Friday, November 22, 2024
HomeReforminer di MediaArtikel 2020Menyoal Kebijakan Niaga BBM

Menyoal Kebijakan Niaga BBM

Bisnis.com; 09 September 2020

Oleh:

Komaidi Notonegoro (Direktur Eksekutif ReforMiner Institute)

Email   : komaidinotonegoro@gmail.com – HP : 081 553 133 252

UU No.22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi menetapkan niaga BBM merupakan bagian dari kegiatan usaha hilir migas yang diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan. Untuk pelaksanaannya, kegiatan usaha niaga BBM ditetapkan dapat dilakukan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi usaha kecil, dan badan usaha swasta.

UU tersebut menetapkan pelaksanaan kegiatan niaga BBM dilaksanakan melalui mekanisme izin usaha. Badan usaha dapat melaksanakan kegiatan usaha niaga BBM setelah mendapatkan izin usaha dari Pemerintah. Sementara untuk harga BBM diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.

Secara makro Peraturan Pemerintah (PP) No.36/2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi yang merupakan aturan pelaksana dari UU Migas No.22/2001 juga mengatur hal yang sama. Perbedaannya, pada PP tersebut dilakukan pengaturan lebih detil mengenai seperti bagaimana prosedur, teknis, dan tahapan untuk memperoleh izin usaha niaga BBM.

Konsistensi Kebijakan

Permasalahan mengenai konsistensi kebijakan niaga BBM tercatat mulai terjadi sekitar tiga tahun pasca UU No.22/2001 diundangkan. Pada 12 Desember 2004 Mahkamah Konstitusi (MK) mencabut Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) yang menyerahkan harga BBM pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. MK berpendapat harus terdapat campur tangan pemerintah dalam kebijakan penentuan harga BBM karena merupakan cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup masyarakat luas.

Pada Maret 2009 pemerintah melakukan perubahan terhadap PP No.36/2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi melalui PP No.30/2009. Perubahan dilakukan untuk mengubah ketentuan Pasal 72 yang sebelumnya menetapkan bahwa “Harga BBM diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan” menjadi “Harga BBM diatur dan/atau ditetapkan oleh Pemerintah”.

Regulasi lain yang terkait, pada 16 November 2005 pemerintah menerbitkan Perpres No.71/2005 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Jenis BBM Tertentu. Perpres tersebut kemudian diubah dengan Perpres No.45/2009. Pemerintah juga menerbitkan Perpres No.22/2005, Perpres No.55/2005, Perpres No.9/2006, dan Perpres No.15/2012 yang semuanya mengatur mengenai harga jual BBM di dalam negeri.

Pada Desember 2014, pemerintah kemudian mengundangkan Perpres 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM. Pada saat yang bersamaan, sebagai aturan pelaksanaannya pemerintah menerbitkan Permen ESDM No.39/2014 tentang Perhitungan Harga Jual Eceran BBM. Dalam perkembangannya Perpres No.191/2014 kemudian diubah dengan Perpres No.43/2018.

Sementara untuk Permen ESDM No.39/2014 tercatat telah dilakukan perubahan hingga enam kali, masing-masing melalui Permen ESDM No.4/2015, Permen ESDM No.39/2015, Permen ESDM No.27/2016, Permen ESDM No.21/2018, Permen ESDM No.34/2018, dan Permen ESDM No.40/2018. Berdasarkan catatan, semua Menteri ESDM -termasuk PLT- pada Kabinet Pemerintahan Presiden Jokowi Jilid I melakukan perubahan terhadap permen ESDM No.39/2014.

Pada pemerintahan Presiden Jokowi Jilid II juga terjadi penyesuaian kebijakan terkait niaga BBM meskipun tidak dilakukan melalui perubahan yang ketujuh atas Permen ESDM No.39/2014. Pada Februari 2020, pemerintah menerbitkan Kepmen ESDM No.62. K/12/MEM/2020 tentang Formula Harga Dasar Dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis BBM Umum Jenis Bensin dan Minyak Solar yang Disalurkan Melalui SPBU dan/atau SPBN (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan).

Dari perspektif kebijakan publik, perubahan kebijakan niaga BBM yang cukup sering tersebut dapat dibaca bahwa pemerintah seolah tampak responsif dengan situasi, kondisi, dan perkembangan yang ada. Akan tetapi dari perspektif bisnis dan sudut pandang pelaku usaha niaga BBM, perubahan kebijakan yang terlalu sering merupakan refleksi ketidakpastian usaha dan akan menjadi disinsentif.

Dalam pelaksanaan kegiatan bisnis di sektor apapun, perubahan kebijakan yang terlalu sering akan menyulitkan pelaku usaha. Perubahan kebijakan umumnya akan berbanding lurus dengan tingkat risiko bisnis. Semakin sering kebijakan dalam suatu segmen bisnis dilakukan penyesuaian, risiko bisnis pada segmen bisnis tersebut akan semakin besar. Hal tersebut karena dalam kebijakan yang tidak pasti, pelaku usaha akan kesulitan di dalam melakukan perencanaan dan mitigasi risiko bisnis mereka.

Mencermati kondisi dan perkembangan yang ada, pemerintah perlu lebih cermat dan hati-hati di dalam melakukan kebijakan niaga BBM. Apalagi regulasi yang ada telah menetapkan bahwa kagiatan usaha hilir migas termasuk niaga BBM dibuka untuk umum. Konsekuensinya, terdapat beberapa kebijakan yang sebelumnya masih relevan untuk dilakukan kemudian menjadi tidak dapat diimplementasikan kembali. Intervensi kebijakan harga BBM yang menyebabkan pelaku usaha merugi dapat diselesaikan melalui mekanisme APBN atau instrumen lain jika hanya melibatkan BUMN. Akan tetapi, kebijakan tersebut tidak dapat diimplementasikan lagi jika dalam pelaksanaan niaga BBM sudah melibatkan pelaku usaha yang lain.

Dalam hal ini yang juga perlu menjadi perhatian adalah bahwa dalam bisnis terdapat prinsip high risk high return. Berdasarkan prinsip tersebut, ketidakpastian kebijakan yang tinggi yang notabene berbanding lurus dengan risiko bisnis yang tinggi berpotensi dikompensasi melalui keuntungan usaha yang lebih tinggi. Jika hal tersebut terjadi, dapat dipastikan penyediaan BBM di dalam negeri akan berbiaya tinggi dan pada akhirnya konsumen BBM di dalam negeri yang akan membayar biaya-biaya tersebut.

Mencermati permasalahan yang ada, pemerintah perlu menyiapkan regulasi yang dapat menjadi payung hukum kegiatan usaha niaga BBM yang relevan dalam berbagai kondisi. Hal tersebut mengingat perubahan kebijakan niaga BBM yang terlalu sering justru akan kontraproduktif dengan tujuan kebijakan pemerintah itu sendiri.

Jika perubahan terlalu sering dilakukan, kebijakan niaga BBM yang dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan daya beli konsumen di dalam negeri justru berpotensi akan menekan daya beli konsumen itu sendiri. Sesuai dengan prinsip bisnis yang berlaku umum, pelaku usaha tentu akan membebankan biaya-biaya yang timbul termasuk biaya akibat ketidakpastian kebijakan melalui harga barang dan jasa yang harus dibayar oleh konsumen.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments