Sektor Hulu Dinilai Perlu Badan Usaha Khusus untuk Gantikan SKK Migas, Ini Alasannya

Kontan.co.id; 24 September 2023

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pengamat menilai Badan Usaha Khusus (BUK) pengganti SKK Migas sangat diperlukan agar pengusahaan migas yang bersifat business to business (B2) dapat lebih fleksibel, tidak birokratis, dan terpisah dari sistem keuangan negara.

Sedikit kilas balik, SKK Migas terbentuk sebagai pengganti BP Migas yang dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2012 silam. SKK Migas lantas berdiri lewat Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Beleid ini dipandang belum bisa menjadi dasar hukum yang kuat bagi eksistensi SKK Migas.

Ekonom Energi sekaligus pendiri ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto menjelaskan, secara umum sistem model kelembagaan dalam pengelolaan hulu migas harus sinkron dengan jenis kontrak yang digunakan.

“Nantinya sistem dan kelembagaan tersebut memungkinkan dijalankannya tiga prinsip yakni penyederhanaan perizinan usaha dan kegiatan operasional hulu migas, prinsip assume and discharge dalam perpajakan, dan prinsip pemisahan keuangan pengusahaan hulu migas dengan keuangan negara,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Minggu (24/9).

Lebih lanjut, Pri Agung menjelaskan, prinsip penyederhanaan perizinan usaha dan perizinan kegiatan operasional hulu migas ini akan menjadi satu atap (satu pintu).

Kemudian, prinsip assumme & discharge dalam perpajakan ialah kontraktor dibebaskan dari pajak-pajak tidak langsung. Sedangkan Pajak Penghasilan (Pph) dan Penghasilan Negara Bukan Pajak (PNBP) dapat dipungut melalui lembaga khusus tersebut.

Prinsip pemisahan keuangan pengusahaan hulu migas dengan keuangan negara ialah persoalan investasi dan bagi hasil hulu migas adalah persoalan bisnis yang semestinya dipisahkan dari sistem pengelolaan keuangan negara dan APBN.

“Jadi, sederhananya, model yang memungkinkan untuk mengakomodir tiga prinsip itu, ialah yang sinkron dengan sistem kontrak kerja sama yang kita gunakan saat ini adalah model lembaga badan usaha khusus (BUK),” terangnya.

Badan usaha khusus diperlukan agar pengusahaan hulu migas yang bersifat B2B dapat lebih fleksibel, tidak birokratis, dan terpisah dari sistem keuangan negara.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji menceritakan, dirinya beberapa kali ditanyakan investor perihal posisi SKK Migas saat ini yang masih berbentuk special task force (satuan kerja khusus) yakni badan usaha sementara. Persoalan ini kerap mencerminkan ketidakpastian usaha di Indonesia.

“Investor itu harus ada kepastian berinvestasi di Indonesia. Sebenarnya investor yang ada di sini berpikirnya kan sekarang sudah berjalan dengan SKK Migas, lalu mau diapain lagi? Jadi tidak mau ada perubahan. Supaya halus perubahannya, dilakukan perubahan sedikit saja. Dari SKK Migas menjadi apa, jadi lebih mudah menganalogikannya,” jelasnya dalam rapat dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Selasa (29/8).

Tutuka mengungkapkan, cukup banyak masukan yang datang perihal kelembagaan SKK Migas. Namun dirinya lebih menyoroti pentingnya memutakhirkan substansi kebijakan hulu migas melalui Revisi Undang-Undang (RUU) Migas.

Dirjen Migas menyatakan, saat ini investor hulu migas tidak bergairah datang ke Indonesia karena tingkat pengembalian investasi di sini lebih rendah dibandingkan negara lain. Tutuka memberikan gambaran, di negara lain internal rate of return (IRR) sudah mencapai 20% sedangkan di Indonesia baru 10%.

“Investasi di Indonesia agak sulit, ini yang diperbaiki. Maka kami mengubah UU ini supaya komparatif naik, fiscal term dan skema bisnis diubah supaya iklim bisnis lebih baik. Investor bisa masuk, nyaman di sini, eksploitasi, eksplorasi bisa lama sehingga bisa betah di sini,” ujarnya.

