Kompas.co.id; 12 Oktober 2023
JAKARTA, KOMPAS — Subsidi gas elpiji 3 kilogram terus membengkak, pemerintah dorong pengalihan ke jaringan gas rumah tangga. Selain itu, pengalihan subsidi berbasis penerima masih dipersiapkan.
Presiden Joko Widodo memimpin rapat tertutup terkait jaringan gas rumah tangga dan pendistribusian LPG tabung 3 kilogram di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (12/10/2023). Hadir dalam rapat yang dimulai pukul 14.00 ini, Wakil Presiden Ma’ruf Amin serta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, dan Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara.
Dalam rapat dibahas mengenai beban fiskal dari subsidi LPG yang meningkat. Tahun 2023 ini, subsidi LPG 3 kilogram dialokasikan sebesar Rp 117,85 triliun untuk sekitar 8 juta metrik ton gas elpiji. Setahun sebelumnya, subsidi diberikan untuk 7,8 juta metrik ton.
Tahun 2021, sebanyak 7,46 juta metrik ton yang dialokasikan untuk gas tabung 3 kg. Tahun 2020 alokasinya 7,14 juta metrik ton dan 2019 sebanyak 6,84 juta metrik ton.
Kenaikan subsidi gas ini berbanding terbalik dengan gas LPG nonsubsidi yang biasa dijual pada tabung 12 kg dan 50 kg. Jika pada 2019 alokasi gas non-PSO ini masih 0,66 juta metrik ton, tahun 2020 menurun menjadi 0,62 juta metrik ton. Adapun pada 2021, angka ini menurun lagi menjadi 0,6 juta metrik ton dan tahun lalu hanya 0,46 juta metrik ton.
Untuk mengatasi beban fiskal ini, kata Airlangga, solusi pertama adalah memperluas jaringan gas rumah tangga. Namun, kenyataannya kemajuan pemasangan jaringan gas rumah tangga sangat lambat. Target memasang 4 juta sambungan jaringan gas rumah tangga atau jargas pada tahun 2024 juga diyakini gagal.
Sampai saat ini, baru sekitar 835.000 rumah tangga yang mendapatkan saluran jargas. Dari jumlah itu, sebanyak 241.000 jargas didanai PGN, sedangkan 594.000 jargas lainnya dari pemerintah.
”Jadi, dari 835.000 sambungan, sekarang diharapkan bisa ditingkatkan menjadi 2,5 juta (sambungan jargas), tetapi yang kerja nanti pihak swasta, pihak ketiga,” kata Airlangga seusai rapat.
Sejauh ini, penyediaan jaringan gas untuk rumah tangga diatur Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Gas Bumi Melalui Jaringan Transmisi dan/atau Distribusi Gas Bumi melalui Jaringan Transmisi dan/atau Distribusi Gas Bumi untuk Rumah Tangga dan Pelanggan Kecil. Dalam aturan ini, penyediaan dan pendistribusian jargas dilaksanakan pemerintah pusat dan badan usaha. Adapun pemerintah pusat yang dimaksud adalah menteri dan BUMN.
Perpres ini, kata Airlangga, akan diubah. Dengan demikian, pihak swasta bisa mengembangkan jaringan gas rumah tangga melalui skema Kerja Sama Pemerintah Badan Usaha (KPBU). Adapun penanggung jawab pengerjaan ini tetap dari Kementerian ESDM.
Harga gas di sisi hulu juga akan diatur, khususnya pada sektor swasta. Untuk itu, SKK Migas akan ditugasi untuk mendistribusikan gas di harga 4,72 dollar AS per MMBTU untuk penyaluran pipa jargas.
Presiden Jokowi, lanjut Airlangga, meminta supaya ada penghitungan agar lapangan-lapangan LPG atau lapangan yang berpotensi memproduksi LPG supaya kebijakan jargas lebih lancar.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang menambahkan, untuk merealisasikan pengembangan jargas, produsen-produsen pipa dalam negeri juga disiapkan. ”Tugas saya hanya mempersiapkan bahwa pipa-pipa yang akan dipakai jargas itu sepenuhnya buatan dalam negeri,” ujarnya.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai, pengembangan jaringan gas semestinya tetap diintervensi pemerintah. Sebab, pengerjaan jargas biasanya tidak sesuai dengan skala keekonomian. Pengerjaan instalasi dan perpipaan jargas untuk pelanggan satu kabupaten sangat banyak, tetapi jumlah volume gas yang digunakan mungkin setara dengan konsumsi gas satu industri saja. Apalagi, harga jual gas dalam jargas juga ditetapkan murah.
Karena itu, biasanya pembangunan jargas diintervensi pemerintah. Selain ini adalah kebijakan publik yang disiapkan pemerintah, Indonesia juga memiliki PGN dan Pertamina Gas yang berpengalaman serta keahlian.
Jargas, lanjut Komaidi, bisa dikatakan solusi untuk mengurangi terus membengkaknya subsidi gas LPG 3 kg. Namun, tentu hal ini tak akan berjalan apabila mekanisme ini diserahkan kepada swasta. ”Jadi, intervensi pemerintah tetap diperlukan, subsidi bisa di-shifting ke jargas atau subsidi bisa untuk membangun jargas,” katanya.
Jargas juga dinilai bisa menghemat subsidi LPG sampai 40 persen. Karena itu, semestinya kebijakan ini tidak maju mundur. Justru, ketika kebijakan tak lancar, prasangka bisa muncul seperti ketakutan tak ada keuntungan ”fee” dari impor gas atau kesulitan untuk ”memainkan” gas dalam jaringan.
Sementara itu, LPG tabung 3 kg di beberapa wilayah seperti di Sulawesi mulai langka.
Awal Oktober ini, misalnya, LPG 3 kilogram langka di sejumlah daerah di Sulawesi Selatan, seperti Makassar, Maros, Kabupaten Gowa. Keluhan sama terjadi pada Juli lalu. Akibatnya, kalaupun ada, elpiji 3 kilogram dijual dengan harga lebih mahal, yakni Rp 30.000
Menteri ESDM Arifin Tasruf menyebut, kelangkaan ini akibat ada sasaran yang tidak tepat dalam penyaluran LPG bersubsidi ini. ”Berarti bocor. Bocor ke mana-mana berarti. Alokasinya ini, kok, sesuai (dengan) apa yang dianggarin,” tuturnya kepada wartawan seusai rapat.
Penyaluran LPG 3 kg bersubsidi ini, menurut Airlangga, dinilai terlalu panjang rantai pasoknya. Karena itu, Presiden Jokowi meminta ada evaluasi supaya jalur distribusi bisa diperpendek.
Selain itu, kata Arifin, perubahan model penyaluran LPG bersubsidi juga disiapkan supaya berbasis penerima. Sejauh ini, pendaftaran penerima LPG bersubdisi masih dikerjakan. ”Ya, itu sudah dalam proses. Kan, sudah mulai didaftarkan untuk digitalnya. Ya, begitu (data) udah lengkap, jalan. Supaya tepat sasaran,” ujar Arifin.
Ditargetkan sebanyak 60 jutaan penerima LPG bersubsidi bisa didata.