Gas Bumi Sebagai Komponen dan Jembatan Transisi Energi

CNBCIndoneisia, 30 Mei 2023

Transisi energi, baik dalam pengertian bergesernya pengelolaan energi dari yang lebih berbasis pada sumber energi non-terbarukan ke sumber energi baru-terbarukan maupun dalam pengertian bertransformasinya pengelolaan energi ke arah yang lebih ramah lingkungan telah menjadi tema dan gerakan kolektif dengan skala global.
Bauran energi (energy mix) baik untuk energi primer maupun energi final, di tingkat global, regional, maupun nasional, tak terkecuali Indonesia, bergerak ke arah bauran energi dengan porsi energi “bersih” yang terus meningkat.

Dalam konteks ini, mencermati perkembangannya hingga saat ini, gas bumi (natural gas), sebagai salah satu sumber energi fosil yang relatif (paling) bersih dan secara teknis-ekonomis telah memiliki kemapanan (established), terlihat memainkan perannya yang strategis dan sentral, baik sebagai komponen maupun sebagai jembatan transisi energi.

Gas dalam Bauran Energi Global

Merujuk pada BP Statistical Review of World Energy 2022, porsi gas bumi dalam bauran energi primer global saat ini adalah sekitar 24% dan diproyeksi terus meningkat. Konsumsi gas bumi global selama 2011-2021 tercatat meningkat sekitar 1,78% per tahun.

Sampai dengan 2030, rata-rata konsumsi gas global diproyeksikan terus meningkat hingga mencapai sekitar 74 billion cubic feet (bcf) per hari di tahun 2030. Sekitar 76% dari porsi peningkatan konsumsi gas bumi global tersebut diproyeksikan terutama berasal dari negara-negara Non-OECD.

Salah satu faktor pendorong relatif stabilnya pertumbuhan permintaan gas global adalah penggunaan gas di sektor ketenagalistrikan. Dalam skenario Net Zero Emission – International Energy Agency (IEA), pembangkit gas diproyeksi tumbuh untuk menggantikan fungsi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.

Permintaan gas untuk kebutuhan pembangkit diproyeksi meningkat dari 3,849 billion cubic metres (BCM) pada tahun 2018 menjadi 4,613 BCM pada 2035. Hal ini karena dari aspek teknis pembangkit gas memiliki keunggulan dan karakteristik yang relatif sama dengan PLTU.

Pembangkit gas memiliki capacity factor yang cukup tinggi sehingga dapat sangat berfungsi menjadi pembangkit base load. Biaya investasi per Mega Watt untuk pembangkit gas sejauh ini tercatat juga masih lebih rendah dibanding sebagian pembangkit energi non-fosil.

Kebijakan pemanfaatan gas sebagai jembatan transisi energi memang menjadi pilihan rasional dan dilakukan oleh negara-negara dengan kelompok ekonomi utama seperti Amerika Serikat, Jerman, Rusia, dan China.

Sampai dengan 2030, AS diproyeksi masih akan mempertahankan porsi gas di dalam bauran energi primernya sebesar 31%. Pada periode yang sama, porsi gas bumi di dalam bauran energi Rusia dan Jerman masing-masing diproyeksi masih sekitar 50% dan 12%. China juga berencana meningkatkan porsi gas dalam bauran energinya dari sekitar 10% pada 2020 menjadi 15% pada 2030.

Gas dalam Bauran Energi Nasional

Pada tahun 2022, porsi gas bumi dalam bauran energi primer nasional mencapai kisaran 15,96%. Proporsi tersebut diproyeksi terus berlanjut dan meningkat hingga 2050 mendatang.

Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) pemerintah memproyeksikan porsi gas bumi dalam bauran energi primer Indonesia tahun 2050 menjadi sekitar 24% atau terbesar kedua setelah energi baru terbarukan.

Peran penting gas di dalam memenuhi kebutuhan energi nasional juga tercermin dari porsi dan volume pemanfaatan gas untuk kepentingan domestik yang terus meningkat. Pada tahun 2022 porsi pemanfaatan gas untuk kepentingan domestik tercatat sekitar 67,3%, meningkat dari tahun 2010 yang tercatat sekitar 43,8%.

Pada periode yang sama, volume pemanfaatan gas untuk kepentingan domestik juga meningkat sekitar 9%. Sektor industri, pupuk dan ketenagalistrikan tercatat sebagai kontributor utama dalam peningkatan konsumsi gas bumi domestik. Porsi konsumsi gas bumi sektor industri, pupuk dan ketenagalistrikan pada tahun 2022 masing-masing tercatat sekitar 31,7%,11,31% dan 10,92% dari total produksi gas nasional.

