuk dengan menyelesaikan revisi Undang-Undang Migas yang belasan tahun terkatung-katung.

Dosen Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, dalam diskusi terkait revisi Undang-Undang Migas jelang Pameran dan Konvensi IPA Convex 2023, di Jakarta, Senin (10/4/2023), mengatakan, migas masuk dalam skenario transisi energi.

Hingga 2050, porsi migas masih berkisar 30-40 persen. ”Bukan masalah suka atau tidak suka, tetapi migas sendiri bagian dari transisi energi. Ini mesti disinkronkan sehingga kita tak latah menyikapi transisi energi ini sebatas meninggalkan (energi) fosil ke nonfosil,” kata Pri Agung.

Ia menambahkan, energi fosil, termasuk migas, dan energi terbarukan berjalan bersama dalam transisi energi. Artinya, tak sekadar menggantikan, tetapi juga melengkapi. Dalam transisi energi, energy security (keamanan energi) tetap nomor satu karena tidak mungkin meninggalkan energi fosil, tetapi kebutuhan tak terpenuhi.

”Hal lain yang tidak bisa ditinggalkan dari transisi energi ialah dimensi ekonomi, dalam konteks Indonesia. Dengan potensi defisit migas yang diproyeksikan akan terus meningkat, kebutuhan devisa impor migas yang menyertainya dengan sendirinya juga akan semakin bertambah,” kata pendiri Reforminer Institute itu.

Oleh karena itu, peningkatan produksi migas amat diperlukan. Salah satu yang mendesak ialah revisi UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas. Perbaikan regulasi penting karena menyangkut tiga aspek yang saling terkait, yaitu kepastian hukum, kepastian fiskal dan keekonomian, serta kemudahan birokrasi/perizinan.

”Yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya sunset industri migas yakni menjalankan lapangan migas yang sudah terbukti dan menemukan lapangan besar migas (baru). Agar berjalan, tidak bisa dengan cara-cara biasa dan RUU Migas diharapkan bisa mengakomodasi permasalahan yang ada saat ini,” kata Pri Agung.

Direktur Eksekutif Indonesia Petroleum Association (IPA) Marjolijn Wajong menuturkan, terkait mendesaknya revisi UU Migas, pihaknya mengusulkan beberapa hal. Terkait kepastian hukum, misalnya, persyaratan dan ketentuan kontrak kerja sama (KKS), termasuk kontrak-kontrak pelaksananya, agar diakui dan dihormati hingga akhir kontrak.

Mengenai perbaikan fiskal, IPA berharap pengembalian prinsip assume and discharge, yaitu kontraktor hanya diwajibkan membayar pajak-pajak langsung, sedangkan pajak-pajak tidak langsung ditanggung pemerintah. Lalu, tax holiday dan insentif fiskal untuk kegiatan penangkapan, penyimpanan, dan utilisasi karbon (CCS/CCUS).

Tak kalah penting, imbuh Marjolijn, ialah memastikan kegiatan-kegiatan penurunan emisi gas rumah kaca, termasuk kegiatan CCS/CCUS yang menjadi bagian dari hulu migas. ”Sehingga biaya-biaya terkait menjadi bagian dari biaya operasi karena sudah menjadi license to invest,” ujar Marjolijn.

Salah satu hal krusial dalam revisi UU Migas ialah perlunya institusi pengelola migas. ”Bukan hak IPA untuk mengatakan institusi yang diperlukan itu di bawah siapa. Yang pasti, kita butuh institusi yang kuat agar mengupayakan perizinan tepat waktu. Apa pun, kenyataannya, industri migas (produksi) saat ini decline (merosot) dan kita harus impor (dalam pemenuhan kebutuhan dalam negeri),” lanjutnya.

Anggota Tim Energi Bimasena, Suyitno Patmosukismo, berpendapat, RUU Migas harus dapat mencakup proyeksi ke depan, setidaknya hingga 2045. Selain itu, dalam mukadimah perlu disebut terkait peran migas dalam ”Transisi Energi Nasional”. Adapun RUU Migas tidak masuk dalam 39 RUU Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2023. Pada bidang ESDM, yang masuk dalam prioritas 2023 hanya RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET), yang saat ini tengah dibahas oleh DPR dan pemerintah.

