Katadata.co.id; 10 Juni 2023
Penulis: Pri Agung Rakhmanto, Pengajar di FTKE Universitas Trisakti, Founder & advisor ReforMiner Institute
Merujuk laporan International Energy Agency (IEA) tetang World Energy Investment 2023, total investasi energi global pada 2022 tercatat mencapai US$ 2.400 miliar dan diperkirakan akan melebihi US$ 2.800 miliar pada tahun ini.
Dari total investasi tersebut sekitar 60% sampai 65% merupakan investasi di sektor energi bersih (green energy) dan sisanya adalah investasi pada sektor energi berbasis fosil. Yang tercakup di dalam kategori investasi energi bersih adalah investasi pada pembangkit listrik energi baru dan terbarukan, penggunaan nuklir untuk energi, upaya efisiensi energi, grid storage, bahan bakar rendah karbon dan Carbon Capture Utilization Storage (CCUS), dan kendaraan listrik atau Electric Vehicles (EV).
Sedangkan untuk investasi energi fosil meliputi investasi untuk batu bara dan minyak-gas (migas).
Transisi dan Investasi Energi Nilai investasi dari seluruh jenis kategori, baik pada energi bersih maupun fosil, pada dasarnya meningkat tapi dengan besaran dan kecepatan yang tidak sama.
Peningkatan investasi dengan persentase terbesar pada energi bersih terutama berasal dari peningkatan investasi pada pengembangan kendaraan listrik yang mencapai lebih 60%.
Sedangkan pada energi fosil, porsi peningkatan terbesarnya dari investasi batu bara, sebesar 10%. Investasi pada migas, khususya hulu (upstream) migas, meskipun secara besaran tergolong signifikan – mencapai US$ 500 miliar.
Secara persentase kenaikannya terbilang rendah dibandingkan batu bara, yaitu sekitar 6%. Persentase kenaikan itu juga lebih rendah dibandingkan angka kenaikan pada periode 2021-2022 yang masih mencapai 7%. Sebelumnya, di periode 2016-2020, investasi hulu migas global masih bisa tumbuh rata-rata sekitar 9,6% per tahun.
Transisi energi, yang telah menjadi tema dan gerakan pengelolaan energi global, memang menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan distribusi investasi energi bergeser.
Dari yang semula lebih berorientasi pada investasi untuk menyuplai energi fosil menjadi lebih terdistribusi dan cenderung dengan porsi lebih ke arah investasi energi bersih.
Harga energi fosil yang relatif tinggi – batu bara mencapai US$ 400 per ton lebih dan minyak mencapai US$ 120 per barel – pada periode pasca Covid-19, di satu sisi menjadi satu faktor yang memberi insentif bagi investasi energi fosil.
Namun, di sisi lain juga memberi insentif lebih bagi investasi di energi non-fosil. Keekonomian proyek-proyek energi bersih dan non-fosil “terbantu” menjadi ekonomis dan lebih kompetitif.
Persaingan untuk mendapatkan porsi alokasi investasi di sektor energi menjadi lebih ketat, baik antar sumber energi itu sendiri maupun antar wilayah dan gabungan antara keduanya.
Investasi Hulu Migas
Investasi di hulu migas, dengan karakteristik padat risiko, teknologi tinggi, dan padat modal, merupakan salah satu yang paling terdampak dari adanya persaingan dan pergeseran tren investasi ini.
Angka pertumbuhannya yang terbilang paling rendah dibandingkan sektor-sektor yang lain menegaskan hal itu.
Di tingkat global, alokasi investasi oleh para pelaku di sektor hulu migas sekarang tidak lagi hanya terfokus pada investasi “konvensional”, yaitu aktivitas eksplorasi dan produksi.
Relatif hanya perusahaan migas dari kawasan Timur Tengah saja yang diproyeksikan masih akan terus meningkatkan porsi alokasi investasinya untuk konvensional suplai migas pada periode 2020 – 2023 ini.
Hanya proyek-proyek investasi hulu migas yang benar-benar menarik dan memberikan jaminan pengembalian investasi yang kompetitif yang akan dilirik dan digarap oleh para pelaku hulu migas global.
Sama dengan investasi hulu migas di Indonesia. Jika melihat dari pola dan distribusi alokasi investasinya selama ini, bahkan sebelum tema dan gerakan transisi energi bergulir lebih kuat seperti saat ini, maka tampaknya sudah terlebih dulu terkena imbas dari adanya persaingan investasi ini. Porsi investasi untuk eksplorasi – sebagai salah satu indikator paling kuat dalam mengukur kadar ketertarikan investor di hulu migas – selalu menjadi yang terkecil dibandingkan porsi yang dialokasikan untuk aktivitas lainnya seperti pemeliharaan produksi dan pengembangan lapangan.
Dari periode 2015 sampai 2022, tercatat besaran porsi investasi eksplorasi secara rata-rata di bawah US$ 1 miliar. Sebagian hanya berada di kisaran US$ 600 juta sampai US$ 700 juta saja. Porsi terbesar alokasi hulu migas nasional adalah di aktivitas pemeliharaa produksi.
Pada periode yang sama besarannya ada pada rentang US$ 7,5 miliar dolar AS sampai US$ 10,2 miliar dolar AS. Secara rata-rata ini adalah sekitar 60% hingga 70% dari total investasi hulu migas nasional.
Sekitar 10% sampai 20% porsi investasi lainnya ada pada aktivitas pengembangan lapangan, baik untuk lapangan yang masuk kategori baru ataupun lama (existing).