Khusus di sektor industri, peran gas bumi sangat vital di industri petrokimia, baik sebagai sumber energi maupun sebagai bahan baku. Dari data Kementerian Perindustrian (2022) diketahui bahwa kapasitas produksi petrokimia Indonesia yang saat ini sekitar 7,1 juta ton per tahun, dengan sekitar 70 % kebutuhan petrokimia untuk domestik masih dipenuhi dari impor.

Berdasarkan perhitungan ReforMiner Institute, kebutuhan gas untuk bahan baku industri petrokimia domestik dengan kapasitas 7,1 juta ton per tahun tersebut dapat mencapai kisaran 716 BBTUD. Kebutuhan gas untuk bahan baku dan sumber energi untuk industri petrokimia berpotensi meningkat signifikan jika pemerintah menerapkan kebijakan substitusi terhadap sekitar 70% kebutuhan petrokimia yang masih diimpor dengan produksi dalam negeri.

Ketersediaan Gas Nasional

Berbeda dengan minyak bumi yang dalam hal ketersediaan – cadangan dan produksinya – dalam dua dekade terakhir ini trennya terus menurun, ketersediaan gas bumi nasional dari sisi kondisi dan perkembangannya relatif lebih baik.

Berdasarkan data Kementerian ESDM (2022), Indonesia memiliki cadangan gas bumi terbukti sebesar 41,62 triliun kaki kubik persegi (trillion standard cubic feet/TSCF), dan diproyeksi masih dapat memenuhi kebutuhan nasional di periode transisi energi hingga 20 tahun mendatang.

Dalam hal cadangan potensial yang jumlahnya mencapai 18,99 TSCF lebih dapat dikonversi menjadi cadangan terbukti, ketersediaan gas bumi untuk memenuhi kebutuhan nasional akan lebih memadai untuk waktu yang lebih lama lagi.

Penemuan cadangan migas di tanah air dalam beberapa tahun terakhir seperti penemuan di Bronang-02, Wes Belut, Parang-02, Rembang-3B, dan Wolai- 02 juga lebih didominasi oleh gas bumi, Kandidat proyek strategis nasional sektor energi 2020-2024 seperti poyek Jambaran Tiung Biru, pengembangan lapangan Abadi Masela, proyek gas laut dalam IDD (Indonesian Deepwater Development) lapangan Gendalo-Gehem dan pengembangan Train-3 Tangguh merupakan proyek pengembangan dan pemanfaatan gas bumi.

Meskipun dari sisi ketersediaan cadangan dan potensinya masih (sangat) memadai, bukan berarti itu sudah akan menjamin berfungsinya gas bumi sebagai komponen dan jembatan transisi energi nasional secara optimal.

Keterbatasan infrastruktur baik dalam hal infrastruktur pemrosesan, penerima, transmisi, distribusi untuk dapat menghubungkan titik-titik suplai dengan sentra-sentra konsumen gas bumi tetap dan akan terus menjadi penghalang optimalnya pengembangan dan pemanfaatan gas nasional, jika tidak ada terobosan langkah dan kebijakan yang dilakukan.

Ketidakpastian perihal keberlanjutan pelaksanaan proyek-proyek strategis seperti halnya pengembangan lapangan gas Abadi Masela dan proyek IDD Gendalo-Gehem, jika dibiarkan berlarut-larut dan tidak ditangani dengan baik, bisa membawa implikasi negatif dalam hal pemenuhan kebutuhan gas bumi nasional ke depan.

Kemudahan berusaha dan jaminan pengembalian investasi yang kompetitif pada infrastruktur dan proyek-proyek gas tersebut, dengan demikian, dapat dikatakan merupakan kunci bagi Indonesia untuk dapat menerapkan transisi energi nasional secara mulus, dengan gas bumi sebagai salah satu komponen utama dan sekaligus jembatannya.

Pengembangan Blok Masela Macet, Pengamat Hulu Migas Soroti Sejumlah Masalah Ini

Kontan.co.id; 26 Mei 2023

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Sudah 4 tahun lamanya sejak Plan of Development (PoD) I Blok Masela disetujui pemerintah Indonesia, hingga kini belum ada perkembangan signifikan yang berjalan di Lapangan Gas Abadi Masela.

Proses divestasi 35% participating interest (PI) Shell pun terus mundur dari target yang dicanangkan, mulanya di akhir 2022, lalu mundur Mei 2023, dan saat ini menjadi semester I 2023.

Pendiri Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto menjelaskan proses pelepasan participating interest (PI) untuk proyek sekelas Masela, tentu sangat tidak sederhana. Akan memakan waktu khususnya menyangkut siapa yang akan membeli dan pada harga atau hitungan keekonomian yang seperti apa.

“Ini mestinya yang harus disadari pemerintah sejak awal bahwa risiko mengubah skenario dari off-shore ke on-shore itu salah satu implikasinya bisa membuat investor sebelumnya menjadi tidak lagi tertarik untuk melanjutkan,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Jumat (26/5).

Pri Agung menyatakan, proses yang membutuhkan waktu lama memang tidak dapat dihindari. Tetapi kondisi ini justru bisa menjadi pelajaran yang sangat berharga ke depannya, bahwa pemerintah jangan lagi sering mengubah arah kebijakan atau keputusan investasi besar di dalam proses-proses yang sudah berjalan dan disepakati.

“Pasalnya, tidak mudah untuk mendapatkan investor pengganti yang benar-benar serius dan kredibel untuk proyek sekelas Masela ini,” ujarnya.

Sebelumnya SKK Migas menegaskan bahwa proses divestasi Shell di Masela sudah berjalan cukup lama atau 3 tahun lamanya. Pemerintah pun bisa mengambil langkah khusus jika sekiranya divestasi Shell yang menjadi ‘biang kerok’ Inpex tidak bisa menjalankan kegiatannya di sana. Misalnya saja proyek Blok Masela dikembalikan ke negara pada 2024.

Nah, Pri Agung tidak menampik secara teoritis memang memungkinkan Masela bisa berpindah tangan ke negara karena PoD yang telah disetujui tidak segera dijalankan. Adapun pemerintah dapat memberikan penugasan kepada BUMN, misalnya Pertamina melanjutkan pengembangan lapangan gas ini.

“Kontrak Kerja Sama secara prinsipnya mengatur hal ini,” ujarnya.

Namun, Pri Agung kurang sepakat jika langkah tersebut diambil pemerintah. Dia bilang, pemerintah juga harus mempertimbangkan keekonomian proyek secara keseluruhan yang berkaitan dengan investor lain.

“Proyek ini tetap memerlukan dana investasi. Hal terpenting lainnya, proyek ini harus tetap berjalan, terealisasi dengan baik, tepat waktu sehingga semua mendapatkan manfaatnya yang paling optimal,” terangnya.

Di sisi lain, pengembangan Blok masela ini juga bisa menjadi cerminan sinyal iklim investasi hulu migas secara keseluruhan.

Pemerintah Sukses Jinakkan Inflasi Kenaikan Harga BBM

Liputan6.com; 21 Mei 2023

Liputan6.com, Jakarta Kenaikan harga BBM dinilai punya andil dalam meningkatnya inflasi. Termasuk dampak yang terjadi usai pemerintah menaikkan harga Jenis BBM Khusus Penugasan atau Pertalite sejak tahun lalu.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai, pemerintah lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan penyesuaian harga BBM. Ketimbang penyesuaian harga, pemerintah cenderung memilih untuk pembatas konsumsi Pertalite di 2023 ini.

“Berdasarkan review ReforMiner, dampak inflasi yang ditimbulkan dari kebijakan penyesuaian harga BBM selama periode 2022-2023 relatif terkelola. Inflasi selama periode 2022-2023 tercatat masih berada pada level single digit,” ujar Komaidi dalam hasil riset ReforMiner Institute, Minggu (21/5/2023).

“Sementara, kebijakan penyesuaian harga BBM yang dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya pernah tercatat dapat mendorong tingkat inflasi pada level double digit,” sambung dia.

Disamping melakukan pembatasan konsumsi BBM, pemerintah mulai memperkenalkan penyesuaian harga BBM secara berkala. Ini berlaku bagi Jenis BBM Umum (JBU) seperti Pertamax, Pertamax Turbo, Pertamina Dex, dan lainnya.

Komaidi menilai, kebijakan penyesuaian harga jenis BBM Umum (non-subsidi) yang dilakukan secara berkala dengan besaran proporsional memberikan kontribusipositif terhadap tingkat inflasi yang lebih stabil.

“Selain telah berhasil membiasakan masyarakat atau konsumen dengan naik dan turunnya harga BBM, kebijakan penyesuaian harga jenis BBM Umum juga terpantau memperoleh respon yang baik dari para pelaku usaha dan sektor-sektor ekonomi pengguna BBM,” kata dia.

Pengaruh Inflasi

Lebih lanjut, Komaidi melihat dampak langsung antara penyesuian harga BBM ke tingkat inflasi. Ada 2 kategori BBM yang digunakan.

Pertama, BBM dengan kategori kandungan RON rendah. Kedua, BBM dengan kategori kandungan RON tinggi. Komaidi mencatat, penyesuaian atau kenaikan harga BBM dengan RON lebih rendah punya pengaruh lebih besar ke tingkat inflasi.