Penawaran WK migas

Sementara itu, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berupaya menarik investasi demi mengoptimalkan potensi sumber migas yang ada di Indonesia. Pada Senin (10/4/2023), diumumkan penawaran wilayah kerja (WK) migas tahap I-2023, yakni untuk WK Akia, WK Beluga, dan WK Bengara I.

WK Akia, yang terletak di lepas pantai Kalimantan Utara, diperkirakan memiliki 2 miliar barel minyak dan 9 triliun kaki kubik gas. Sementara WK Beluga, di lepas pantai Natuna Barat, diperkirakan memiliki potensi 360 juta barel minyak dan 50 miliar kaki kubik gas. Adapun WK Bengara I, di daratan Kalimantan Utara, memiliki potensi 90 juta barel ekuivalen minyak dan gas.

Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Tutuka Ariadji menuturkan, ketiga WK yang ditawarkan itu masing-masing berdekatan dengan sejumlah WK dengan potensi hidrokarbon yang sudah terbukti. Pemerintah pun menawarkan sejumlah ketentuan pokok yang menarik bagi calon investor, seperti perbaikan sharing split, fasilitas pajak, dan insentif.

”Kontraktor juga akan mendapatkan fasilitas perpajakan sesuai peraturan berlaku. Apabila terapat kendala keekonomian, kontraktor dapat mengajukan insentif yg diperlukan untuk pengembangan lapangan (migas),” kata Tutuka dalam penawaran ketiga WK migas tahap I-2023 secara daring, Senin.

Menurut data Ditjen Migas Kementerian ESDM, pada 2022, sebanyak 13 WK ditawarkan dengan total investasi migas mencapai 13,9 miliar dollar AS. Sementara pada 2023, ditargetkan ada 10 WK yang ditawarkan dengan investasi migas diharapkan mencapai 17,4 miliar dollar AS.

Catatan Keekonomian & Regulasi Pengusahaan Listrik Panas Bumi

CNBC Indonesia; 10 April 2023
Penulis:
Pri Agung Rakhmanto,
Pengajar di FTKE Universitas Trisakti,
Founder and Advisor ReforMiner Institute

Berdasarkan data dari Handbook Energy & Economic Statistics of Indonesia (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2022), total potensi energi panas bumi Indonesia saat ini mencapai 23.766 MW yang terdiri dari sumber daya sebesar 9.344 MW dan cadangan 14.422 MW. Dilihat dari sebaran potensinya, sekitar 9.517 MW sumber daya dan cadangan berada di Pulau Sumatra dan 8.050 MW sumber daya dan cadangan berada di Pulau Jawa.

Saat ini Indonesia telah memiliki kapasitas terpasang pembangkit listrik panas bumi sebesar 2.286,10 MW, atau berarti sekitar 9,6% dari total potensi yang ada, yang tersebar di sejumlah wilayah, yaitu di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Utara, Lampung, dan Nusa Tenggara Timur.

Permasalahan Utama
Secara umum, pengembangan dan pemanfaatan panas bumi di Indonesia dihadapkan pada sejumlah permasalahan. Beberapa diantaranya adalah:

(1). Sulit terjadi kesepakatan harga jual-beli antara pengembang listrik panas bumi dengan pembeli listrik panas bumi,

(2). Kebijakan energi dan khususnya kelistrikan nasional yang ada saat ini masih mengkondisikan harga listrik dari pembangkit EBET harus bersaing dengan pembangkit listrik fosil,

(3). Jumlah lembaga keuangan yang bersedia memberikan pendanaan pada fase eksplorasi masih terbatas,

(4). Permasalahan perizinan karena wilayah kerja panas bumi seringkali berada di wilayah hutan konservasi,

(5). Faktor risiko menyangkut ketidakpastian potensi cadangan dan kualitas uap yang ada, dan

(6). Permasalahan perizinan berlapis yang harus dipenuhi setelah Izin Usaha Pertambangan (IUP) pengusahaan panas bumi terbit.

Dari sejumlah permasalahan yang ada tersebut, sulitnya tercapainya kesepakatan atau titik temu dalam jual-beli uap dan/atau listrik panas bumi antara pengembang dan pembeli listrik dapat dikatakan merupakan permasalahan yang paling utama. Dalam hal ini, agar pengusahaan dan pengembangan listrik panas bumi dapat berjalan, di satu sisi pengembang mengharapkan harga jual uap dan/atau listrik panas bumi sesuai dengan tingkat keekonomian proyek.

