Kompas.id; 24 April 2023
Sejumlah langkah penting dilakukan untuk mencegah kecelakaan di kilang terulang sekaligus untuk mendongkrak produksi migas. PT Pertamina (Persero) dinilai tidak bisa melaksanakannya sendiri.
JAKARTA, KOMPAS — Analisis strategis, peremajaan, hingga pembangunan kilang-kilang minyak baru dinilai penting dilakukan di Indonesia untuk mencegah kecelakaan terulang. Kehadiran investor juga dibutuhkan untuk membangun kilang baru. Sementara itu, PT Pertamina (Persero) menargetkan semua kilang pada kondisi terbaik pada 2026.
Sebelumnya, dua kecelakaan pada fasilitas Pertamina terjadi dalam rentang sebulan. Pada Jumat (3/3/2023) malam, kebakaran terjadi di Integrated Terminal Bahan Bakar Minyak (BBM) Plumpang, Jakarta. Sementara pada Sabtu (1/4) malam, ledakan terjadi pada kompresor gas di PT Kilang Pertamina Internasional Refinery Unit (RU) II Dumai, Riau.
Pengamat migas yang juga dosen Teknik Perminyakan Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta, Topan Herianto, saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (23/4/2023) berpendapat, ada dua hal yang dapat dilihat dari dua kecelakaan itu, yakni sistem keamanan (safety) dan fasilitas yang sudah berumur.
Menurut dia, analisis strategis dan menyeluruh serta investigasi penting untuk antisipasi kejadian serupa di kemudian hari. ”Apabila nanti masih terjadi kebakaran kilang. Lalu, misalnya, baru pulih dalam dua minggu, pasokan (bahan bakar minyak) dalam negeri akan berkurang,” kata Topan.
Ia menambahkan, jika kebakaran besar terjadi di kilang atau tangki-tangki timbun minyak, ketahanan energi nasional akan terganggu. Oleh karena itu, perbaikan sistem keamanan krusial, selain modernisasi fasilitas seperti tangki bawah tanah sebagaimana sudah diterapkan oleh negara-negara maju.
Menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Komaidi Notonegoro, seiring dengan kian berumurnya fasilitas-fasilitas Pertamina, revitalisasi fasilitas sangat penting. Sayangnya, proyek seperti kilang minyak baru (grass root refinery/GRR) dan peningkatan kapasitas kilang (refinery development master plan/RDMP), belum sesuai harapan.
Sebagai BUMN yang mengurusi banyak hal di bidang migas, termasuk kewajiban pelayanan publik (PSO), Pertamina tidak bisa melaksanakannya sendiri. Namun, Komaidi menilai perlunya keterlibatan investor untuk pendanaan.
Di sisi lain, investor-investor yang masuk membutuhkan kepastian regulasi dan insentif. ”Sering kali insentifnya tidak ketemu (disepakati) Kementerian Keuangan. Jadi ini, bukan persoalan satu pihak, tetapi multipihak,” ujarnya.
Menurut data Pertamina, kilang-kilang di Indonesia saat ini ada di Quartile 2 (Q2) dengan operational availability (OA) 96 persen. Lewat peta jalan berupa program overhaul, turn around, dan peremajaan, OA pada 2026 ditargertkan jadi 96,72 persen atau ada di Q1 atau quartile tertinggi.
”Berdasarkan peta jalan, perkiraan kebutuhan biaya untuk meningkatkan kehandalan kilang hingga 2026 hampir 2 miliar dollar AS,” kata Direktur Utama PT Kilang Pertamina Internasional Taufik Adityawarman dalam rapat (RDP) dengan Komisi VII DPR, Selasa (4/4/2023).
Sebelumnya, peningkatan keandalan hingga pembangunan kilang-kiang baru memang telah masuk dalam rencana pemerintahan Presiden Joko Widodo. Namun, pelaksanaan proyek kerap molor. Proyek GRR Tuban, Jawa Timur, misalnya, terkendala pembebasan lahan dan proses akuisisi.
Proyek kilang minyak dan petrokimia yang terintegrasi di Tuban itu sempat jadi perhatian Presiden Jokowi. Pada Desember 2019, Presiden meminta proyek diselesaikan dalam tiga tahun atau ditargetkan pada 2023. Proyek itu ditunggu lantaran bisa menghasilkan produk-produk BBM dan petrokimia yang diperlukan industri. (Kompas, 22/12/2019).
Dalam RDP dengan Komisi VII DPR pada Selasa (7/2/2023) Taufik mengatakan, proyek GRR Tuban dalam persiapan Final Investment Decision (FID). ”Paralel dengan persiapan untuk EPC (engineering procurement construction). GRR Tuban untuk meningkatkan crude processing capacity jadi 300.000 barel per hari,” ujarnya.