“Penyesuaian harga BBM dengan Research Octane Number (RON) yang lebih rendah tercatat memberikan dampak inflasi yang lebih tinggi dibandingkan dampak inflasi dari penyesuaian harga BBM dengan RON yang lebih tinggi. Hal tersebut salah satunya karena porsi volume konsumsi jenis BBM dengan RON rendah relatif lebih besar,” bebernya.

Harga Pertalite Bisa Turun

PT Pertamina Patra Niaga buka kemungkinan harga BBM subsidi jenis Pertalite (RON 90) bisa turun dari ketetapan harga saat ini, Rp 10.000 per liter. Namun, penetapan harga baru Pertalite harus melihat beberapa faktor.

Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Irto Ginting mengatakan, penetapan harga Pertalite mengacu pada tiga poin, antara lain penurunan harga minyak mentah dunia, kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, dan acuan patokan harga BBM berdasarkan Mean of Plats Singapore (MOPS).

“(Harga Pertalite) mungkin turun, tapi kembali ke tiga poin tadi. Apakah harga minyak bisa turun sampai ke bawah USD 60 atau 50 per barel dan kurs menguat cukup dalam, mops juga turun. Jalau itu semua masuk ya tentunya akan disesuaikan. Kembali pemerintah akan melihat itu,” ujar Irto kepada Liputan6.com di Jiexpo Kemayoran, Jakarta, Rabu (17/5/2023).

Irto tak memungkiri, harga minyak dunia saat ini tengah lesu dibandingkan 2020 lalu, yang tembus lebih dari USD 100 per barel. Namun, Pertamina tak mau gegabah menyikapi fluktuasi harga minyak dunia tersebut.

“Saat ini memang masih harganya USD 70-80 an (per barel), turun besok, naik lagi besoknya. Kurs juga. Kayak kemarin emang turun ya kita turunkan,” imbuh dia.

Berubah Tiap Bulan

Acuan tiga poin tersebut juga berlaku untuk menentukan harga BBM non-subsidi. Seperti diketahui, sejumlah produk BBM non-subsidi milik Pertamina mengalami pemotongan harga per 1 Mei 2023, yakni Pertamina Dex dan Dexlite.

Adapun saat ini Pertamina rutin melakukan perubahan harga BBM, khususnya non-subsidi setiap bulan. Namun, Irto belum beri bocoran harga BBM non-subsidi pada Juni 2023 akan seperti apa.

“Nanti kita lihat, kita umumkan tiap awal bulan. Sekarang sih belum nampak jelas. Kita ambil (perhitungan) sampai 20an, rata-rata seperti apa, akan kita lihat bulan depan,” pungkas Irto.

Menimbang Untung Rugi Harga Minyak Mentah Domestik demi Jaga Harga BBM

Katadata.co.id; 19 Mei 2023

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah merumuskan mekanisme domestic price obligation (DPO) atau kewajiban harga minyak domestik, terhadap jatah lifting atau minyak siap jual pemerintah yang dibeli oleh Pertamina. Rencana tersebut merupakan upaya untuk menekan harga BBM pada sektor hilir di stasiun pengisian bahan bakar (SPBU).

Kendati demikian, langkah penetapan harga dalam negeri itu berpotensi mengurangi pendapatan negara.

Direktur Eksekutif ReforMiner, Komaidi Notonegoro, beranggapan bahwa mekanisme penetapan harga acuan minyak mentah khusus Pertamina memungkinkan seperti layaknya pelaku usaha batu bara yang wajib menyerahkan 25% hasil produksi tahunan kepada PLN dan industri semen dan pupuk dengan harga DMO.

Kalau DPO migas bisa dilakukan, tentu BBM di hilir akan lebih baik harganya atau kompetitif. Tapi yang perlu dipahami tentu penerimaan negara akan berkurang,” ujar Komaidi kepada Katadata.co.id melalui sambungan telepon pada Jumat (19/5).

Regulasi mengenai pengaturan jatah lifting minyak domestik diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang (UU) Minyak dan Gas Bumi atau Migas Nomor 22 tahun 2021, di mana Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% bagiannya dari hasil produksi migas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Ketentuan di UU Migas itu masih terbatas pada upaya menjamin ketersediaan pasokan migas untuk kebutuhan dalam negeri lewat penarikan 25% produksi migas kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).

Sementara, acuan harga wajib penjualan minyak mentah jatah pemerintah juga diberi harga khusus meski nilainya tidak sama pada tiap-tiap lapangan. “25% itu volume, kalau untuk harga biasanya ada harga khusus dari pemerintah. Nah tiap-tiap lapangan berbeda,” ujar Komaidi.