Tutuka menyebut, saat ini KKKS besar yang tersisa di Indonesia hanya tiga yakni ENI, Exxon, dan BP. Jika peraturan hulu migas masih saja tidak berubah, dia melihat, daftar perusahaan yang hengkang bisa saja bertambah.

Kepala SKK Migas, Dwi Soetjipto menjelaskan, revisi UU Migas sangat penting untuk mencapai target pemerintah di 2030 dan mengikuti perubahan atau dinamika global yang mengarah pada industri berkelanjutan.

“Melalui RUU Migas diharapkan bisa memasukkan teknologi Teknologi Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) dan Enhanced Oil Recovery (EOR) sehingga tidak menjadi perdebatan mengenai kedua aspek ini apakah masuk pada petroleum operation atau tidak,” jelasnya beberapa waktu lalu.

Kemudian, melalui revisi kebijakan, penemuan cadangan migas besar bisa lebih tumbuh. Menurutnya, kegiatan eksplorasi migas sangat berisiko sehingga jika beban-beban banyak diurus oleh investor, maka eksplorasi migas di Indonesia belum menarik.

“Dalam industri migas, butuh investasi besar sebagai ketahanan energi kompetitif dan ini yang telah kami sampaikan jadi butuh badan kelembagaan pengelolaan hulu migas yang kuat,” tegasnya.

Pada 31 Agustus lalu, Tim Ahli Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menyampaikan ada 73 pasal perubahan atas RUU tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas) hasil dari kajian Panitia Kerja (Panja).

RUU Migas telah memenuhi syarat formil untuk diajukan karena RUU tersebut masuk dalam kategori dalam RUU Daftar Kumulatif Terbuka atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana tercantum dalam Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2023 dan telah disertai dengan Naskah Akademik.

Berdasarkan kajian secara keseluruhan yang mencakup aspek teknis, substansi dan asas-asas, pada prinsipnya RUU tentang Migas yang diusulkan oleh Komisi VII DPR RI terdiri dari beberapa pasal, kurang lebih ada 73 pasal perubahan dengan rincian sebagai berikut.

Ada 31 pasal yang dilakukan perubahan yaitu pasal 1 sampai dengan pasal 58, kemudian ada 1 pasal yang sifatnya menghapus, ada 41 pasal yang sifatnya sisipan baru. Serta ada beberapa judul dari bab-bab yang ada dalam UU nomor 22 tahun 2001 tersebut dilakukan perubahan sekaligus juga penyempurnaan dan penambahan yaitu BAB VA, BAB VIA, BAB IX, BAB IXA, BAB IXB, BAB IXC, BAB IXD, dan BAB IXE.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Baleg selanjutnya melakukan kajian yang meliputi aspek teknis, aspek substansi dan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Kajian dilakukan secara komprehensif dari mulai judul sampai dengan penjelasan.

Harga Minyak Dunia Memanas, Subsidi BBM Tertutup Perlu Dimatangkan

Bisnis.com; 19 September 2023

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah dinilai perlu untuk segera menerapkan sistem subsidi tertutup dan langsung untuk komoditas bahan bakar minyak (BBM) seiring fluktuasi harga minyak dunia. Ekonom energi sekaligus pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto berpendapat rebound harga minyak mentah dunia belakangan ini bakal berdampak signifikan pada anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Konsekuensiya, subsidi dan kompensasi yang disalurkan tidak akan efisien untuk meredam dampak negatif dari kenaikan harga energi primer saat ini.

“Sistem subsidi tertutup dan langsung kepada pengguna akhir mesti dimatangkan dan dimantapkan untuk bisa diimplementasikan. Sistem insentif langsung untuk mendukung sektor industri dan perekonomian secara luas juga perlu,” kata Pri saat dihubungi, Selasa (19/9/2023).

Seperti diketahui, harga minyak mentah naik ke level tertinggi dalam 10 bulan karena pasar fisik menunjukkan tanda-tanda pengetatan yang didorong oleh pengurangan pasokan dari para pemimpin OPEC+.

