Tempo.co.id; 27 Oktober 2020
TEMPO.CO, Jakarta – Komisi Energi DPR akan mengajukan revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (Migas) dalam daftar Program Legislatif Nasional 2021. Wakil Ketua Komisi Energi Eddy Soeparno optimistis pembahasan amandemen bakal rampung dalam setahun. “Kalau awal tahun depan sudah bisa mengawali pembahasan, saya kira akhir 2021 UU Migas yang baru sudah bisa disahkan,” ujarnya kepada Tempo, Senin 26 Oktober 2020.
Eddy memastikan revisi UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas akan menampung perbaikan pasal-pasal yang telah dibatalkan Mahkamah Agung. Salah satu prioritas utamanya adalah menentukan badan hukum yang berwenang mengeluarkan perizinan hulu migas.
Saat membubarkan BP Migas pada November 2012 silam, Mahkamah mengamanatkan pembentukan atau penunjukan badan milik negara untuk melakukan kontrak kerja sama dengan badan usaha atau bentuk usaha tetap. Saat ini tugas tersebut diserahkan kepada SKK Migas sebagai lembaga ad hoc.
Menurut Eddy, pengaturan badan hukum permanen penting untuk memberikan sinyal kepastian hukum kepada investor. Kebijakan yang berubah-ubah membuat investasi di sektor hulu migas dalam negeri tak begitu menarik.
Untuk badan hukum ini, Eddy menyatakan terdapat sejumlah opsi selain membentuk badan baru. Peluang penunjukan PT Pertamina (Persero) sebagai regulator seperti diatur dalam UU Migas terdahulu juga terbuka.
“Tapi fungsi pemain dan regulator harus dipisahkan sehingga kemungkinan besar nanti akan dibahas dalam konteks sebuah badan hukum yang akan didirikan independen tapi bertanggung jawab ke Menteri ESDM,” ujarnya.
Agenda pembahasan mengenai badan hukum pengganti SKK Migas ini tetap dijadwalkan meski dalam UU Cipta Kerja terdapat perubahan aturan.
Dalam Pasal 40 diatur kegiatan usaha hulu migas dilakukan berdasarkan perizinan berusaha, menggantikan rezim kontrak yang saat ini berlaku. Eddy tak bersedia berkomentar banyak ihwal aturan yang satu ini. “Kita tunggu dulu nanti rancangan peraturan pemerintahnya seperti apa,” katanya.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menyatakan pembentukan badan hukum pengganti lembaga ad hoc sangat mendesak.
“Tentu saja jika rezim yang digunakan tetap kontrak,” tuturnya. Sesuai mandat Mahkamah Konstitusi, pemerintah harus mengusahakan mekanisme kontrak melalui badan hukum milik negara.
Merujuk pada keputusan mahkamah tersebut Komaidi menilai pemerintah tak seharusnya beralih ke rezim izin. Sistem izin pun akan mengurangi kontrol pemerintah terhadap penguasaan sumber daya negara. Pelaku usaha juga akan dibuat bingung, terlebih karena tak ada peraturan mengenai peralihan yang diatur dalam UU Cipta Kerja.
Selain mengenai pengganti SKK Migas, Komaidi mengatakan UU Migas yang baru harus dipastikan menampung perbaikan dari beragam aturan yang telah batal. “Sekitar 30 persen aturan dalam UU Migas sekarang itu sudah dibatalkan ketentuannya,” kata dia.
Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Migas Nasional Moshe Rizal Husin menyatakan tak ada yang lebih dinanti pelaku usaha selain kepastian hukum. Menurut dia situasi yang tidak pasti seperti sekarang dapat semakin mengurangi daya tarik Indonesia di mata investor. “