(Dunia Energi, 28 November 2018)
Pri Agung Rakhmanto, Pengamat Migas dari Universitas Trisakti, mengatakan dalam elemen harga BBM selalu ada aspek subsidi yang terkait Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), aspek insentif dan margin untuk pelaku usaha yang ditujukan menjamin kelangsungan pasokan.
“Ujung-ujungnya adalah tingkat harga yang dapat dijangkau masyarakat,†kata Pri Agung saat dihubungi Dunia Energi, Selasa (27/11).
Menurut Pri, rencana tersebut jangan sampai hanya sekadar perubahan, tapi esensi tujuan yang dituju tidak signifikan, dan membawa implikasi yang tidak kondusif. Misalnya disinsentif terhadap PT Pertamina (Persero) dalam penyaluran dan pendistribusian energi.
“Yang lebih penting sebenarnya justru bukan perubahan formula itu sendiri, tetapi mekanisme evaluasi dan penyesuaian harga secara berkala yang bisa menjawab ketiga aspek,†ungkap Pri.
Perubahan formula harga BBM diklaim pemerintah sebagai respon terhadap kondisi pergerakan harga minyak dunia sejak 2017.
Untuk saat ini sesuai dengan Kepmen ESDM No K/12/MEM/2015 adalah (103,92% x HIP) + Rp 830 per liter. Selain itu, berdasarkan Perpres 43 Tahun 2018 tentang penyediaan, pendsitribusian dan harga jual eceran bahan bakar minyak menteri menetapkan harga jual eceran dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara, kemampuan daya beli masyarakat dan ekonomi rill dan sosial masyarakat.
Arcandra Tahar, Wakil Menteri ESDM, mengatakan perubahan formula Harga Premium masih belum rampung. Kementerian ESDM mengklaim formula nanti diklaim sudah sesuai dengan kondisi ekonomi dan harga minyak dunia saat ini.
“Formulanya jadi berbeda, efeknya itu harga formula lebih mencerminkan harga keekonomian yang sesungguhnya,†ungkap Arcandra.
Mas’ud Khamid, Direktur Pemasaran Retail Pertamina, mengakui adanya pembahasan perubahan formula. Sayangnya, Mas’ud pun menolak membeberkan perubahan seperti apa yang akan dilakukan. “Formulanya belum diumumkan, belum final. Satu putaran lagi (pembahasannya),†tandas Mas’ud.