Monday, October 14, 2024
HomeReforminer di Media2023Produksi Minyak RI Bikin Gelisah, Menciut Mirip Era 1960-an

Produksi Minyak RI Bikin Gelisah, Menciut Mirip Era 1960-an

CNBCIndonesia; 31 Desember 2023

Jakarta, CNBC Indonesia – Produksi minyak siap jual atau lifting di Indonesia terus menunjukkan tren penurunan dari tahun ke tahun. Bahkan target produksi lifting minyak bumi sebesar 660 ribu barel per hari (bph) pada tahun 2023 tidak tercapai.

Beberapa pakar berpandangan turunnya produksi minyak mentah di Indonesia menjadi pekerjaan yang berat bagi pemerintah. Sebab, saat ini Indonesia hanya mampu mengandalkan produksi minyak dari lapangan-lapangan yang eksisting dan kebanyakan lapangan migas Indonesia sudah tergolong mature atau tua.

Berita mengenai produksi minyak Indonesia yang mengalami penurunan menjadi salah satu yang diminati pembaca CNBC Indonesia di tahun 2023 ini. Dan masuk dalam kategori Big Stories 2023. Simak ulasannya:

Berdasarkan data dari Kementerian ESDM per 29 Desember 2023, produksi minyak RI baru mencapai 589.825 barel per hari (bph). Sementara Indonesia mempunyai target produksi minyak 1 juta barel per hari pada 2030.

Salah satu penyebab tidak tercapainya target produksi disebabkan oleh banyaknya gangguan operasional atau unplanned shutdown di beberapa fasilitas produksi yang ada. Hal ini lantas berdampak pada kinerja produksi dari lapangan-lapangan tersebut.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan terdapat fasilitas produksi migas berupa pipa yang sudah berumur puluhan tahun. Kondisi tersebut tentunya sudah tidak layak untuk digunakan.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji mengatakan fasilitas pipa yang berumur 30-40 tahun beberapa diantaranya berada di wilayah operasi anak usaha PT Pertamina (Persero). “Nggak ada cara lain, selain mengganti,” kata Tutuka dalam acara Penghargaan Keselamatan Migas tahun 2023, Selasa (3/10/2023).

Menurut Tutuka usia pipa yang sudah cukup tua belakangan ini telah berdampak pada penurunan produksi siap jual (lifting) migas setiap tahunnya. Selain itu, kondisi tersebut juga berpengaruh pada kinerja keselamatan migas.

“Nah itu kan performance dari manajemen pada waktu itu kan, produksi turun. Ya karena nggak diganti-ganti. Kita melihat itu kok sudah banyak decline-nya, sudah tua. Harus diganti,” ujarnya. Adapun, Pertamina saat ini sudah mulai merencanakan untuk mengganti sejumlah pipa tersebut.

Bila dirunut ke belakang, produksi minyak nasional ini bahkan di bawah level produksi pada era tahun 1968-an.

Produksi minyak RI pada 1968, berdasarkan data BP Statistical Review, tercatat mencapai 599.000 bph, sebelum mengalami kenaikan terus-menerus yang mencapai masa puncak produksi pada 1977 sebesar 1.685.000 bph, lalu puncak produksi ke-2 sebesar 1.669.000 bph pada 1991, hingga kemudian terus mengalami penurunan secara bertahap.

Adapun sebelum 1968, produksi minyak RI masih berada di level 400 ribuan barel per hari. Berikut datanya:

1965: 486.000 bph

1966: 474.000 bph

1967: 510.000 bph

1968: 599.000 bph

1969: 642.000 bph

1970: 854.000 bph

Oleh karena itu, rencana pemerintah merealisasikan target produksi minyak 1 juta barel per hari (bph) dan gas 12 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD) pada 2030 kemungkinan cukup sulit. Terlebih, di tengah kondisi capaian produksi terangkut (lifting) migas tahunan yang terus ambles.

Berdasarkan catatan ReforMiner Institute, tantangan pemerintah untuk mencapai target produksi migas semakin berat. Apalagi, selama periode 2010 hingga 2022 produksi migas nasional tercatat mengalami penurunan rata-rata sekitar 3,28% per tahun untuk minyak dan 3,36% per tahun untuk gas.

Ditambah, kinerja produksi migas pada tahun 2023 tercatat juga masih dibawah target. Berdasarkan data yang ada, proyeksi produksi minyak hingga akhir 2023 adalah 606,3 ribu barel per hari atau 91,1 persen dari target APBN 2023.

Sementara, perkiraan salur gas bumi pada 2023 adalah 5.400 standar kaki kubik per hari (MMSCFD), atau 87,7 persen dari target APBN 2023. Selama lima tahun terakhir, realisasi produksi migas terhadap target APBN rata-rata adalah 93,69% untuk minyak bumi dan 95,26% untuk gas bumi.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro dalam laporan ini memaparkan kinerja produksi migas nasional di atas telah dapat diperkirakan sebelumnya lantaran hanya mengandalkan produksi eksisting. Dimana sekitar 70% diantaranya sudah masuk kategori mature.