Sementara di sisi lain, sebagai pembeli listrik, dalam hal ini terutama adalah PLN, selalu dihadapkan pada keharusan untuk mengupayakan dan menjaga Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik seefisien mungkin untuk tetap berada pada batasan dan tidak melampaui alokasi anggaran subsidi listrik yang ditetapkan dalam APBN.

Dengan objektif melakukan efisiensi BPP, secara logis PLN cenderung akan selalu lebih memilih sumber pasokan listrik yang lebih murah, yang dalam hal ini terutama adalah listrik yang dihasilkan dari pembangkit berbasis fosil seperti batubara dan gas atau dari pembangkit EBET lain yang dapat lebih murah seperti PLTA.

Mekanisme pasar alamiah – business to business – yang sehat dan efektif, dalam situasi ini sulit terjadi karena pembeli listrik, dalam hal ini khususnya PLN, selalu berada dalam posisi secara keekonomian tidak dapat memenuhi permintaan pengembang panas bumi tersebut.

Biaya Pengadaan dan Operasi
Dalam aspek keekonomian, biaya pengadaan listrik dari panas bumi di Indonesia secara rata-rata relatif masih tinggi dan belum kompetitif jika dibandingkan dengan rata-rata biaya pengadaan listrik nasional. Data Ditjen EBTKE Kementerian ESDM (2021) menyebutkan bahwa rata-rata harga listrik panas bumi di kontrak baru di atas 10 sen dolar AS per kilo Watt hour (kWh), bahkan sampai 12 sen – 13 sen dolar AS per kWh.

Sementara rata-rata harga listrik EBET non-panas bumi saat ini diinformasikan telah berada di bawah 10 sen dolar AS per kWh. Sebagai contoh, rata-rata harga listrik dari tenaga air (PLTA) berada pada kisaran 6-7 sen dolar AS per kWh dan rata-rata harga listrik dari biomassa berkisar antara 7-8 sen dolar AS per kWh.

Relatif tingginya harga listrik panas bumi salah satunya adalah karena masih tingginya risiko pada tahap eksplorasi, yang menyumbang faktor risiko hingga 50% lebih. Risiko tersebut dimasukkan ke dalam komponen biaya pengadaan listrik panas bumi, sehingga menyebabkan tarif atau harga listrik panas bumi menjadi relatif tinggi.

Dalam hal pengoperasian, biaya operasi pembangkit listrik panas bumi (PLTP) sebenarnya tercatat sebagai salah satu yang terendah. Berdasarkan data Statistik PLN 2021, rata-rata biaya operasi pembangkit listrik panas bumi untuk setiap kWh tercatat berada jauh di bawah rata-rata biaya operasi pembangkit listrik nasional.

Rata-rata biaya operasi pembangkit listrik nasional pada tahun 2021 tercatat sebesar Rp 1.391,08/kWh. Sementara rata-rata biaya operasi pembangkit listrik panas bumi (PLTP) pada tahun yang sama adalah sebesar Rp 107,15/kWh atau sekitar 7,70% dari rata-rata biaya operasi pembangkit listrik nasional.

Hampir seluruh komponen biaya operasi pembangkit listrik PLTP juga tercatat sebagai salah satu yang paling rendah. Komponen biaya bahan bakar, biaya pemeliharaan, biaya penyusutan aktiva, biaya pegawai, beban bunga, dan biaya lain-lain dari komponen biaya operasi pembangkit listrik PLTP tercatat sebagai salah satu yang terendah dibandingkan biaya operasi pada pembangkit berbasis fosil dan pembangkit EBET yang lainnya.

Regulasi Pengusahaan
Dalam merespons permasalahan terkait aspek kekonomian tersebut, pemerintah sebenarnya telah menerbitkan sejumlah regulasi yang mengatur mengenai harga jual-beli listrik panas bumi. Beberapa di antaranya adalah Permen ESDM No.02/2011, Permen ESDM No.17/2014, Permen ESDM No.12/2017, Permen ESDM No.43/2017, Permen ESDM No.50/2017, dan Permen ESDM No.53/2018.

