Menakar Untung Rugi Jika Subsidi Energi Dialirkan ke Pertamax

Kontan.co.id; 27 Agustus 2023

JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelumnya mengemukakan sedang membahas secara internal opsi mengalirkan subsidi ke Pertamax (RON 92) untuk meningkatkan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) beroktan lebih tinggi dan emisi lebih rendah.

Dari sisi lingkungan, Pengamat Lingkungan Hidup Universitas Indonesia, Budi Haryanto menjelaskan wacana penghapusan Pertalite dengan memberikan subsidi ke Pertamax sangat bagus bagi kualitas udara. Sumber utama pencemar transportasi adalah emisi kendaraan akibat emisi BBM berkualitas rendah.

“Pertalite kualitasnya masih rendah, di bawah Standard Euro 2. Namun konsumsinya paling dominan dibandingkan BBM jenis lain. Sedangkan negara tetangga sudah pakai BBM standard Euro 4 dan negara maju bahkan sudah Euro 6,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Minggu (27/8).

Sebagai informasi saja, semakin tinggi standar Euro yang digunakan, maka akan semakin kecil batas kandungan gas karbon dioksida, nitrogen oksida, karbon monoksida, volatil hidrokarbon, dan partikel lain yang berdampak negatif pada manusia dan lingkungan.

Euro IV memiliki kandungan nitrogen oksida, bagi kendaraan berbahan bakar bensin tidak melebihi 80 milligram per kilometer, 250 miligram per kilometer untuk mesin diesel, dan 25 milligram per kilometer untuk diesel particulate matter. Singkatnya, Euro IV merupakan bahan bakar dengan kandungan sulfur nilai maksimal 50 ppm.

Adapun BBM Pertamina yang sudah lolos emisi Euro 4 ialah Pertamax dan Pertamax Turbo. Kandungan sulfur Pertamax maksimal 500 ppm, sementara kandungan sulfur Pertamax Turbo tidak lebih dari 50 ppm.

Budi menyatakan, jika pada akhirnya penghapusan Pertalite dilakukan, seharusnya pemerintah bisa menyediakan Pertamax atau Pertamax Turbo lebih banyak.

Namun, untuk mengurangi polusi, tidak bisa hanya bertumpu pada sektor transportasi saja. Menurutnya demi mengatasi situasi darurat kualitas udara di kota-kota besar, upaya yang bisa ditempuh ialah mengendalikan sumber pencemar secara serempak.

“Ini sangat penting untuk keberhasilan mengurangi polusi. Sektor transportasi, pembangkit PLTU dan industri manufaktur harus mengurangi emisinya serempak karena merupakan sumber utama polusi udara,” tegasnya.

Dari sisi fiskal, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro menyatakan dampak menggeser kompensasi BBM Pertalite ke Pertamax tergantung pada seberapa besar yang akan ditanggung pemerintah.

“Secara sederhana, seharusnya anggaran kompensasi energi akan lebih besar karena harga BBM Pertamax lebih mahal dari Pertalite yang RON-nya lebih rendah. Namun, segala sesuatunya masih tergantung subsidinya dan seperti apa mekanismenya,” ujarnya saat dihubungi terpisah.

Sejatinya, pergeseran konsumsi ke RON 92 tentu akan sejalan dengan yang diamanatkan pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengenai baku mutu emisi gas buang. Pada Permen itu, intinya mensyaratkan konsumsi BBM berkadar oktan di atas 91. Artinya, Pertamax memenuhi baku mutu itu.

Dari sisi lingkungan, menurut Komaidi, dampak peningkatan konsumsi Pertamax terhadap penurunan emisi tidak terlalu signifikan lantaran kadar oktannya hanya selisih dua, dari RON 90 ke RON 92.

Jika penurunan emisinya mau lebih signifikan, lanjut Komaidi, konsumsi energi fosil bisa digeser ke bahan bakar gas (BBG) yang beremisi paling rendah jika dibandingkan BBM dan batubara.

Analis Energi Institute of Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), Putra Adhiguna menambahkan, wacana pemberian subsidi ke Pertamax harus berhati-hati. Realitanya, penikmat subsidi BBM sebagian besar adalah golongan mampu sehingga perlu diperjelas target yang disasar Pemerintah.

Meski nantinya sudah dikucurkan subsidi, Putra melihat, sangat mungkin harga jual BBM Pertamax tetap lebih mahal dari Pertalite karena kadar oktannya yang lebih tinggi.