Meski usulan DPR berpotensi bisa menekan harga BBM di hilir, Komaidi memandang bahwa implementasi rencana tersebut dapat memicu pelaku usaha hulu migas untuk menurunkan produksi migas mereka. Hal tersebut dapat berimbas negatif pada pemenuhan pasokan minyak mentah dan konsumsi BBM dalam negeri dan menambah beban negara. Alasannya, jelas Komaidi, pemenuhan konsumsi BBM dalam negeri mayoritas ditutup melalui impor.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor bahan bakar minyak (BBM) sepanjang 2022 mencapai 347.625 barel per hari (bph) dengan nilai mencapai US$ 19,76 miliar atau sekira Rp 299,41 triliun. Impor BBM terdiri dari bensin atau gasoline 275.214 bph, dan solar atau gasoil 72.411 bph.

Secara volume, impor BBM 2022 naik 26% dari tahun sebelumnya sebesar 275.861 bph dengan rincian 226.431 bph bensin dan 49.430 bph solar.

Menurut Komaidi, skema DPO yang berlaku pada pemenuhan batu bara PLN tak serta merta bisa diterapkan di industri migas. Sebab produksi batu bara domestik lebih besar daripada kebutuhan PLN.

Sementara, capaian produksi minyak mentah saat ini masih belum mampu untuk memenuhi konsumsi minyak mentah dan BBM domestik.

“Karena kalau di situ ada DMO price-nya ditekan, dikhawatirkan menjadi disinsentif bagi pelaku usaha. Jadi kalau terlalu murah kan, juga pelaku usaha tidak begitu tertarik dan mungkin produksi juga bisa turun,” kata Komaidi.

Butuh Kajian Lebih Lanjut Direktur Jenderal Migas, Tutuka Ariadji, mengatakan bahwa penetapan mekanisme DPO terhadap jatah lifting pemerintah yang dibeli oleh Pertamina masih sebatas ide dan masih perlu dikaji lebih lanjut.

“Sebetulnya itu ide yang bagus. Tapi kita perlu lihat dulu secara menyeluruh, tidak bisa masalah parsial dan perlu dikomunikasikan lebih jauh dengan Pertamina,” ujar Tutuka di Kementerian ESDM pada Jumat (19/5).

“Ide-ide itu ada, tapi belum terwujudkan.” Menanggapi adanya wacana tersebut, PT Pertamina selaku operator akan mematuhi aturan tersebut jika nantinya sudah ditetapkan. Juru bicara Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, mengatakan perseroan terus aktif berkoordinasi dengan Komisi VII sebagai badan legislatif yang membidangi isu energi. “Kami intens komunikasi dengan Komisi VII, tentunya banyak hal yang dibahas,” ujar Djoko lewat pesan singkat, Jumat (19/5).

Kendati demikian, Pertamina mengaku belum menghitung atau membuat proyeksi ihwal penetapan DPO terhadap potensi penekanan harga penjualan BBM. “Kalau soal proyeksi belum,” ujar Djoko.

Sebelumnya, Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto menyampaikan bahwa sejauh ini bagian lifting minyak yang dibeli oleh Pertamina masih menggunakan patokan harga internasional. Hal tersebut berimbas pada meroketnya harga jual BBM saat posisi harga minyak global berada di level tinggi.

“Minyak mentah jatah pemerintah yang dibeli oleh Pertamina untuk diolah menjadi BBM seyogyanya dengan DPO. Ke depan kami akan rumuskan hal itu,” kata Sugeng dalam diskusi Energy Corner CNBC pada Senin (8/5).

Menurutnya, Komisi Energi DPR tengah merumuskan mekanisme domestic price obligation atau DPO terhadap jatah lifting atau minyak siap jual pemerintah yang dibeli oleh Pertamina.

“Mungkin dengan mekanisme DPO memang pendapatan negara agak berkurang sedikit. Namun jika dihitung, lebih bisa menekan harga di ujung, ke harga produk BBM,” ujar Sugeng.

Konsumsi BBM dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia

FokusEnergi; 11 Mei 2023

Penulis:
Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute dan Pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti

Berdasarkan laporan Satgas Nasional RAFI (Ramadhan dan Idul Fitri) 2023, konsumsi BBM Indonesia selama periode Ramadhan dan Idul Fitri 1444 H dilaporkan meningkat. Disampaikan bahwa selama periode satgas, yaitu pada tanggal 10 April 2023 sampai dengan 2 Mei 2023 BPH Migas dan Pertamina menyiagakan sejumlah 114 Terminal BBM, 7.491 SPBU, dan 68 DPU. Selain itu, juga dilaporkan terdapat layanan tambahan berupa SPBU Siaga, Kios Pertamina Siaga, Motorist, dan Mobil Tanki Standby.

Berdasarkan data, konsumsi BBM selama arus mudik tertinggi terjadi pada tanggal 20 April 2023 yaitu terjadi kenaikan konsumsi BBM jenis gasoline sebesar 40,78 % dari konsumsi normal. Sementara untuk periode arus balik pertama, peningkatan konsumsi BBM dilaporkan terjadi pada tanggal 25 April 2023 yaitu terjadi kenaikan konsumsi BBM jenis gasoline sebesar 17,71 % dari konsumsi normal. Periode arus balik kedua, peningkatan konsumsi BBM dilaporkan terjadi pada tanggal 29 April 2023 yaitu terjadi kenaikan konsumsi BBM jenis gasoline sebesar 12,95 % dari konsumsi normal.

Meskipun belum terdapat publikasi resmi, peningkatan konsumsi BBM selama periode Ramadhan dan Idul Fitri 2023 tersebut berpotensi dapat memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia baik di level daerah maupun pusat. Hal tersebut merujuk pada sejumlah penelitian yang menunjukkan bahwa konsumsi BBM di Indonesia berkorelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi baik pada level daerah maupun nasional.

Korelasi positif antara porsi volume konsumsi BBM pada suatu wilayah dengan porsi PDRB yang dihasilkan oleh wilayah yang bersangkutan menegaskan bahwa konsumsi BBM memiliki korelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi pada suatu wilayah. Sebagai gambaran konsumsi BBM pada wilayah Jawa, Madura, dan Bali (Jamali) untuk setiap tahunnya rata-rata berkisar antara 55 % – 60 % terhadap konsumsi BBM nasional. Data juga menunjukkan bahwa porsi kue ekonomi yang direpresentasikan melalui PDRB yang dihasilkan oleh wilayah Jamali juga relatif sama dengan porsi konsumsi BBM pada wilayah tersebut.

Data yang ada juga menunjukkan bahwa pola konsumsi BBM pada level nasional juga relatif sama dengan pola pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Pola atau rata-rata pertumbuhan konsumsi BBM pada periode tertentu relatif sama dengan pola pertumbuhan PDB Indonesia pada periode yang sama. Pola yang terjadi tersebut menggambarkan dan sekaligus kembali menegaskan bahwa terdapat korelasi yang kuat antara pertumbuhan konsumsi BBM dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Berdasarkan kajian ReforMiner, ditemukan bahwa keterkaitan antara konsumsi BBM dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia dipengaruhi oleh kondisi struktur PDB Indonesia. Baik berdasarkan PDB kelompok pengeluaran maupun PDB kelompok sektoral, ditemukan bahwa konsumsi BBM berperan penting dalam mendukung atau menopang pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Berdasarkan kelompok pengeluaran, diketahui bahwa konsumsi BBM memiliki peran penting terhadap penciptaan nilai tambah dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hal tersebut salah satunya karena fakta bahwa pengeluaran konsumsi rumah tangga berkontribusi sekitar 55 % terhadap pembentukan PDB di Indonesia. Dengan porsi kontribusi yang relatif besar tersebut, sektor konsumsi termasuk dalam hal ini yang direpresentasikan melalui konsumsi BBM, memiliki daya pengungkit yang besar dalam mendorong pembentukan PDB dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Karena itu, ketika konsumsi rumah tangga termasuk konsumsi BBM meningkat, maka pertumbuhan ekonomi juga akan meningkat.

Sementara jika dilihat melalui PDB kelompok sektoral, juga dapat diketahui bahwa peran konsumsi BBM terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin meningkat. Hal tersebut diantaranya akibat adanya pergeseran atau perubahan struktur perekonomian di Indonesia. Struktur perekonomian Indonesia secara bertahap tercatat mengalami pergeseran dari sektor ekstraktif dan agraris pada sektor-sektor ekonomi yang lebih padat energi. Artinya, pusat pertumbuhan atau kontributor utama pembentuk PDB di Indonesia pada saat ini adalah sektor ekonomi yang lebih padat energi dibandingkan sebelumnya.

Jika pada awal pelaksanaan pembangunan Indonesia lebih bertumpu pada sektor ekstraktif dan agraris yang notabene tidak terlalu padat energi, pada saat ini pembentukan PDB Indonesia lebih banyak dikontribusikan oleh sektor ekonomi yang lebih padat energi seperti industri pengolahan, sektor konstruksi, sektor perdagangan, sektor pengangkutan, dan jasa keuangan. Proses produksi barang dan jasa pada sejumlah sektor tersebut secara relatif memerlukan daya dukung energi yang lebih besar dibandingkan kebutuhan energi pada sektor ekstraktif dan agraris.

Terkait besarnya korelasi antara konsumsi BBM dengan pembentukan PDB dan pertumbuhan ekonomi, para pemangku kepentingan perlu lebih berhati-hati dalam memformulasikan kebijakan BBM nasional. Ketersediaan BBM untuk memenuhi konsumsi dalam negeri seperti yang diperlukan untuk mendukung kegiatan mudik pada saat menjelang dan sesudah Idul Fitri memiliki peran penting dalam mendorong terciptanya aktivitas perekonomian pada wilayah-wilayah yang menjadi jalur dan tujuan mudik.

Ini 3 Masalah yang Bikin Investor Asing Migas Hengkang dari Indonesia

Kontan.co.id; 08 Mei 2023

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pendiri Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan ada tiga hal yang membuat iklim investasi hulu migas Indonesia kurang kompetitif.

Tiga faktor ini yang membuat Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Asing dalam beberapa tahun belakangan pada hengkang dari sektor hulu migas tanah air.

“Ketiga hal tersebut ialah kepastian hukum lemah, fiskal keekonomian rendah dalam pengembalian investasi, dan birokrasi perizinan yang berlapis,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Senin (8/5).

Maka itu, dia menegaskan bahwa Revisi Undang-Undang (RUU) Migas perlu segera dibahas dan diselesaikan antara DPR dan pemerintah. Menurutnya, ini adalah sinyal bagi iklim investasi, seberapa serius Indonesia menyelesaikan tiga persoalan utama tersebut.

Jika tiga persoalan utama tadi tidak diatasi, target produksi 1 juta barel minyak bumi dan 12 miliar kaki kubik gas bumi per hari di 2030 tidak akan bisa dicapai.

“Menjaga tingkat produksi saat ini saja akan kesulitan,” ujarnya.

Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001 (UU Migas 22/2001) yang masih digunakan saat ini telah meniadakan keistimewaan dalam pengelolaan migas saat ini, di antaranya prinsip Assume and Discharge, pemisahan Production Sharing Contract Agreement (PSC) dengan Keuangan Negara serta Single Door Bureaucracy.

Menurut dia, ketentuan pada UU Migas No 22 Tahun 2001, pengelolaan keuangan kontrak PSC masuk dalam bagian dari pengelolaan keuangan negara karena pihak yang mewakili negara dalam berkontrak merupakan instansi pemerintah.
Hal itu berpotensi memunculkan berbagai dampak negatif, seperti persepsi yang cenderung negatif terkait besaran pengembalian biaya operasi (cost recovery), kaitan cost recovery dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), serta tereksposenya para pihak dalam kontrak PSC dengan hukum karena kerugian investasi migas dapat dianggap merugikan negara.

Selain itu, pasal 31 UU Migas No 22 Tahun 2001 mengatur bahwa perpajakan kontrak PSC mengikuti ketentuan perundang-undangan yang berlaku umum (lex generalis) sehingga para kontraktor PSC dikenakan ketentuan fiskal PSC non assume and discharge.

Pri melihat memang ada upaya untuk memperbaiki hal tersebut oleh pemerintah, salah satunya melalui mekanisme restitusi pajak dan penetapan tarif 0% atas jenis pajak atau pungutan tertentu.

Namun, secara teknis dan administrasi hal itu tetap dapat menimbulkan ketidakpastian dalam penerapan aspek fiskal bagi kontrak PSC. “Hal ini tentu berpengaruh kepada iklim investasi migas Indonesia dan daya tarik investasi,” ujar dia.

Di sisi lain, ke depannya investasi hulu migas pun juga akan mengalami tantangan yang besar karena adanya tren transisi energi. Pri menilai, RUU Migas juga harus mengadopsi isu transisi energi di dalamnya, salah satunya mengatur adopsi teknologi CCS/CCUS sebagai kesatuan integral dari operasi perminyakan dan biaya operasi.

Pasalnya, biaya untuk mengadopsi CCS/CCUS sangat besar, maka diperlukan insentif yang lebih menarik dan kepastian hukum jika pemerintah mau menarik minat KKKS asing ke Indonesia.

“Butuh banyak terobosan kebijakan seperti kontrak khusus untuk lapangan berumur tua (mature). Makanya perlu landasan hukum yang kuat. Di situ relevansinya revisi UU migas perlu segera dibereskan,” tandasnya.

Aturan Pembelian Pertalite Masih Uji Coba

Kompas.com; 3 Mei 2023

Uji coba kali ini difokuskan pada penggunaan kode QR. Untuk yang membeli pertalite tanpa kode QR akan diarahkan untuk mendaftar. Uji coba dilaksanakan di empat provinsi yaitu Aceh, Bangka Belitung, Bengkulu, dan Papua.