Meskipun menggunakan formulasi yang berbeda, secara prinsip harga jual-beli listrik panas bumi yang diatur dalam sejumlah regulasi tersebut menggunakan pola kebijakan yang sama yaitu ceiling price atau harga patokan tertinggi. Yang terbaru, Peraturan Presiden No. 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Baru Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik juga mengatur harga patokan tertinggi untuk produksi uap dan listrik panas bumi.

Dalam Permen ESDM No.50/2017 jo Permen ESDM No.53/2018 ditetapkan dua mekanisme harga. Pertama, jika BPP pembangkitan sistem ketenagalistrikan setempat di atas rata-rata BPP pembangkitan nasional, harga listrik dari PLTP paling tinggi adalah sebesar BPP pembangkitan sistem ketenagalistrikan setempat. Kedua, jika BPP pembangkitan sistem ketenagalistrikan setempat sama atau di bawah rata-rata BPP pembangkitan nasional, harga listrik dari PLTP ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak.

Jika pengusahaan listrik panas bumi merujuk pada regulasi tersebut, peluang industri panas bumi untuk dapat berkembang akan semakin kecil. Regulasi tersebut memberikan batasan bahwa harga pembelian listrik panas bumi yang dapat dilakukan PLN tidak boleh melebihi rata-rata BPP pada sistem ketenagalistrikan di mana panas bumi tersebut diusahakan. Sementara peluang harga jual listrik panas bumi lebih tinggi dari rata-rata BPP di sistem ketenagalistrikan setempat cukup besar.

Apalagi jika pada wilayah tersebut terdapat banyak pembangkit yang menggunakan energi fosil sebagai energi primer pembangkitannya. Peluang bahwa harga jual listrik panas bumi dapat lebih rendah dari rata-rata BPP pada sistem ketenagalistrikan di mana panas bumi tersebut diusahakan memang masih terbuka, terutama pada wilayah-wilayah terluar, tertinggal, dan terdepan yang umumnya masih di luar jangkauan sistem kelistrikan utama.

Akan tetapi, pada wilayah tersebut umumnya dihadapkan pada masalah permintaan tenaga listrik yang relatif rendah, dimana hal itu akan berdampak pada skala keekonomian proyek panas bumi yang akan diusahakan.

Catatan akhir
Mencermati permasalahan yang ada, pengusahaan dan pengembangan panas bumi domestik mutlak memerlukan komitmen kuat dan dukungan langkah kebijakan yang nyata dari pemerintah. Untuk kondisi saat ini pengusahaan dan pengembangan panas bumi nasional akan berjalan lambat jika hanya diserahkan pada mekanisme business to business biasa saja.

Di antara pilihan yang tersedia untuk mempercepat pengusahaan dan pengembangan industri panas bumi adalah pemerintah memberikan subsidi khusus atau penugasan khusus kepada PLN dengan kompensasi agar dapat membeli listrik panas bumi sesuai dengan tingkat keekonomiannya. Alternatif lainnya adalah pemerintah memberikan sejumlah insentif investasi dan perpajakan agar keekonomian proyek panas bumi masuk dalam rentang harga beli listrik oleh PLN.

Pemerintah kiranya perlu terlibat secara langsung dalam upaya menurunkan risiko bisnis energi panas bumi agar harga jual listrik panas bumi di Indonesia dapat lebih kompetitif. Sejumlah kebijakan yang dilakukan beberapa negara lain seperti dengan melakukan perbaikan kualitas data dan dengan pemerintah secara langsung melakukan kegiatan eksplorasi, dapat menjadi referensi pemerintah untuk menurunkan risiko bisnis panas bumi di Indonesia.

Pemerintah juga perlu mendorong peran dan keterlibatan aktif dari pemerintah daerah agar dapat menjadi fasilitator dalam kegiatan pengusahaan dan pemanfaatan panas bumi di wilayah mereka masing-masing.

Produksi Migas Dipacu, Skala Keekonomian Akan Menentukan

Kompas,06 April 2023.

JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah terus memacu produksi minyak dan gas bumi demi tercapainya target 1 juta barel minyak per hari dan 12 miliar standar kaki kubik gas per hari pada 2030. Kalangan pengamat menilai perlu ada upaya ekstra untuk mencapai target itu. Sebab, semua tak sekadar soal volume, tetapi juga tercapainya skala keekonomian.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, saat dihubungi Kamis (6/4/2023) mengatakan, kisaran harga minyak mentah dunia saat ini, 75-85 dollar AS per barel masih terbilang masuk dalam keekonomian atau menguntungkan. Namun, jika sudah di bawah 60 dollar AS per barel, ada kemungkinan memengaruhi bisnis industri hulu migas.