“Meski instrumen harga adalah faktor terkuat, namun pemerintah juga harus terus menelusuri mekanisme kendali lainnya,” ujarnya.

Putra memaparkan, menggeser konsumsi Pertalite ke Pertamax akan memberikan dampak bagi penurunan emisi di sektor transportasi. Tetapi menurutnya, juga penting untuk pemerintah mencoba lebih berani membatasi standard efisiensi konsumsi BBM kendaraan (fuel economy)

Berdasarkan studi, rata-rata kendaraan ringan Indonesia sekitar 40% lebih boros BBM dibanding di India dan ada korelasi erat antara konsumsi BBM dan emisi di jalanan.

“Tren semakin banyaknya mobil-mobil pribadi besar di jalanan Jakarta juga patut dipertanyakan bila Indonesia serius dalam mengendalikan konsumsi BBM-nya. Konsumen adalah aktor penting dalam konsumsi BBM namun produsen otomotif juga penting jadi sorotan karena merekalah ‘pembentuk’ dari pasar kendaraan,” ungkapnya.

Selain itu, lanjut Putra, pemerintah sebaiknya juga berhati-hati dalam menyematkan alasan lingkungan di balik setiap perubahan harga energi karena berpotensi membentuk sentimen negatif terhadap transisi energi ke depan.

Selain mengalihkan ke BBM beroktan tinggi, salah satu upaya pengurangan emisi di sektor transportasi bisa memanfaatkan biofuel.

Putra menyatakan, bioenergi dapat memiliki emisi lebih rendah namun perlu ada kejelasan mengenai sustainability dari rantai suplainya.

“Bioenergi bisa memiliki efek sampingan lain seperti peralihan fungsi lahan yang juga berimbas terhadap emisi, karenanya diperlukan sustainability governance yang kuat,” tandasnya.

Mengapa Harga Gas Non-HGBT Akan Naik?

Kontan.co.id; 17 Agustus 2023

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah akan menaikkan harga gas non Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT).

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai, harga gas memang fluktuatif dan pemerintah tidak dapat mempengaruhi pasar.

“Dalam bahasa ekonomi, kita berperan sebagai price taker atau penerima harga atau pihak yang tidak dapat menentukan dan mempengaruhi harga pasar. Artinya, kita mau tidak mau dalam posisi yang harus menerima harga,” kata Komaidi saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (17/8).

Komaidi menuturkan, problem di Indonesia bagian tengah dan barat yaitu biaya produksi semakin lama semakin meningkat karena tergantung pada lapangan-lapangan tua. Sehingga di ujung akan ada dampak, karena harga di hilir komponennya 70% – 75% dari hulu sehingga terdapat penyesuaian harga.

Apalagi, lanjut Komaidi, jika di blend di LNG mungkin di tempatnya seolah-olah murah namun setelah sampai di tempat, bisa lebih mahal karena ada biaya transportasi, biaya perubahan, legasifikasi, kemudian nanti ditranportasikan kembali melalui pipa.

Jika di hulu harganya naik kemudian LNG-nya juga mahal, menjadi logis kalau dilakukan penyesuaian harga. Namun, nanti jika harga turun, di hulu juga turun jadi akan disesuaikan kembali menjadi turun.

“Naik dan turunnya harga menjadi biasa asalkan berdasarkan prinsip bisnis yang wajar,” ujar Komaidi.

Sebelumnya, terdapat surat edaran dari PT Pertamina Gas Negara yang terbit akhir Juli 2023 terkait pemberitahuan rencana penyesuaian harga gas mulai 1 Oktober 2023.

Kenaikan harga gas non-HGBT cukup signifikan karena ada perubahan harga menjadi US$ 12,31 per MMBTU. Wacana kenaikan harga gas non HGBT dipicu oleh surat yang diterima oleh Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) dari PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN).

Perinciannya, bagi pelanggan gold, harga gas direncanakan naik dari semula US$ 9,16 per MMBTU menjadi US$ 11,89 per MMBTU. Kemudian, untuk pelanggan Silver (PB-KSv), kenaikan harga gas direncanakan dari sebelumnya US$ 9,78 per MMBTU menjadi US$ 11,99 per MMBTU.