Harga minyak mentah West Texas Intermediate naik di atas US$92 per barel setelah ditutup 0,8 persen lebih tinggi pada hari Senin, (19/9/2023). Sementara itu, harga minyak Brent untuk kontrak November ditutup 0,5 persen lebih tinggi pada US$94,43 per barel.

Harga melonjak karena penyulingan berjuang untuk menghasilkan cukup solar menjelang peningkatan permintaan musiman. Pasar yang lebih ketat telah mendorong prediksi dari CEO Chevron Corp. Mike Wirth bahwa minyak akan kembali mencapai level US$100 per barel.

Harga minyak mentah telah meningkat lebih dari 30 persen sejak pertengahan Juni karena Arab Saudi dan Rusia membatasi ekspor ke pasar global dalam upaya untuk menguras persediaan dan mendorong kenaikan harga. Membaiknya prospek di dua perekonomian terbesar dunia – Amerika Serikat dan China – juga mendukung kemajuan minyak.

“Imbas kenaikan harga migas di sisi energi primer cepat lambat akan tertransmisikan ke sektor midstream dan hilir, hal tersebut tidak hanya berlaku di tingkat global, tetapi juga berlaku di Indonesia, akan terasa imbasnya di dalam perekonomian secara luas,” kata Pri.

Sebelumnya, CEO Saudi Aramco Amin Nasser bersikap optimistis terhadap prospek permintaan minyak dan meremehkan perkiraan lain mengenai seberapa cepat dunia akan mengurangi konsumsi minyak mentah. Nasser memperkirakan rekor penggunaan 103 juta hingga 104 juta barel per hari pada paruh kedua tahun ini, dengan permintaan meningkat menjadi 110 juta pada tahun 2030. Hal ini memberikan tanggung jawab pada industri untuk terus mengembangkan sumber produksi baru, daripada menguranginya.

Jeda dalam belanja eksplorasi dan produksi setelah penurunan permintaan energi yang disebabkan oleh pandemi pada tahun 2020 salah satu penyebabnya adalah melonjaknya harga minyak dan gas alam yang mengguncang dunia tahun lalu setelah invasi Rusia ke Ukraina. “Kita perlu berinvestasi,” kata Nasser. “Jika tidak, dalam jangka menengah dan panjang, kita akan mengalami krisis lagi dan kita akan mengalami kemunduran dalam hal penggunaan lebih banyak batu bara dan produk-produk murah lainnya yang tersedia saat ini. Dan semua upaya dekarbonisasi ini akan sia-sia,” kata dia.

Wacana Pemadaman PLTU Industri demi Tekan Polusi, Ini Risikonya

Bloomberg Techno.com; 5 September 2023

Pakar energi memperingatkan pemerintah agar tidak gegabah ‘memaksa’ penutupan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara milik industri agar beralih menggunakan fasilitas sejenis milik PT PLN (Persero).

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan penutupan PLTU batu bara untuk industri perlu didiskusikan lebih lanjut dengan para pemilik dan penggunanya lantaran keberadaannya sangat memengaruhi produktivitas manufaktur.

“[PLTU industri memiliki] captive power-nya sendiri. Perusahaan, industri, dan pabrik-pabrik. Mereka biasanya punya pembangkit sendiri. Artinya, untuk stabilitas kegiatan produksi barang, mereka menggunakan pembangkit sendiri supaya bisa dikontrol agar tingkat kerugian –jika ada pemadaman dan sebagainya– bisa dikalkulasi. Tujuannya itu sebenarnya,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (5/9/2023).

Komaidi mengatakan terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan pemerintah jika menghendaki industri beralih menggunakan PLTU milik PLN. Pertama, keandalan pasok pembangkit milik perusahaan pelat merah tersebut dalam mengaliri listrik skala industri.

Kedua, pertimbangan harga yang harus lebih kompetitif dibandingkan dengan menggunakan PLTU milik sendiri. “Ini perlu dihitung karena berpengaruh ke struktur biaya [industri]. Saya kira itu dari aspek ekonomi,” ujarnya.

Ketiga, dari aspek lingkungan, pemerintah perlu memastikan PLTU milik PLN lebih ramah daripada milik industri.

“Sebetulnya relatif karena kan sebagian besar, sekitar 70%—75%, lilstrik PLN diproduksi PLTU batu bara. Bahwa kemudian tidak 100%, iya betul, karena 30% diproduksi dari [sumber energi] lain; bahan bakar minyak, gas, energi terbarukan,” jelasnya.

Secara kasat mata, lanjutnya, bisa saja beralih menggunakan PLTU miliki PLN lebih ramah lingkungan lantaran PLTU milik industri mayoritas 100% berbasis batu bara dengan gas buang atau emisi lebih tinggi dibandingkan dengan milik PLN.

“Kalau [emisinya] diharapkan turun sedemikian rupa, saya kira gambarannya itu tadi; PLTU industri pakai 100% batu bara, sedangkan PLTU PLN pakai 70% batu bara. Lebih baik 30% dibandingkan dengan PLTU industri sendiri yang pakai batu bara,” terang Komaidi.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pemerintah tengah mengkaji kemungkinan memberikan insentif bagi industri yang menutup PLTU-nya dan beralih menggunakan PLTU milik PLN.

Persoalan PLTU industri menjadi sorotan belakangan ini lantaran dituding sebagai salah satu penyebab memburuknya kualitas udara di DKI Jakarta dan sekitarnya. Menteri KLH Siti Nurbaya menyebut jika sumber pencemaran udara di wilayah Jabodetabek disebabkan oleh emisi transportasi sebesar 44%, dan 34% melalui PLTU.

Bagaimanapun, pada kesempatan terpisah, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir membantah PLTU merupakan biang keladi polusi udara di Ibu Kota. Dia mencontohkan, meski pemerintah sudah berupaya mengurangi polusi dengan menyuntik mati sebagian PLTU Suralaya di Cilegon, Banten; langkah tersebut terbukti tidak berpengaruh signifikan terhadap kualitas udara yang masih buruk hingga kini.

“Oke, [mungkin] PLTU sekarang disalahkan. Kita matikan Suralaya 1,2,3, dan 4. Namun, di data terakhir, [penutupan PLTU itu] tidak mengurangi polusi ternyata,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR, Kamis (31/8/2023).

Anggota Komisi VII DPR RI Andi Yuliani Paris juga berpendapat mematikan PLTU Suralaya sekalipun tidak akan serta-merta memperbaiki isu polusi Jakarta.

Dia lantas mengutip paparan dari Profesor Puji Lestari yang menegaskan bahwa PLTU tidak menyumbang polusi udara.

“Profesor Puji Lestari tadi, dari ITB, yang diminta oleh PLTU Suralaya ini untuk mengonfirmasi, memperbandingkan ada bench pakai, per bulan, ternyata memang tidak terbukti bahwa PLTU Suralaya memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap polusi udara Jakarta,” katanya.

Dengan demikian, dia pun mengimbau kepada sejumlah kepala daerah basis industri di sekitar Jakarta –seperti Bekasi, Karawang, dan Cikarang– untuk memetakan wilayah-wilayah industri dan memperbaiki tata ruang kotanya.

Harga Gas Bumi Domestik dan Prinsip Dasar Kebijakannya

Investor Daily; 31 Agustus 2023

Pandangan yang sering mengemuka di publik menyangkut harga energi – termasuk harga gas bumi – di tanah air pada umumnya cenderung mengarah pada prinsip bahwa harga haruslah murah (rendah) secara nominal. Tidak hanya di publik kebanyakan, kecenderungan pandangan yang sama tampaknya juga melingkupi sebagian para penyelenggara pemerintahan sehingga mempengaruhi kebijakan yang diambil. Penurunan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) untuk industri yang telah diterapkan sejak kurang lebih awal 2020 lalu adalah salah satu wujud bentuk kebijakan yang secara langsung maupun tak langsung dipengaruhi oleh pandangan itu. Harga nominal maksimal 6 USD/MMBTU di titik pengguna akhir dianggap cukup untuk menjadi insentif dan pendorong daya saing sektor industri konsumen gas nasional. Harga di atas 6 USD/MMBTU, dengan kata lain, secara tidak langsung dianggap tinggi (mahal), sehingga perlu diturunkan atau ditetapkan dan dibatasi lebih rendah.