JAKARTA, KOMPAS – Wacana pengaturan pembelian maksimal bahan bakar minyak atau BBM jenis pertalite memasuki tahap uji coba. Sejumlah kabupaten/kota di empat provinsi kini menerapkan pembelian pertalite maksimal 120 liter per hari untuk yang menggunakan kode respons cepat atau QR dari sistem MyPertamina. Sementara tanpa kode QR, hanya dapat membeli 20 liter per hari.

Hal itu diungkapkan Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Saleh Abdurrahman saat dihubungi di Jakarta, Rabu (3/5/2023). Dia mengatakan, pengaturan pembelian maksimal belum secara resmi ditetapkan karena revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 masih dalam proses.

Dalam aturan itu, berisi tentang penyediaan, pendistribusian dan harga jual eceran BBM termasuk juga petunjuk teknis pembelian BBM bersubsidi dan penugasan. Seperti diketahui, pertalite merupakan BBM penugasan yang harganya ditetapkan pemerintah.

”Untuk pertalite, harga dan kuota konsumsi ditetapkan pemerintah. Harga (pertalite) Rp 10.000 per liter dan kuotanya sebanyak 32,56 juta kiloliter pada 2023. Padahal, harga aslinya bisa Rp 15.000 per liter, sehingga selisih harganya, yang disebut kompensasi, perlu dibayar pemerintah kepada Pertamina,” ujar Saleh.

Uji coba yang dilakukan Pertamina dilakukan pada seluruh jenis kendaraan yang mengonsumsi pertalite menggunakan metode pembayaran tunai atau nontunai. Kode QR tersebut didapatkan melalui situs subsiditepat.mypertamina.id atau melalui aplikasi MyPertamina di ponsel pintar. Untuk pembelian tanpa kode QR akan dibatasi jumlah maksimalnya, sedangkan menggunakan kode QR dapat disesuaikan kebutuhan.

Hingga April 2023, sebanyak 9,26 juta kiloliter atau 28,44 persen dari kuota 32,56 juta kiloliter pertalite telah disalurkan ke stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU). Oleh karena itu, lanjut Saleh, kompensasi yang perlu dibayarkan pemerintah harus tepat sasaran agar kuota pertalite dapat cukup hingga akhir tahun. Penggunaan kode QR dalam transaksi pertalite diharapkan mampu mendorong ketepatan sasaran anggaran subsidi.

Kode QR itu memuat beragam informasi, seperti identitas pemilik, nomor polisi (nopol), serta jenis dan kapasitas kendaraan. Beragam data itu akan menentukan apakah sebuah kendaraan berhak mendapatkan pertalite dan jumlah yang dapat dibelinya dalam sehari.

Sekretaris Perusahaan PT Pertamina Patra Niaga Irto Ginting menuturkan, uji coba kali ini difokuskan pada penggunaan kode QR. Untuk yang membeli pertalite tanpa kode QR akan diarahkan untuk mendaftar. Uji coba dilaksanakan di empat provinsi yaitu Aceh, Bangka Belitung, Bengkulu, dan Papua.

Baca juga: Rencana Pengendalian Subsidi Pertalite dan Elpiji 3 Kilogram Belum Tuntas

”Untuk BBM bersubsidi ini ada kuota yang sudah ditentukan Pemerintah. Kami diamanahkan untuk menyalurkan BBM agar tidak melebihi kuota yang ditetapkan,” tutur Irto.

Dia juga mengimbau agar masyarakat bisa mendaftarkan kendaraannya melalui laman subsiditepat.mypertamina.id dan mendukung penyaluran subsidi BBM yang tepat sasaran. Sebab, hingga kini baru sekitar 6,5 juta orang yang mendaftarkan kendaraannya.

Tingkatkan cakupan pendataan

Menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, semangat dari kebijakan pengaturan pembelian pertalite sangat baik, yakni agar subsidi tepat sasaran dan menjaga kuota BBM nasional. Wacana pengaturan itu juga dinilai masih longgar karena boleh membeli hingga 120 liter pertalite per hari.

Jumlah itu, lanjut Komaidi, masih tergolong cukup untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Kini, tugas BPH Migas dan Pertamina adalah meningkatkan cakupan pendataan masyarakat dan penataan aplikasi pendukung.

”Jumlah pendaftar kendaraan, harus terus didorong oleh Pertamina dan lembaga terkait. Sebab, keberhasilan kebijakan bertumpu pada hal tersebut,” katanya.

Selain itu, kebijakan pengaturan pembelian BBM perlu memperhatikan dampak jangka pendek pada tingkat inflasi. Komaidi mencontohkan layanan ojek daring dapat terdampak kegiatan sehari-harinya akibat pembatasan pembelian BBM. Hal ini dapat berimbas pada layanan lain dan perlu diperhatikan secara matang.