Dari pola tersebut, yang tercermin adalah bahwa investasi yang dialokasikan pada dasarnya terutama lebih ditujukan untuk memelihara tingkat produksi yang ada, baik itu dengan upaya pemeliharaan atas operasi yang ada dan pada skala terbatas melalui upaya pengembangan.
Jika pola ini terus berlanjut, dengan konstelasi persaingan energi yang ada, maka sebetulnya akan sangat berat – jika tidak bisa dikatakan tidak realistis – untuk mencapai target produksi 1 juta barel minyak dan 12 miliar kaki kubik per hari untuk gas pada 2030.
Sekadar mempertahankan tingkat produksi yang ada saat ini saja sudah akan sangat berat. Terbukti, target lifting anggara pendapatan dan belanja negara (APBN) selama ini juga sering tidak tercapai meskipun dari waktu ke waktu angka target itu juga terus turun.
Sunset Industry?
Dengan gambaran yang ada, apakah kemudian hulu migas kemudian akan menjadi sunset industry ? Di tingkat global, jawabannya relatif lebih mudah, yaitu tidak. Suplai pasar minyak global selama 10 hingga 15 tahun terakhir relatif berada pada posisi aman.
Dalam arti tidak ada kekhawatiran baik dari sisi jumlah cadangan maupun ketersediaan suplainya di pasaran (saat ini mampu mensuplai minyak hingga 105 juta barel per hari).
Yang terjadi, bahkan di tengah periode terjadi banyak konflik geopolitik dan perang, justru lebih sering mengalami kelebihan pasokan sehingga OPEC harus menstabilkan harga melalui kuota pembatasan produksi bagi anggotanya.
Industri hulu migas global dan sektor industri penunjangnya, dengan mayoritas bertumpu pada perusahaan migas skala internasional sebagai motornya, tetap exist dan adaptif merespon transisi energi engan melakukan inovasi dan penerapan teknologi hulu.
Bukan saja makin efisien-efektif dalam memproduksikan migas yang ada namun juga makin bersih ramah lingkungan.
Salah satunya, tentu saja teknologi penangkapan, penyimpanan dan pemanfaatan karbon (Carbon Capture Storage/Utilization, CCS/CCUS).
Jika revolusi teknologi shale oil-gas telah berhasil menopang kemampuan produksi hulu migas global, dalam hal merespons transisi energi, maka CCS/CCUS pada operasi hulu migas ini dapat dikatakan merupakan jawabannya.
Saat ini, investasi pada CCS/CCUS di tingkat global belum terlalu masif. Pada Februari 2023 lalu, Badan Energi Internasional (IEA) mencatat baru di kisaran US$ 6,4 miliar atau baru mencapai 0,5% dari total investasi energi global. Potensinya, untuk periode 2020 – 2030 mencapai US$ 87 miliar.
Apakah sektor atau indsutri hulu migas nasional akan menjadi sunset industry? Jawabannya sebenarnya berpulang pada kita sendiri.
Seberapa kita mampu menarik investasi yang ada di dalam konstelasi persaingan yang ada, baik untuk investasi pada aktivitas “konvensional” eksplorasi produksi maupun pada penerapan teknologi CCS/CCUS yang sekarang dan ke depan akan menyertainya. Di sinilah relevansi dan urgensi insentif, khususya insentif fiskal untuk meningkatkan keekonomian dan memberikan tingkat pengembalian investasi yang lebih menarik bagi investor.
Dan sejatinya, Indonesia, sebagai salah satu pelopor penerapan kontrak bagi hasil produksi di dunia, telah memiliki instrumennya sejak lama.
Fleksibilitas Insentif melalui Kontrak Migas
Kontrak Bagi Hasil Produksi (Production Sharing Contract, PSC) dengan mekanisme pengembalian biaya operasi (cost recovery) yang telah diterapkan sejak lama, tetapi kemudian sempat “tergeser” keberadaaannya dengan adanya kontrak PSC Gross Split, sejatinya sangat dapat memfasilitasi pemberian insentif fiskal itu secara sederhana.
Beberapa komponen di dalamnya yang dapat diubah atau dibuat fleksibel untuk meningkatkan kelayakan keekonomian pengembangan lapangan diantaranya adalah melalui perubahan split bagi hasil (penambahan split bagi kontraktor), First Tranche Petroleum (FTP) yang diturunkan, pengembalian biaya operasi melalui depresiasi yang dipercepat, perpanjangan periode Domestic Market Obligation (DMO) Holiday dengan mengacu pada harga Indoesian Crude Price (ICP) dan penambahan investment credit.
Seiring dengan tingkat persaingan untuk mendapatkan alokasi investasi energi yang makin ketat, untuk dapat lebih menarik secara keekonomian, besaran-besaran di dalam komponen-komponen fiskal tersebut mestinya menjadi subjek untuk dievaluasi – bersifat fleksibel dan negotiable bilamana diperlukan – dari waktu ke waktu. Maka, kata kuncinya sejatinya adalah fleksibilitas, dalam pengertian dan objektif untuk meningkatkan keekonomian. Dalam konteks tersebut, khususnya adalah fleksibilitas, baik dalam hal menyangkut perubahan besaran atas komponen-komponen fiskal yang ada dari waktu ke waktu maupun fleksibilitas bagi kontraktor untuk dapat memilih bentuk kontrak yang (lebih) sesuai dengan kondisi wilayah kerjanya dan strategi portofolio investasinya.
Pendekatan inilah yang kiranya perlu diterapkan dalam kontrak-kontrak pengusahaan hulu migas di tanah air, baik yang sudah berjalan maupun yang baru nantinya.
Relatif sederhana dalam implementasi, namun dapat efektif untuk meningkatkan daya tarik iklim investasi hulu migas nasional dari sisi keekonomian.