Akan tetapi, fluktuasi harga minyak bukan satu-satunya variabel yang menentukan dalam produksi migas saat ini.

”Tetapi juga karena lapanganlapangan migas di Indonesia sudah tua. Dalam kondisi itu, biaya (cost) akan lebih tinggi. Dari situ, insentif biasanya diberikan, misalnya ada pajak-pajak yang dikeluarkan (tak dibebankan),” ujar Komaidi.

Sementara itu, guna mencapai target produksi pada 2030, Komaidi menilai yang menjadi kunci adalah upaya-upaya ekstra, bukan business as usual (cara-cara biasa). Apalagi, menurut data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), realisasi produksi siap jual (lifting) minyak bumi pada 2022 baru 612.300 barel per hari.

Di samping itu, diharapkan tercapai keseimbangan antara volume dan skala ekonominya. ”Target 1 juta barel per hari pada 2030, kan, dari sisi volume. Itu bisa saja diupayakan. Misalnya, berapa pun biaya produksinya, 1 juta barel dikejar. Tapi, kan, tentu harus seimbang dengan skala ekonominya. Itu hanya bisa dicapai dengan cadangan-cadangan (migas) baru yang keekonomiannya masuk,” kata Komaidi.

Adapun SKK Migas terus menggenjot target pengeboran sumur pengembangan demi mengejar target produksi 2030. Pada 2023, target pengeboran mencapai 991 sumur atau meningkat dari 2022 yang 760 sumur. Pengeboran masif untuk menahan penurunan produksi secara alamiah, sekaligus meningkatkannya.

Deputi Eksploitasi SKK Migas Wahju Wibowo di Jakarta, Rabu (5/4) menuturkan, rendahnya jumlah pengeboran sumur pengembangan pada 2017-2018, antara lain diakibatkan anjloknya harga minyak mentah. Ketika itu, respons pemerintah untuk mengatasi hal itu juga dinilainya terlambat Permasalahan itu yang saat ini terus dibenahi. ”Beberapa tahun terakhir, SKK Migas bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan termasuk Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk memperbaiki fiscal term-nya. Insentif diberikan
agar saat harga minyak turun, KKKS tak terhantam dan bisnisnya masih menguntungkan,” katanya.

Sejumlah perbaikan skema, imbuh Wahju, sudah dilakukan sejak beberapa tahun terakhir demi menarik investor maupun menjaga iklim usaha di hulu migas. Misalnya, jika sebelumnya hanya skema cost recovery (biaya produksi yang dipulihkan), sejak beberapa tahun terakhir sudah diterapkan skema gross split (bagi hasil berdasar produksi bruto).

”Dulu, perubahan ke (gross) split itu haram. Padahal KKKS tidak akan mau investasi kalau tidak ekonomis. Akhirnya, negara tak dapat produksi migas maupun pendapatan. Pola pikir seperti itu yang mesti dihilangkan. Negara harus hadir dan menegosiasi. Namun, tentu dengan batas-batas. Governance (tata kelola) tetap dijaga,” ujarnya.

Pengeboran jadi kunci

Sejumlah KKKS pun berupaya meningkatkan produksi migas dalam rangka mendukung capaian target 1 juta barel minyak dan 12 miliar standar kaki kubik gas di tingkat nasional pada 2030. Salah satunya PT PetroChina International Jabung Ltd, yang baru memperpanjang kontrak untuk mengelola Blok Jabung di Jambi hingga 2043.

Vice President Human Resources and Relations PT PetroChina International Jabung Ltd, Dencio Renato Boele mengatakan, pihaknya meningkatkan kegiatan pengeboran eksplorasi untuk menemukan cadangan-cadangan
baru. ”Bagaimanapun, pengeboran adalah kunci dari bisnis ini, termasuk di Jabung,” ucapnya.