Bbagi pelanggan Bronze 3 (PB-SBr3B) dari US$ 9,16 per MMBTU menjadi US$ 12,31 per MMBTU, sedang bagi pelanggan Bronze 2 (PB-SBr2) dari sebelumnya US$ 9,20 per MMBTU menjadi US$ 12,52 per MMBTU.

Sementara itu, bagi pelanggan Bronze 1 (PB-KBr1), perubahan harga gas direncanakan baru naik pada 1 Januari 2024, Kenaikan harganya dari semula Rp 6.000 per meter kubik (m3) menjadi Rp 10.000 per m3.

Reformasi Kebijakan Hulu Migas, Belajar dari Brasil-Malaysia

CNBCIndonesia; 11 Agustus 2023

Tak hanya menjadi masalah di Indonesia, produksi minyak dan gas global saat ini pun pada dasarnya bertumpu pada lapangan – lapangan yang sudah berumur (mature field) yang secara teknis telah melewati fase puncak produksinya. Tidak kurang, kontribusi mature field terhadap produksi migas global saat ini diperkirakan mencapai 70%.

Untuk menjaga dan meningkatkan tingkat produksi, peremajaan lapangan, melalui aktivitas eksplorasi dan upaya peningkatan perolehan migas tahap lanjut dilakukan. Semua aktivitas tersebut memerlukan investasi dan investasi memerlukan jaminan dan tingkat pengembalian (Return on Investment/ROI) yang menarik.

Oleh sejumlah negara, kondisi tersebut direspon dengan melakukan berbagai reformasi kebijakan pengelolaan hulu migas dengan memberikan perhatian lebih terhadap aspek keekonomian, khususnya di dalam pengelolaan mature field. Bentuk reformasi kebijakan yang dilakukan setiap negara secara umum bervariasi.

Namun dua prinsip utama yang dijadikan pegangan di dalam pengelolaan hulu migas global saat ini, dan khususnya di dalam peremajaan mature field saat ini adalah penerapan fleksibilitas di dalam pengusahaan dan kesediaan pemerintah untuk menurunkan bagian pendapatan langsungnya.

Tiga negara berikut, yaitu Brasil, Meksiko dan Malaysia adalah beberapa contoh negara yang tergolong progresif dan dapat dikatakan berhasil di dalam melakukan peremajaan lapangan migas mature melalui reformasi kebijakan hulu migasnya.

Brasil
Reformasi kebijakan hulu migas di Brasil dilakukan dengan mengubah prinsip pengelolaan hulu migasnya dari sistem monopoli menjadi lebih terbuka. Melalui Undang – Undang 12.351/2010, pemerintah Brasil menetapkan tiga jenis kontrak yang berlaku yaitu (1) konsesi, (2) kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract/PSC), dan (3) kontrak penugasan kepada Petrobras selaku BUMN.

Kontrak bagi hasil (PSC) diberlakukan terhadap area terbuka tertentu yang diprioritaskan oleh pemerintah Brazil sementara hak pengelolaan langsung atas wilayah migas tertentu diberikan kepada Petrobras. Dalam hal penawaran wilayah kerja, pemerintah Brasil menyelenggarakannya melalui dua mekanisme yaitu (1) annual regular bidding rounds, dan (2) open acreage.

Open Acreage merupakan sistem penawaran terbuka yang berlaku sepanjang tahun dan khususnya berlaku untuk mature field. Mekanisme ini dilakukan untuk mendorong pengelolaan mature field oleh pelaku kelas menengah-kecil.

Di dalam aspek fiskal, reformasi kebijakan yang dilakukan pemerintah Brasil di antaranya adalah melalui pemberian insentif fiskal berupa pengurangan beberapa jenis pajak khususnya untuk lapangan tua, pengurangan bagian pemerintah baik yang diperoleh dari bagi hasil maupun royalti dan melalui relaksasi atas penggunaan komponen dalam negeri.

Selain hal di atas, pemerintah Brasil juga menetapkan kebijakan berupa keterbukaan akses data (onshore data available for free), pendefinisian dan pengaturan khusus lapangan marjinal dan mature field di dalam kerangka regulasinya dan memberikan kemudahan perizinan lingkungan hidup untuk mengurangi beban fiskal. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, industri hulu migas di Brasil bertransformasi ke arah yang sangat positif.

Pada tahun 2022, produksi migas Brasil menjadi salah satu dari 5 besar produksi migas global. Selama periode 2012 – 2012, produksi minyak Brasil tercatat meningkat sekitar 3,8% per tahun.

Meksiko
Industri hulu migas di Meksiko dihadapkan dengan tren penurunan produksi yang cukup signifikan sejak tahun 2000. Hingga mendekati tengah tahun 2019, produksi migas Meksiko tercatat mengalami penurunan sekitar -3,8% per tahun.

Namun sejak September 2019, produksi migas Meksiko tercatat mulai menunjukkan tren pembalikan arah. Produksi minyak Meksiko pada tahun 2023 tercatat sudah mencapai 1,9 – 2 juta barel per hari, meningkat dari sebelumnya di kisaran 1,6 juta barel per hari di tahun 2019.

Untuk gas alam, produksi di tahun 2019 yang berada di kisaran 3,8 billion cubic feet per day (bcfd), meningkat menjadi 4,1 bcfd lebih di tahun 2023. Hal ini tidak lepas dari reformasi kebijakan hulu migas yang dijalankan Meksiko sejak 2013 lalu.

Pada 2013 Meksiko mereformasi konstitusinya di bidang energi untuk pertama kalinya sejak enam dekade terakhir. Perubahan mendasar yang dilakukan di dalam reformasi kebijakan tersebut adalah melalui penerapan fleksibilitas jenis kontrak di dalam pengusahaan hulu migas.

Undang – undang di bidang migas Meksiko yang baru menetapkan tiga bentuk kontrak yang berlaku yaitu (1) licence contracts, (2) kontrak bagi hasil (PSC), dan (3) service contract.

Di dalam aspek fiskalnya, beberapa butir prinsip yang diatur di antaranya adalah pemerintah Meksiko menerapkan government take yang bervariasi disesuaikan dengan tingkat keekonomian lapangan. Pembayaran royalti untuk minyak dan gas bersifat fleksibel memperhitungkan fluktuasi harga minyak.

Pemerintah Meksiko juga memberikan pengurangan pajak dan porsi bagi hasil bagi negaranya yang lebih rendah hingga 40%.

Malaysia
Malaysia termasuk negara yang berhasil menjaga tingkat produksi minyaknya di atas 500 ribu barel per hari sejak tahun 2000 lalu. Selama dua dekade terakhir, Kementerian Energi Malaysia terpantau terus melakukan inovasi melalui reformasi kebijakan untuk meningkatkan investasi dan produksi migasnya.

Sejak 2008, sistem PSC di Malaysia bervariasi dan disesuaikan dengan klasifikasi dan karakteristik lapangan. Pemerintah Malaysia memberlakukan berbagai jenis kontrak khusus untuk mature field.

Untuk jenis Risk Service Contracts (RSC) yang diterapkan untuk lapangan marjinal, pemerintah Malaysia memberikan perpanjangan pembebasan pajak dan pengurangan tarif pajak.

Untuk kontrak PSC Late Life Assets (LLA) yang diterapkan untuk lapangan mature dengan sumber daya kurang dari 30 juta barel minyak, pemerintah Malaysia menerapkan biddable item untuk bagian kontraktor dan memberikan jaminan pengembalian investasi kepada kontraktor dari hasil produksi dengan fixed percentage tanpa adanya pembayaran atau pungutan lain.

Pada kontrak PSC Small Field Assets (SFA) yang diberlakukan untuk lapangan dengan volume sumber daya kurang dari 15 juta barel minyak atau 200 BSCF gas, pemerintah Malaysia menerapkan biddable item untuk bagian negara dan kontraktor, termasuk dalam hal ini perhitungan biaya Capex, Opex, margin dan pajak yang harus ditanggung kontraktor.

Untuk perairan dangkal, pemerintah Malaysia memberlakukan Sallow Water Enhanced Profitability PSC (EPT PSC) dengan cost recovery ditetapkan pada 70% dari produksi kotor untuk mempercepat pemulihan biaya.

Sisa produksi setelah pembayaran tunai dan cost recovery diperlakukan sebagai keuntungan yang dibagi antara Petronas dan kontraktor berdasarkan mekanisme bagi hasil yang disesuaikan sendiri. Pemerintah juga memberikan penghapusan pembayaran supplementary payment (SP) dan threshold volume (THV) atas hasil produksi yang ada.