Tingkat Competitiveness Harga Gas Domestik

Merujuk data Kementerian ESDM (2020), harga gas hulu Indonesia tercatat berada pada kisaran 3,40 – 8,24 USD/MMBTU, sementara biaya transmisi berkisar antara 0,02 – 1,55 USD/MMBTU, biaya distribusi 0,20 – 2,00 USD/MMBTU, biaya niaga 0,24 – 0,58 USD/MMBTU, dan iuran usaha 0,02 – 0,06 USD/MMBTU. Di sektor hulu, rentang harga gas tersebut tercatat cukup kompetitif dibandingkan negara lain. Tingkat harga gas hulu di Malaysia berada pada kisaran 2,4 – 6,9 USD/MMBTU, di Thailand berada pada kisaran 3,74 – 8,10 USD/MMBTU, Vietnam ada pada kisaran 2,50 – 8,70 USD/MMBTU dan Myanmar ada pada kisaran 3,80 – 5,50 USD/MMBTU. Di midstream, berdasarkan data International Gas Union, pada tahun 2022 besar biaya midstream dalam menyalurkan gas sampai ke pengguna akhir di tanah air berada pada kisaran 2 – 2,8 USD/MMBTU, sementara di sejumlah negara di wilayah Asia berkisar antara 0,5 – 26 USD/MMBTU sampai di titik pengguna.

Secara umum, dapat dikatakan bahwa di tingkat global, posisi harga gas bumi Indonesia di tingkat pengguna akhir, baik untuk harga gas yang ditetapkan melalui kebijakan HBGT maupun harga gas yang ditentukan melalui mekanisme B to B (Business to Business), pada dasarnya masih berada pada level moderat dibandingkan negara lainnya. Untuk harga gas di tingkat pengguna akhir yang ditetapkan melalui kebijakan HBGT (6 USD/MMBTU), harga gas domestic tercatat lebih rendah dibandingkan Thailand, China, Jepang dan Korea Selatan. Sementara untuk yang ditetapkan melalui mekanisme B to B, harga gas Indonesia tercatat relatif masih cukup bersaing dengan sejumlah negara di kawasan Asean seperti Thailand, Singapura dan Malaysia.

Studi sebelumnya dari ReforMiner Institute (2017) juga menemukan bahwa sebelum penerapan kebijakan HGBT, harga gas Indonesia di tingkat pengguna akhir pada dasarnya memang relatif bersaing dengan negara lain di kawasan Asia Tenggara (ASEAN). Rata – rata harga gas Indonesia di tingkat pengguna akhir pada periode 2014 – 2016 berada pada kisaran 7,1 – 7,6 USD/MMBTU.

Prinsip Dasar Kebijakan Harga Gas

Level harga gas di setiap negara pada dasarnya memang dapat berbeda-beda, tergantung pada banyak faktor tekno-ekonomi yang membentuk mempengaruhinya dan juga ditentukan oleh faktor kebijakan – pasar, subsidi, pajak – dan mekanisme yang diterapkan setiap pemerintahannya di dalam pemberlakuannya. Namun, di setiap negara, level harga gas secara prinsip selalu tetap berpijak dan mempertimbangkan tingkat keekonomian yang layak pada seluruh mata rantai sektor yang terkait di dalam penyediaannya. Dari mulai keekonomian yang layak di sisi suplai di hulu, baik suplai yang berasal dari impor ataupun suplai yang bersumber dari produksi dan pengembangan lapangan gas, keekonomian yang layak di sisi midstream dalam hal penyaluran gas baik melalui transmisi dan distribusinya, maupun di sisi keterjangkauan dan proporsionalitas kemanfaatan ekonominya di sisi pengguna akhir. Jadi, penetapan dan pemberlakuan harga gas tidak hanya melihat satu aspek pada berapa secara nominalnya di level pengguna akhir saja.