Dencio menambahkan, total capaian produksi pada 2022 yakni 58.000 barel setara minyak per hari. ”Minyak kami 15.000 barel per hari, sedangkan sisanya gas. Saat ini, kecenderungam memang lebih banyak gas. Pada 2023, kami targetkan ada penambahan 1.122,62 barel minyak dan kondensat per hari, serta 24,30 juta standar kaki kubik gas per hari,” jelasnya.

Sejak 1993 hingga Januari 2023, Blok Jagung telah membukukan produksi sebanyak 405,65 juta barel setara minyak. Adapun hingga 2020, total investasi area Blok Jabung mencapai 5,7 miliar dollar AS. Sementara itu, total dana bagi hasil untuk pemerintah mencapai 4 miliar dollar AS. PetroChina mulai mengambil alih blok itu dari pengelola sebelumnya pada 2002.

Penambahan Teknologi CCS, Keekonomian Blok Masela Berpotensi Terdampak

Bisnis.com;07 April 2023

Bisnis.com, JAKARTA — Pengajuan revisi rencana pengembangan lapangan atau plan of development (PoD) untuk penambahan fasilitas penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS) di proyek LNG Abadi Blok Masela dinilai dilematis.

Ahli Ekonomi Energi dan Perminyakan Universitas Trisakti dan juga pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menilai pengajuan revisi PoD untuk pemasangan CCS itu berpotensi untuk memundurkan jadwal operasi komersial atau onstream lapangan yang ditarget efektif pada 2027 mendatang. Konsekuensinya, Pri menggarisbawahi, keekonomian proyek ikut terkerek naik dari perencanaan awal.

“Hitungan keekonomian proyek dengan adanya CCS ini tentu akan berbeda. Perlu waktu dan proses lagi untuk me-review dan melakukan kajian teknis untuk menilai dan mengevaluasinya,” kata Pri saat dihubungi, Jumat (7/4/2023).

Pri tidak menampik dengan adanya penambahan fasilitas CCS itu bakal membuat proyek Abadi Masela bakal terlihat menarik dikerjakan di tengah tren transisi energi saat ini. Hanya saja, mundurnya target operasi komersial lapangan turut menjadi faktor krusial ihwal keekonomian proyek nanti.

Di sisi lain, dia menggarisbawahi, rencana memasukkan fasilitas CCS lapangan Masela sebagai petroleum operation atau operasi perminyakan bakal membutuhkan waktu persetujuan dari Menteri ESDM Arifin Tasrif. Artinya, kepastian cost recovery untuk pemasangan fasilitas penangkapan karbon itu belum juga terang kendati peraturan teknis CCS/CCUS sudah diterbitkan awal tahun ini.

“Dari sisi jadwal dan keekonomian proyek secara keseluruhan ada potensi dampak negatifnya yang perlu menjadi catatan, berkaitan dengan kondisi dan dinamika market gas global, keputusan investasi dan timing-nya sehingga kapan proyek itu onstream adalah hal yang penting,” kata dia.

Hitung-hitungan awal SKK Migas terkait dengan PoD Blok Masela itu memperlihatkan potensi molornya target onstream lapangan selama 2 tahun yang sebelumnya dipatok komersial pada 2027 mendatang. Sejauh ini, tambahan belanja modal untuk fasilitas CCS di Blok Masela diperkirakan mencapai US$1,4 miliar atau setara dengan Rp21,02 triliun (asumsi kurs Rp15.015 per US$).

Seperti diberitakan sebelumnya, Inpex Corporation, lewat anak usahanya Inpex Masela Ltd, telah resmi menyampaikan revisi rencana pengembangan lapangan atau plan of development untuk penambahan fasilitas penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS) di proyek LNG Abadi Blok Masela kepada pemerintah.

Penyampaian revisi rencana pengembangan lapangan itu dilakukan seiring dengan rencana PT Pertamina (Persero) bersama dengan Petroliam Nasional Berhad atau Petronas untuk melakukan penawaran mengikat atau binding offer atas 35 persen hak partisipasi yang ingin dilepas Shell Upstream Overseas Ltd di proyek LNG Abadi Blok Masela bulan ini.

Pada pertengahan 2019 lalu, operator Blok Masela, Inpex Masela Ltd, meminta waktu untuk merevisi kembali PoD awal lapangan gas yang belakangan masuk ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) kepada pemerintah. Inpex saat itu beralasan ingin memasukkan fasilitas CCS ke dalam pengembangan lapangan untuk meningkatkan daya saing blok migas tersebut di tengah transisi energi yang sedang bergulir.