Penerapan di Indonesia
Dari berbagai pilihan bentuk reformasi kebijakan hulu migas dari ketiga negara sebagaimana dipaparkan di atas, beberapa di antaranya seperti halnya penerapan kontrak khusus, penerapan biddable items untuk berapa bagian negara dan kontraktor, penambahan bagian kontraktor, hingga penghapusan pajak-pajak dan pembayaran tertentu, sangat relevan untuk dapat diterapkan di lapangan-lapangan migas mature di Indonesia.

Hingga tahun 2021/2022 tercatat sekitar dari 36% – 38 % porsi produksi minyak nasional tercatat berasal dari lapangan – lapangan yang telah beroperasi lebih dari 50 tahun, dengan rincian Wilayah Kerja (WK) Rokan dengan porsi sekitar 24,61 %, WK Offshore Southeast Sumatra (OSES) dengan porsi sekitar 3,64 %, WK Offshore North West Java (ONWJ) dengan porsi sekitar 4,06 %, WK Mahakam dengan porsi sekitar 4,06% dan WK Kalimantan Timur dengan porsi mendekati 2%.

Sementara untuk produksi gas, hingga tahun 2021/2022 masih mengandalkan lapangan – lapangan yang telah berproduksi lebih dari dua dekade seperti wilayah kerja Corridor dengan porsi sekitar 14,0 %, wilayah kerja Mahakam dengan porsi sekitar 8,0 %.

Kelangsungan operasi dari lapangan-lapangan tersebut sangat bergantung pada kelayakan keekonomiannya yang seiring waktu akan terus menurun. Insentif fiskal yang cukup sangat diperlukan untuk menjaga tingkat keekonomian pengelolaan lapangan-lapangan tersebut agar tetap dapat beroperasi dan berproduksi menopang produksi migas nasional.

Harga Gas Dipatok US$6 Per MMBTU Bukan Solusi Utama Tingkatkan Daya Saing Industri

DuniaEnergi.com; 8 Agustus 2023

JAKARTA – Pemerintah didorong mengkaji lebih luas upaya meningkatkan daya saing industri dan tidak bertumpu atau mengandalkan pada satu faktor saja. Pasalnya banyak faktor untuk meningkatkan daya saing industri Indonesia seperti perizinan, bahan baku, tenaga kerja terampil dan mesin yang kompetitif, bukan hanya pada harga gas.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, mengatakan bahkan jika dirinci ada puluhan faktor yang membentuk harga gas industri.

Menurut dia pemerintah perlu berpikir ulang dalam menetapkan upaya yang tepat dalam meningkatan daya saing industri, agar tidak hanya terfokus di dalam konteks harga gas murah. Sebab dikhawatirkan jika upaya tersebut tidak tepat sasaran akan mengorbankan iklim investasi migas menjadi kurang kondusif.

“Itu satu aspek betul bahwa kalau harga gas murah maka daya saing secara relatif katakanlah akan naik tetapi perlu dilihat daya pengungkitya,” kata Komaidi dalam acara Energy Corner CNBC Indonesia, Selasa (8/8).

Memurutnya, berdasarkan catatan studi Reforminer Institute upaya meningkatkan daya saing industri dengan menunurunkan harga gas menjadi US$6 per MMBTU belum berdampak, hal ini tercermin pada serapan gas oleh industri belum optimal sesuai alokasi yang ditetapkan.

“Yang perlu dilihat begitu ada beberapa hal catatan dari kami studi yang kami lakukan selama implementasi harga gas khusus paling tidak selama 3 tahun terakhir itu serapannya selalu di bawah dari alokasi,” ujar Komaidi.

Pengorbanan negara atas kebijakan harga gas USD 6 per MMBTU menurut Komaidi sudah cukup besar, yaitu kehilangan PNBP mencapai Rp 30 triliun dalam tiga tahun, tapi sayangnya harapan agar industri memberikan kontribusi lebih tidak tercapai

“Sampai sejauh ini besaran yang dikorbankan oleh pemerintah dalam tanda petik karena kemudian pemerintah merelakan untuk bagian penerimaan negara dari PNBP gas berkurang itu belum sepadan dengan yang diterima dari tambahan penerimaan dari pajak dari sektor sektor industri penerima harga gas khusus tadi,” ungkap Komaidi.

Sementara itu, Elan Biantoro, Sekretaris Jenderal ASPERMIGAS, menilai dalam pelaksanaan kebijakan gas murah untuk industri memang perlu perlu diatur lagi sehingga tidak hanya salah satu pihak yang diuntungkan atau dirugikan.

