Watyutink.com; 21 Desember 2018
Komaidi Notonegoro,
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Sektor migas tampak menjadi pihak “tertuduh†karena disinyalir sebagai penyebab pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir. Sejumlah kebijakan yang diambil pemerintah untuk memperbaiki neraca perdagangan dan nilai tukar rupiah seperti mandatori penggunaan B-20 dan kewajiban penjualan minyak mentah produksi dalam negeri kepada Pertamina, menegaskan kesimpulan tersebut.
Terdapat kesimpulan bahwa pelemahan nilai tukar rupiah dalam beberapa waktu terakhir disebabkan oleh defisit neraca perdagangan migas. Berdasarkan data, defisit neraca perdagangan migas sesungguhnya sudah terjadi sejak lama. Data juga menunjukkan defisit neraca perdagangan migas pada 2018 (Q1 & Q2) relatif tidak jauh berbeda dengan tahun 2017.
ReforMiner mengidentifikasi, penurunan kinerja neraca pembayaran dan pelemahan nilai tukar rupiah selama tahun 2018 tidak hanya disebabkan oleh faktor tunggal, defisit neraca perdagangan migas, tetapi juga akibat surplus neraca perdagangan nonmigas turun, defisit neraca jasa, pendapatan primer dan skunder meningkat, dan surplus transaksi modal dan finansial turun.
Kesimpulan bahwa meningkatnya kebutuhan devisa impor migas merupakan penyabab utama pelemahan nilai tukar rupiah, perlu ditinjau lebih lanjut. Data menunjukkan, kebutuhan devisa untuk impor nonmigas lebih besar dan mencapai sekitar empat kali dari kebutuhan devisa untuk impor migas. Jika basis pengambilan kesimpulan hanya berdasarkan kebutuhan devisa impor, sektor nonmigas tentunya lebih tepat yang disebut sebagai penyebab terjadinya pelemahan nilai tukar rupiah.
Berdasarkan permasalahan yang ada tersebut dan untuk mengetahui hubungan antara sektor migas dengan nilai tukar rupiah dan indikator makro ekonomi yang lain, ReforMiner melakukan simulasi dan kuantifikasi model ekonomi dengan hasil sebagai berikut:
(1) setiap kenaikan kebutuhan devisa impor migas sebesar 1 milyar dolar AS dan indikator makro ekonomi lain diasumsikan tetap, akan memberikan kontribusi terhadap pelemahan nilai tukar rupiah sekitar Rp455 per dolar AS;
(2) setiap kenaikan perolehan devisa ekspor migas sebesar 1 milyar dalar AS indikator makro ekonomi lain diasumsikan tetap, akan memberikan kontribusi terhadap penguatan nilai tukar rupiah sekitar Rp467 per dolar AS;
(3) setiap kenaikan kebutuhan devisa impor non migas sebesar 1 milyar dolar AS dan indikator makro ekonomi lain diasumsikan tetap, akan memberikan kontribusi terhadap pelemahan nilai tukar rupiah sekitar Rp90 per dolar AS;
(4) setiap kenaikan perolehan devisa ekspor non migas sebesar 1 milyar dolar AS indikator makro ekonomi lain diasumsikan tetap, akan memberikan kontribusi terhadap penguatan nilai tukar rupiah sekitar Rp302 per dolar AS;
(5) setiap kenaikan perolehan devisa ekspor migas sebesar 1 milyar dolar AS indikator makro ekonomi lain diasumsikan tetap, akan memberikan kontribusi terhadap penciptaan nilai tambah ekonomi (PDB) sekitar 12 milyar dolar AS;
(6) setiap kenaikan perolehan devisa ekspor non migas sebesar 1 milyar dolar AS indikator makro ekonomi lain diasumsikan tetap, akan memberikan kontribusi terhadap penciptaan nilai tambah ekonomi (PDB) sekitar 7 milyar dolar AS; dan
(7) setiap nilai tukar melemah sebesar Rp100 per dolar AS dan indikator makro ekonomi lain diasumsikan tetap, akan memberikan kontribusi terhadap penurunan PDB Indonesia sekitar 1,02 milyar dolar AS atau sekitar Rp14 triliun.
Berdasarkan hasil simulasi dan kuantifikasi tersebut, diketahui sensitifitas sektor migas terhadap nilai tukar rupiah dan indikator makro ekonomi lain lebih besar dibandingkan sensitifitas sektor nonmigas. Peningkatan kebutuhan devisa impor dengan nilai yang sama, 1 milyar dolar AS misalnya, memiliki dampak yang berbeda terhadap nilai tukar rupiah.
Jika peningkatan tersebut berasal dari sektor nonmigas akan memberikan kontribusi terhadap pelemahan rupiah sekitar Rp90 per dolar AS. Sementara jika peningkatan kebutuhan devisa impor berasal dari sektor migas, akan memberikan kontribusi terhadap pelemahan rupiah sekitar Rp455 per dolar AS.
Perbedaan kontribusi terhadap pelemahan rupiah tersebut salah satunya kemungkinan terkait dengan pola kegiatan impor antara sektor migas dan non migas yang relatif berbeda. Berdasarkan informasi yang dihimpun ReforMiner, kegiatan impor migas relatif lebih tidak terencana dan tidak dapat ditunda dibandingkan dengan impor non migas.
Hasil simulasi juga menunjukkan peningkatan perolehan devisa ekspor dengan nilai yang sama memiliki kontribusi yang berbeda terhadap pembentukan nilai tambah ekonomi (PDB). Peningkatan perolehan devisa ekspor migas sebesar 1 milyar dolar AS memberikan kontribusi terhadap meningkatnya PDB Indonesia sekitar 12 milyar dolar AS. Sementara peningkatan perolehan devisa ekspor dari non migas dengan nilai yang sama hanya akan memberikan kontribusi terhadap meningkatnya PDB Indonesia sekitar 7 milyar dolar AS.
Perbedaan kontribusi tersebut kemungkinan karena sektor migas memiliki keterkaitan yang lebih luas dengan sektor-sektor ekonomi pendukung dan penggunanya. Karena itu peningkatan ekspor yang dilakukan oleh sektor migas akan lebih banyak menggerakan dan meningkatkan pertumbuhan sektor-sektor ekonomi yang lain dibandingkan dengan peningkatan ekspor oleh sektor nonmigas.
Secara keseluruhan, simulasi ReforMiner menemukan bahwa sampai saat ini sektor migas memiliki peran penting terhadap perekonomian Indonesia. Meski berdasarkan nilainya seharusnya ekspor dan impor nonmigas memberikan magnitude yang lebih besar terhadap perekonomian Indonesia, tetapi hasil simulasi tersebut menunjukkan bahwa ekspor dan impor migas memiliki sensitivitas terhadap nilai tukar rupiah, pembentukan nilai tambah ekonomi (PDB), dan penurunan/peningkatan PDB yang lebih besar dibandingkan sensitivitas dari sektor nonmigas.