Aspek Regulasi Implementasi Kebijakan Biodiesel di Indonesia

Investordaily, 3 April 2023

Penulis: Komaidi Notonegoro (Direktur Eksekutif ReforMiner Institute dan Pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi
Universitas Trisakti)

Implementasi kebijakan pencampuran 35% Biodiesel (B100) ke dalam Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Solar, sesungguhnya bukan kebijakan yang baru diimplementasikan. Kebijakan tersebut merupakan bagian dari penahapan kebijakan yang telah dilakukan sebelumnya. Berdasarkan review, telah ada sejumlah regulasi yang diterbitkan pemerintah untuk mengatur dan melaksanakan pemanfaatan bahan bakar nabati (BBN), termasuk biodiesel.

Keseriusan pemerintah memanfaatkan BBN semakin terlihat dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) No 1/2006 pada 25 Januari 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain. Melalui Inpres tersebut, Presiden menginstruksikan kepada Menko Perekonomian, Menteri ESDM, Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri Perhubungan, Menteri Negara Riset dan Teknologi, Menteri Koperasi dan UMKM, Menteri BUMN, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Lingkungan Hidup, Gubernur, dan Bupati/Walikota, untuk melaksanakan percepatan penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain.

Sebagai tindak lanjut atas Instruksi Presiden tersebut, pada 10 Oktober 2006 pemerintah menerbitkan Permen ESDM No 51/2006 tentang Persyaratan dan Pedoman Izin Usaha Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain. Untuk mempercepat penyediaan pemanfaatan BBN, pemerintah kemudian mencabut Permen ESDM No 51/2006 dan menggantinya dengan Permen ESDM No 32/2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain.

Substansi pengaturan dalam Permen ESDM No 32/2008 tercatat telah lebih detail dibandingkan dengan regulasi sebelumnya. Terutama regulasi tersebut telah mengatur mengenai penahapan kewajiban minimal pemanfaatan BBN yang harus dilakukan oleh sektor-sektor penggunanya. Sektor penggunanya meliputi sektor rumah tangga, transportasi PSO, transportasi non PSO, industri dan komersial, dan sektor pembangkit listrik.

Berdasarkan Permen ESDM No 32/2008 yang telah dilakukan perubahan ketiga kali, terakhir dengan Permen ESDM No 12/2015, diketahui bahwa penahapan kewajiban minimal pemanfaatan biodiesel (B100) sebagai campuran Bahan Bakar Minyak pada Januari 2020 – Januari 2025 ditetapkan sebesar 30%. Karena itu, dapat dikatakan bahwa implementasi B35 yang diberlakukan efektif per Februari 2023 yang lalu sesungguhnya telah melampaui penahapan kewajiban minimal yang ditetapkan oleh regulasi yang ada.

Potensi Pemanfaatan Biodiesel

Jika mencermati perangkat regulasi yang telah diterbitkan oleh pemerintah, potensi pemanfaatan biodiesel untuk tidak sekadar berhenti pada tahapan B35 cukup besar. Regulasi yang ada, terutama Permen ESDM No 32/2008 yang telah dilakukan perubahan ketiga kali tersebut pada dasarnya baru mengatur penahapan pemafaatan BBN sampai dengan tahun 2025. Target penahapan pemanfaatan biodiesel pada Januari 2025 untuk semua sektor pengguna ditargetkan sebesar 30%, lebih rendah dari realisasi implementasi kebijakan biodiesel saat ini.

Selain terkait implementasi penahapan yang tercatat telah melampaui ketentuan regulasi, terbitnya sejumlah regulasi lain sebagai aturan teknis pelaksana implementasi kebijakan biodiesel juga dapat berpotensi mendukung implementasi kebijakan pemanfaatan BBN, terutama biodiesel akan semakin meningkat. Untuk aturan yang lebih teknis, pemerintah juga tercatat telah menerbitkan Kepmen ESDM No 6034K/12/MEM/2016 tentang Harga Indeks Pasar Bahan Bakar Nabati (Biofuel) yang Dicampurkan ke Dalam Bahan Bakar Minyak.

