ekbis.sindonews.com; 17 Desember 2018
JAKARTA – Neraca perdagangan minyak dan gas (migas) tercatat mengalami defisit. Pemerintah dinilai mengambil keputusan mengorbankan rupiah demi harga migas terjangkau.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, defisit migas sudah terjadi sejak lama. Neraca menganga cukup besar antara USD35 miliar-USD45 miliar atau setara 40%-45% total cadangan devisa Indonesia USD95 miliar-USD110 miliar.
“Ketika migas tidak dikelola baik, maka impor menutup produksi 800 ribu barel. Ini sebabkan rupiah dari Rp13.000/USD sekian di APBN 2018 menjadi tertekan ke Rp15.000/USD,” ujarnya di Jakarta, Senin (17/12/2018).
Menurut Komaidi, permintaan migas yang terus meningkat membuat pemerintah memilih menaikkan impor sehingga, daya beli masyarakat tetap ada. “Menjaga rupiah atau menjaga ketahanan ekonomi nasional? Kalau rupiah agar sektor ekonomi tumbuh baik atau pasokan energi ada perluasan BBM satu harga dan harganya murah. Jadi yang dikorbankan rupiah,” katanya.
Sambung dia menambahkan, ekspor migas Indonesia dari tahun ke tahun juga mengalami penurunan. Khusus LNG malah kebutuhan domestik meningkat pesat. “Kemudahan realokasi LNG ke domestik maka devisanya berkurang dari impor BBM atau minyak mentah yang diminta di pasar spot,” pungkasnya.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data neraca perdagangan Indonesia pada November 2018 yang kembali mengalami defisit UDS2,05 miliar. Realisasi neraca perdagangan ini semakin merosot dibanding Oktober 2018 yang juga defisit sebesar USD1,82 miliar.
Kepala BPS Suhariyanto mengungkapkan, yang menyebabkan defisit pada periode ini adalah neraca perdagangan migas (minyak dan gas bumi) yang mengalami defisit USD1,5 miliar. Selain itu, neraca perdagangan nonmigas juga mengalami defisit sebesar UD583 juta.