“Itu yang agar diatur oleh pemerintah dan ini memang akan multi sektoral pembahasannya dari usptream sampai ke pembeli perlu ada koordinasi yang baik yang itu semuanya adalah otoritas pemerintah yang harus mengkoordinirnya,” ujar Elan.

Menurut Elan, rencana Pemerintah untuk memperluas cakupan sektor industri yang mendapatkan fasilitas harga gas US$6 per MMBTU, bisa diimplentasikan secara bertahap, disiapkan masa transisinya agar tidak memunculkan masalah dikemudian hari dan tercipta Multiplier effect bagi perekenonomian

“Itu pasti ada masa transisi yang kita persiapkan untuk menuju ke arah apa yang diinginkan gitu bahwa harga gas murah itu bahasa murahnya ya kita itu terjangkau oleh rakyat,” kata Elan. (RI)

Upaya Menekan Biaya Produksi Gas Bumi Bisa Jadi Disinsentif

Kompas.id; 5 Agustus 2023

JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dinilai perlu hati-hati dalam upaya menekan harga gas bumi di tingkat hulu karena hal itu bisa menjadi disinsentif serta mengurangi daya tarik investasi hulu migas. Situasi berpotensi makin runyam jika investasi berkurang sehingga produksi gas bumi dalam negeri tersendat. Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan kepentingan hulu-hilir gas bumi.

Sebelumnya, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (31/7/2023), digelar rapat terbatas yang membahas strategi besar pemanfaatan gas nasional. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif seusai rapat itu mengemukakan, operasional produksi gas bumi mesti efisien agar harga gas kompetitif dan mendukung perkembangan industri di dalam negeri (Kompas.id, 31/72023).

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, dihubungi di Jakarta, Sabtu (5/8/2023), mengatakan, lapangan migas di Indonesia umumnya sudah berusia tua (mature) sehingga biaya produksi akan lebih tinggi. Setiap lapangan migas memiliki kondisi yang berbeda. Ketidakseragaman itu perlu disikapi secara bijaksana oleh pemerintah.

”Tidak bisa sekadar, misalnya, ingin sampai ke ujungnya (harga gas bumi) 6 dollar AS per MMBTU (juta metrik british thermal unit). Tidak bisa seperti itu. Perlu rasional karena pemerintah perlu berdiri di atas semua kepentingan (hulu migas ataupun industri pemanfaat gas bumi),” ujar Komaidi.

Komaidi menyepakati bahwa harga gas bumi yang murah meningkatkan daya saing industri. Namun, jika industri hulu migas menjadi kurang diperhatikan dan tak berdaya tarik investasi, produksi gas bumi ke depan dikhawatirkan bakal menurun. Hal itu bisa menyebabkan pemenuhan kebutuhan gas bumi kelak mesti dipenuhi dengan impor.

”Kalau sudah impor, (harga) akan jauh lebih mahal lagi dan bisa tidak terkontrol. Misal, untuk lima tahun ke depan harga gas untuk industri 6 dollar AS per MMBTU tetapi setelah itu tak ada produksi dan harga menjadi ke 12 dollar AS per MMBTU. Lebih efisien boleh, tapi tak bisa dibuat angka absolut, misal harga maksimal sekian dollar AS per MMBTU,” ucapnya.

Sebelumnya, Menteri ESDM mengatakan, eksplorasi dan eksploitasi migas dalam rangka pemanfaatan potensi-potensi yang ada di dalam negeri diperlukan agar suplai gas untuk industri terjaga. Berkaitan dengan arahan dari Presiden Joko Widodo, ia pun telah diminta mengevaluasi kembali biaya produksi gas bumi (Kompas.id, 31/72023).

”Nanti akan ada tim antar-kementerian untuk mengevaluasi biaya-biaya yang dikeluarkan untuk bisa memproduksikan gas itu. Dengan demikian, kita bisa memastikan bahwa gas tersebut memang bisa betul-betul sesuai dengan biaya yang dikeluarkannya. Kita ingin menjadi negara yang kompetitif, terutama dengan negara-negara di ASEAN,” kata Arifin.

Pemerintah sebelumnya telah menerbitkan regulasi ”gas murah” untuk industri. Itu didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Gas Bumi, ada tujuh bidang industri yang mendapat insentif harga senilai 6 dollar AS per MMBTU. Ketujuh bidang industri itu yakni industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.

Bagi industri, kebijakan itu dirasa telah menyelamatkan sektor industri pengolahan dari dampak pandemi Covid-19 meski belum sepenuhnya optimal. Sebab, masih ada penyaluran volume gas di bawah kontrak akibat kendala pasokan. Namun, di tengah rencana perluasan industri penerima manfaat ”gas murah”, kebijakan itu dikhawatirkan membuat iklim investasi industri gas bumi menjadi tidak menarik.

Eksplorasi laut dalam

Di tengah perdebatan itu, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) berupaya meningkatkan aktivitas ekplorasi migas. Pada Juni 2023, Eni North Ganal Ltd yang merupakan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) melakukan tajak Sumur Geng North-1 di kedalaman air sekitar 1.950 meter di lepas pantai Cekungan Kutai.

Hal itu menjadi lanjutan seri pengeboran laut dalam di Indonesia. Pada 2022, Harbour Energy memulai pengeboran laut dalam sekaligus play opener di area Andaman, melalui pengeboran Sumur Timpan-1. Catatan SKK Migas, pengeboran itu membuahkan penemuan gas signifikan di perairan tersebut.

Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto, dalam keterangannya Jumat (4/8/2023), menekankan bahwa eksplorasi di laut dalam menjadi salah satu fokus penemuan cadangan migas ke depan. Hal tersebut dalam rangka memenuhi target produksi minyak 1 juta barel per hari dan gas 12 miliar standar kaki kubik per hari pada 2030.

Deputi Eksplorasi, Pengembangan, dan Manajemen Wilayah Kerja SKK Migas Benny Lubiantara mengatakan, di tingkat global, persaingan memperoleh investasi akan terus meningkat. ”Perlu perbaikan fiskal yang radikal untuk tetap menarik di pasar global karena setiap negara terus memperkenalkan term and condition fiskal yang lebih menarik,” ucapnya.

Penerapan Kebijakan Harga Gas Murah Perlu Kehati-hatian

Investor.id; 03 Agustus 2023

JAKARTA, investor.id – Reforminer Institute menilai rencana penerapan perluasan harga gas bumi murah untuk kalangan industri perlu kehati-hatian. Pasalnya, biaya implementasi untuk kebijakan harga gas bumi murah tersebut justru cukup besar.

“Sampai saat ini biaya untuk implementasi kebijakan hargangas bumi murah tercatat masih lebih besar dibandingkan dengan manfaat ekonomi yang telah diperoleh,” kata Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro dalam pernyataan tertulis, Rabu (02/08/2023).

Menurut Komaidi, studi ReforMiner juga menemukan bahwa kebijakan harga gas bumi murah belum tentu dapat secara otomatis menurunkan biaya produksi dan meningkatkan daya saing industri pengguna gas. Hal itu, kata dia, karena biaya produksi dan daya saing industri pengguna gas tidak hanya ditentukan oleh harga gas, tetapi ditentukan oleh sejumlah faktor.

Disebutkan bahwa level harga atau tinggi-rendahnya harga gas di Indonesia akan terkait dengan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari pengusahaan gas bumi. Semakin besar PNBP gas bumi yang diterima, maka harga gas bumi akan semakin mahal. Sebaliknya, semakin kecil PNBP gas bumi yang diterima, maka harga gas bumi dapat semakin murah.

Tinggi-rendahnya harga gas, ujar Komaidi, akan ditentukan oleh keekonomian lapangan. Semakin kecil skala gas yang diproduksikan, maka biaya produksi dan harga gas akan semakin mahal. Lokasi lapangan juga menentukan besaran biaya produksi gas.

“Produksi gas di wilayah remote atau di laut dalam akan memerlukan biaya yang lebih tinggi dibandingkan produksi gas di onshore dan pada wilayah yang lebih terjangkau,” ujarnya.

Kondisi pasar dan ketersediaan infrastruktur gas juga, lanjut Komaidi, akan menentukan tinggi-rendahnya harga gas. Kondisi pasar gas dengan pembeli yang terbatas dan volume pembelian yang kecil, akan menyebabkan harga gas menjadi lebih mahal.

“Keterbatasan ketersediaan infrastruktur gas juga dapat menyebabkan keekonomian proyek dan harga gas menjadi lebih mahal,” kata Komaidi.

Tinggi-rendahnya harga gas jelas Komaidi, akan memberikan sinyal mengenai keberpihakan pemerintah terhadap iklim investasi hulu gas. “Harga gas yang ditekan terlalu rendah dapat menyebabkan kegiatan usaha hulu gas tidak cukup menarik bagi produsen dan dapat menghambat pengembangan lapangan gas seperti yang telah terjadi pada pengembangan proyek Blok Natuna, IDD, dan Blok Masela,” jelasnya.

Adapun harga gas pada konsumen akhir yang ditekan cukup rendah juga menurut Komaidi, dapat memberikan sinyal negatif dan disinsentif untuk pengembangan infrastruktur gas di dalam negeri. Harga gas yang rendah, dapat menyebabkan insentif untuk usaha penyediaan infrastruktur gas di dalam negeri menjadi tidak cukup menarik.

“Pengembangan proyek infrastruktur pipa gas CISEM Tahap 1 dan 2 yang pada akhirnya harus dilaksanakan sendiri oleh pemerintah melalui APBN dengan menggunakan skema multi years contract (MYC), mengindikasikan bahwa usaha penyediaan infrastruktur gas belum cukup menarik bagi para pelaku usaha,” jelasnya.

Berdasarkan sejumlah poin yang telah disampaikan tersebut, menurut Komaidi, diketahui bahwa tinggi dan rendahnya harga gas dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Karena itu, kata dia, tidak hanya terkait dengan rencana perluasannya, tetapi implementasi kebijakan harga gas murah yang telah dilakukan sejak 2016 kiranya perlu ditinjau ulang.

“Definisi mengenai harga gas bumi murah tidak dapat hanya sekedar menggunakan acuan harga nominal yang ditetapkan US$ 6 USD/MMBTU di plant gate karena penetapan harga gas bumi pada dasarnya harus mempertimbangkan kepentingan industri hulu gas, usaha penyediaan infrastruktur gas, usaha niaga gas, dan kepentingan industri pengguna gas,” tegas Komaidi.

Sebelumnya di tempat terpisah, Ketua Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Yustinus Gunawan

menyatakan kenaikan harga gas bumi tertentu (HGBT) menjadi maksimal US$ 7 per MMBU bagi tujuh industri penerima manfaat yakni pupuk, petrokimia, baja, keramik, kaca, sarung tangan karet, dan oleokimia. Akan mengancam momentum pemulihan ekonomi yang sudah on track dan diperjuangkan cukup lama.

Yustinus menegaskan, kebijakan HGBT US$ 6 per MMBTU sangat penting bagi industri yang tengah berjuang untuk mengembalikan bisnis seperti sebelum pandemi. Terlebih, kebijakan harga gas US$ 6 per MMBTU baru akan berakhir tahun depan.

Pelaku usaha juga berharap adanya jaminan pasokan gas yang sesuai dengan kebutuhan industri. Hal itu penting di tengah upaya industri untuk ekspansi dan memanfaatkan peluang pertumbuhan seoptimal mungkin di era endemi saat ini.

“Kami harus melakukan investasi tambahan untuk mengejar ketertinggalan, sehingga harga gas US$ 6 per MMBTU perlu dipertahankan agar kita bisa pulih secara penuh,” ungkap Yustinus yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP).

Dalam hitungan Yustinus, kenaikan HGBT akan berdampak luas bagi industri. Peningkatan HGBT bakal menaikkan biaya produksi 3-6%, dan menghantam daya saing produk industri.

Sementara itu Ketua Umum Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto mengatakan, kenaikan HGBT di tengah melemahnya daya beli masyarakat, tentunya akan berdampak pada penjualan industri keramik dalam negeri.

\Perluasan Kebijakan Harga Gas Bumi Murah Dalam Rapat Terbatas (Ratas) yang dilaksanakan pada 31 Juli 2023, Presiden Jokowi memerintahkan Menteri ESDM Arifin Tasrif untuk mengevaluasi biaya produksi gas bumi agar harga jual ke industri menjadi kompetitif, terutama dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asean. Perintah tersebut merupakan bagian dari rencana perluasan kebijakan harga gas bumi murah yang telah diimplementasikan sejak tahun 2016. Sebelumnya, Menteri ESDM telah mengeluarkan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 91 Tahun 2023 yang berlaku mulai 19 Mei 2023, tentang HGBT yang naik dari US$ 6 per MMBTU menjadi maksimal US$ 7 per MMBTU. Aturan tersebut mengeliminir Kepmen Nomor 134 Tahun 2020 yang menetapkan HGBT sebesar US$ 6 per MMBTU.