Kepmen ESDM No 6034K/12/MEM/2016 tersebut kemudian diubah melalui Kepmen ESDM No 2026 K/12/MEM/2017 dan diubah kembali dengan Kepmen ESDM No.1770 K/12/MEM/2018. Pada Desember 2018, pemerintah menambah regulasi baru untuk mengatur niaga BBM yang khusus untuk melakukan pengaturan pada biodiesel yaitu dengan menerbitkan Kepmen ESDM No 350 K/12/DJE/2018 tentang Harga Indeks Pasar Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel yang Dicampurkan ke Dalam Bahan Bakar Minyak. Pada Juni 2019, pemerintah kemudian mengubah Kepmen ESDM No 350 K/12/DJE/2018 dengan Kepmen ESDM No 91 K/12/DJE/2019 dan pada September 2019 diubah lagi dengan Kepmen ESDM No 148 K/10/ DJE/2019.

Selanjutnya, pada Juni 2020 pemerintah kemudian terpantau kembali menerbitkan regulasi baru terkait kebijakan niaga BBN yaitu Kepmen ESDM No 105 K/12/MEM/2020 tentang Harga Indeks Pasar Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel yang Dicampurkan ke Dalam Bahan Bakar Minyak pada Masa Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan Bencana Non Alam Nasional Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Pada Oktober 2020, regulasi tersebut kemudian diganti dengan Kepmen ESDM No 182 K/10/MEM/2020 tentang Harga Indeks Pasar Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel yang Dicampurkan ke Dalam Bahan Bakar Minyak.

Pada November 2021 pemerintah kembali menerbitkan regulasi untuk menggantikan Kepmen ESDM No 105 K/12/MEM/2020 dengan Kepmen ESDM No 146 K/HK.02/DJE/2021 tentang Harga Indeks Pasar Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel yang Dicampurkan ke Dalam Bahan Bakar Minyak. Kepmen ESDM tersebut tercatat masih berlaku sampai dengan saat ini. Substansi dari Kepmen ESDM tentang Harga Indeks Pasar Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel yang Dicampurkan ke Dalam Bahan Bakar Minyak, di antaranya mengatur: (1) harga indeks harga pasar BBN jenis biodiesel didasarkan pada harga publikasi Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara untuk crude palm oil (CPO) unit Belawan dan Dumai rata-rata periode satu bulan sebelumnya, tidak termasuk PPN; (2) besaran maksimal ongkos angkut ditetapkan dengan mempertimbangkan harga perkiraan sendiri yang dihitung berdasarkan tata cara perhitungan yang ditetapkan Dirjen EBTKE; (3) harga indeks pasar BBN jenis biodiesel berlaku untuk pengadaan BBN jenis biodiesel untuk pencampuran jenis BBM Umum dan pencampuran jenis BBM Tertentu; (4) besaran indeks pasar BBN jenis biodiesel ditetapkan Menteri ESDM melalui Dirjen EBTKE; dan (5) formula harga indeks pasar BBN jenis biodiesel untuk titik serah Floating Storage atau Shore Terminal Balikpapan ditambah biaya yang mengacu pada hasil rekonsiliasi besaran unit cost.

Selain regulasi yang mengatur indeks harga, pemerintah juga tercatat menerbitkan regulasi yang mengatur mengenai volume alokasi BBN. Di antaranya adalah Kepmen No 205.K/EK05/DJE/2022 Jo Kepmen ESDM No 208.K/EK.05/DJE/2022 tentang Penetapan Badan Usaha Bahan Bakar Minyak dan Badan Usaha Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel Serta Alokasi Volume Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel Untuk Pencampuran Bahan Bakar Minyak Jenis Minyak Solar Periode Januari-Desember 2023.

Mengacu pada dukungan aspek regulasi yang telah relatif lengkap serta ketersediaan bahan baku yang dapat dikatakan juga lebih dari cukup, peluang implementasi pemanfaatan biodiesel untuk pencampuran Bahan Bakar Minyak Jenis Minyak Solar yang diperluas bahkan dapat menjadi B100, adalah cukup besar. Hal yang berpotensi dapat menghambat perluasan implementasi pemanfaatan biodiesel adalah masalah keterbatasan kapasitas fiskal untuk subsidi biosolar dan/atau masalah teknis jika dalam perkembangannya ditemukan permasalahan yang dikeluhkan oleh sektor-sektor pengguna akibat memanfaatkan biodiesel.