“Profil dan kinerja produksi migas yang demikian itu juga terbentuk dari pola investasi hulu migas nasional yang telah hampir dua dekade terakhir ini porsi terbesarnya adalah untuk pemeliharaan produksi,” kata Komaidi dalam laporan tersebut, Kamis (7/12/2023).

Dalam laporan ini, Komaidi memerinci selama periode 2015-2023, porsi terbesar dari investasi hulu migas nasional rata-rata kurang lebih adalah untuk produksi (71,06%) dan pengembangan (15,4%). Sedangkan, porsi investasi untuk kegiatan eksplorasi pada periode yang sama hanya berada pada kisaran 5-6%.

Menurut dia, dengan profil produksi yang sebagian besar mengandalkan lapangan migas yang berumur tua dan pola investasi hulu yang porsi eksplorasinya minim. Hal ini tentunya akan sangat sulit untuk dapat mencapai target produksi minyak bumi sebesar 1 juta BOPD dan gas bumi sebesar 12.000 MMSCFD pada 2030.

Komaidi menilai optimalisasi lapangan mature sejatinya dapat dikatakan telah cukup berhasil dilakukan oleh para KKKS yang beroperasi di tanah air, dalam menahan laju penurunan produksi yang ada.

Sebagai contoh dalam hal ini, adalah Pertamina, yang saat ini berkontribusi sekitar 68% terhadap produksi minyak nasional dan 34% terhadap produksi gas nasional.

Produksi Minyak Pertamina justru Meningkat

Berdasarkan data SKK Migas, produksi minyak nasional pada 2023 mengalami penurunan sekitar 0,16% dari tahun sebelumnya. Realisasi produksi minyak nasional turun dari 607,3 ribu barel per hari pada 2022 menjadi 606,3 ribu barel per hari pada 2023.

Sementara, produksi minyak Pertamina pada periode yang sama tercatat meningkat sekitar 10%, dari 586 ribu barel per hari pada 2022 menjadi 593 ribu barel per hari pada 2023.

Untuk gas, peningkatan produksi nasional sebesar 1,05% pada 2023 dibandingkan tahun sebelumnya diantaranya juga merupakan kontribusi dari Pertamina. Realisasi produksi gas nasional pada 2023 diproyeksi sekitar 5.400 MMSCFD, meningkat sekitar 1,05% dari realisasi 2022 yang tercatat sekitar 5.344 MMSCFD pada 2022.

“Pada periode yang sama produksi gas Pertamina meningkat sekitar 5%, dari 2.624 MMSCFD pada 2022 menjadi 2.746 MMSCFD pada 2023,” tambahnya.

Di samping itu, total investasi Pertamina di sektor hulu migas pada tahun 2023 tercatat juga mengalami peningkatan sebesar 25% dari tahun sebelumnya. Adapun, realisasi investasi Pertamina di sektor hulu migas pada 2023 tercatat sebesar US$ 4,009 juta, meningkat dari sebelumnya USD$ 3,203 juta.

“Investasi Pertamina di sektor hulu migas tersebut berkontribusi sekitar 41,3% terhadap investasi hulu migas nasional pada tahun 2023 yang diproyeksi sebesar US$ 13,9 juta,” ujarnya.

Komaidi pun menyebut tren positif dari kinerja Pertamina selama kurun 2022-2023, diproyeksikan akan terus berlanjut pada 2024. Berdasarkan work program and budget (WP&B) tahun 2024, Pertamina menargetkan produksi minyak sebesar 593 ribu barel per hari,atau meningkat sebesar 5% dibandingkan realisasi 2023.

Sementara untuk gas, Pertamina menargetkan peningkatan produksi gas pada 2024 sebesar 1% dari 2.746 MMSCFD pada tahun 2023 menjadi 2.769 MMSCFD pada tahun 2024.

Dalam hal menahan laju penurunan produksi, dengan sebagian besar lapangan migas mature yang sebagian besar juga telah diserah kelolakan ke Pertamina, maka pilihan kebijakan pemerintah dapat dikatakan relatif tidak banyak selain memberikan dukungan berupa peningkatan keekonomian lapangan seoptimal mungkin.

“Di dalam implementasi, hal ini pada dasarnya memungkinkan untuk dapat dilakukan dengan relatif sederhana,” katanya.

Diantaranya seperti melalui: Pertama, memberikan keleluasaan (fleksibilitas) untuk dapat memilih bentuk kontrak yang lebih sesuai dengan kondisi wilayah kerjanya dan strategi portofolio investasinya. Kedua, menambah porsi bagian KKKS melalui penyesuaian besaran komponen-komponen fiskal yang ada di dalam Kontrak Kerja Sama (KKS).

Adapun, beberapa komponen fiskal yang dapat disesuaikan tersebut diantaranya adalah perubahan split bagi hasil (penambahan split bagi kontraktor), mengurangi persentase First Tranche Petroleum (FTP).

Kemudian pengembalian biaya operasi melalui depresiasi yang dipercepat, perpanjangan periode Domestic Market Obligation (DMO) Holiday dengan mengacu pada harga Indonesian Crude Price (ICP) dan penambahan investment credit.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments