Newsetup-Kontan.co.id; 11 Februari 2021
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Prospek minyak serpih (shale oil) atau shale hydrocarbon (oil and gas) di Indonesia dinilai cukup besar dan potensial untuk dikembangkan. Pemerintah pun menyatakan bakal menggarap shale oil untuk mencapai target 1 juta barel pada 2030.
Praktisi hulu migas Tumbur Parlindungan mengatakan, meski memiliki potensi yang besar, namun belum ada kajian yang serius untuk mengembangkan shale hydrocarbon di Indonesia. Padahal, shale dapat menjadi penunjang produksi migas jika digarap dengan serius.
Dia mencontohkan, yang memungkinkan untuk dikembangkan saat ini adalah di Lapangan Rokan – Sumatera dan Sanga-sanga di Kalimantan. Hal itu dengan mempertimbangkan kesiapan infrastruktur baik berupa jalan maupun pipa migas.
“Yang dibutuhkan adanya research dan uji coba untuk melakukannya dengan dibantu ecosystem service company yang memadai atau siap untuk beroperasi,” turur Tumbur yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Indonesian Petroleum Association (IPA) tersebut.
Tantangan utama yang dihadapi ialah terkait rezim fiskal. Tumbur bilang, rezim fiskal saat ini hanya untuk migas konvensional. “Sedangkan setahu saya, untuk unconventional seperti shale belum ada,” sambungnya.
Secara keseluruhan, Tumbur menegaskan bahwa iklim investasi di sektor migas perlu diperbaiki. Selain rezim fiskal, konsistensi menjaga kesucian kontrak (contract sanctity) juga masih menjadi sorotan.
Berkaca dari negara lain, shale hydrocarbon sangat prospektif. Di Amerika Serikat (AS) misalnya, shale production menjadikan Negeri Paman Sam itu sebagai negara pengekspor minyak. Sebelum ada shale revolution, AS harus melakukan impor migas mendekati level 5 juta barel oil per day (BOPD).
Hal senada juga disampaikan oleh Pengamat Migas dari Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto. Yang terpenting, dia mengingatkan bahwa pengembangan shale oil/hydrocarbon perlu waktu dan mesti konsisten.
Pasalnya, AS memulai program shale oil dengan riset panjang sejak 1970-an ketika embargo minyak dari timur tengah. Lalu, shale oil di AS mulai berproduksi komersial secara masif baru pada tahun 2000-an awal. “Jadi perlu waktu dan konsistensi. Meski tak berarti akan sama 30 tahun (pengembangan shale hydrocarbon) karena sekarang teknologi untuk mengekstraksinya sudah ketemu, yaitu fracturing,” terang Pri.
Dia menegaskan, perlu investasi eksplorasi skala besar untuk bisa memastikan dan mengubah potensi sumber daya (resources) yang ada menjadi proven reserve.Saat ini yang ada baru berupa potensi sumber daya yang belum teridentifikasi dengan jelas. “Kalau tetap hanya berupa sumber daya, tidak akan berarti apa-apa,” sambung Pri.
Untuk itu, diperlukan iklim investasi yang kondusif untuk bisa menarik minat investor. Apalagi di tengah situasi kompetisi migas global yang ketat. “Negara-negara lain seperti Argentina, Tiongkok, dan wilayah lainnya di Amerika Latin sudah jauh lebih siap dalam hal pengembangan shale oil dibanding kita. Jadi, lebih mudah bagi investor menanamkan investasinya di sana,” jelas Pri.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif IPA Marjolijn Wajong mengatakan bahwa kajian dan eksplorasi mutlak diperlukan jika pemerintah serius ingin mengembangkan shale oil. “Satu-satunya cara harus dieksplorasi dulu untuk melihat prospeknya, tidak ada cara lain,” pungkas Marjolijn.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengungkapkan, dalam pengembangan migas non konvensional Pemerintah telah melakukan identifikasi potensi shale oil dan shale gas. “Sementara ini kita perlu banyak minyak, jadi kita fokuskan ke shale oil,” ungkapnya dalam keterangan tertulis yang disiarkan di situs resmi Ditjen Migas, Kamis (4/2).
Secara teori, sambung Tutuka, apabila terdapat reservoar minyak di suatu tempat, pasti ada “dapur”. Inilah yang dikejar Pemerintah. “Dapur itu sudah diketahui tempatnya di mana. Dapurnya namanya non konvensional. Kita sudah petakan di mana tempatnya dan kita mau fokus ke satu tempat (shale oil),” tambah Tutuka.
Menurutnya, potensi shale oil Indonesia terbilang cukup besar. Hal ini yang membuat Pemerintah optimis untuk terus berupaya mencapai produksi minyak 1 juta barel pada tahun 2030.