Kelayakan keekonomian di sektor hulu perlu dipenuhi untuk menjaga keberlanjutan suplai gas itu sendiri. Suatu lapangan gas tidak akan diproduksikan jika keekonomian pengembangan lapangannya tidak terpenuhi. Investasi untuk eksplorasi dan produksi, bagi penemuan cadangan gas dan bagi pengembangan lapangannya tidak akan bergulir jika harga gas yang diberlakukan ditekan terlalu rendah. Harga gas di hulu tetap perlu dijaga pada level yang menjamin tingkat pengembalian investasi yang menarik bagi investor hulu. Dengan karakteristik segmen hulu yang secara relatif lebih padat modal padat teknologi dan lebih berisiko – potensi kegagalan eksplorasi tinggi -, pemberlakuan harga gas di hulu semestinya lebih didasarkan atas prinsip ekonomi willingness to sell – willingness to buy antara masing-masing entitas pelaku usaha (B to B) dan bersifat dinamis dari waktu ke waktu. Kebijakan pengaturan sebaiknya bersifat makro dan tidak menetapkan suatu batas angka tertentu yang rigid, statis, apalagi rendah secara nominal.

Kelayakan keekonomian di midstream sangat diperlukan untuk menjamin keberlangsungan penyaluran dan serapan gas di pengguna akhir itu sendiri. Biaya penyaluran di midstream, baik dalam hal transmisi dan distribusi maupun dalam mode penyaluran lainnya perlu dijaga pada level yang membuat industri midstream tidak hanya cukup bisa bertahan hidup tetapi juga mampu berekspansi untuk mengembangkan infrastruktur dan memperluas jaringan transmisi distribusinya. Infrastruktur gas yang semakin luas akan mendorong peningkatan serapan gas itu sendiri. Pada gilirannya, tersedianya infrastuktur penyaluran gas yang cukup juga akan membuat iklim investasi dan iklim berusaha di dalam penyaluran gas itu sendiri menjadi lebih kondusif. Pada sektor midstream yang struktur pasarnya sudah mendekati kompetitif – infrastruktur tersedia cukup dan banyak alternatif -, biaya midstream dengan sendirinya nanti juga akan menjadi lebih kompetitif, tanpa harus diatur terlalu mikro melalui kebijakan yang membatas-batasi tingkat pengembalian investasi.

Prinsip dasar kelayakan ekonomi di sektor hulu dan midstream di atas itulah yang semestinya menjadi basis di dalam bagaimana level harga gas di tingkat pengguna akhir akan terjadi. Jika prinsip ekonomi dalam arti luas yang menjadi basis dan dikedepankan, memang kemudian menjadi tidak cukup proporsional ketika level harga gas di pengguna akhir dipatok dan dibatasi di harga tertentu, sementara di sisi hulu dan midstream nya kemudian terkondisikan untuk melakukan penyesuaian at all cost.

Ilmu ekonomi mengajarkan subsidi (insentif) semestinya diberikan secara langsung kepada yang ditargetkan dan tidak dilakukan dengan memberikan subsidi terhadap harga. Di dalam ekonomi, subsidi terhadap harga hanya akan menyebabkan terjadinya distorsi pasar dan inefisiensi ekonomi (deadweight loss) secara keseluruhan. Kebijakan HGBT, dengan membatasi harga atas gas domestic pada nominal 6 USD/MMBTU di pengguna akhir termasuk di dalam kategori subsidi harga. Kebijakan ini sebaiknya dievaluasi dan ditinjau kembali secara lebih menyeluruh. Jika objektif pemerintah adalah mendorong dan meningkatkan daya saing industri pengguna gas, maka alternatif kebijakan atau mekanisme lain yang dalam pandangan penulis layak unutk dipertimbangkan adalah melalui pemberian insentif fiskal secara langsung (direct fiscal incentives) kepada industri pengguna gas terpilih. Pemberian insentif fiskal secara langsung kepada industri pengguna gas terpilih berpotensi akan lebih efektif dan efisien untuk mencapai objektif yang sama karena bersifat lebih terfokus dan mengangkat “daya mampu” industri pengguna gas tersebut secara langsung. Pemberian insentif fiskal secara langsung juga akan meminimalkan dampak negatif yang mungkin timbul dari kebijakan HGBT, yaitu terganggunya investasi di sisi hulu dan midstream di dalam penyedian, penyaluran gas dan pengembangan infrastrukturnya.