Sunday, November 24, 2024
HomeReforminer di Media2024Sebelum Setop Impor BBM, Prabowo Perlu Perhatikan Isu Ini

Sebelum Setop Impor BBM, Prabowo Perlu Perhatikan Isu Ini

CNBCIndonesia; 22 Mei 2024

Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintahan era Presiden RI terpilih periode 2024-2029 Prabowo Subianto menargetkan RI bisa mencapai swasembada energi, termasuk Bahan Bakar Minyak (BBM). Artinya, pemerintah akan berupaya untuk mengurangi atau bahkan menghentikan impor BBM.

Rencana penghentian impor BBM tersebut disambut baik oleh berbagai kalangan dengan tujuan agar Indonesia tidak bergantung produk BBM dari negara lain.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai, rencana penghentian impor BBM bisa saja dilakukan oleh Indonesia. Namun, menurutnya ini memerlukan biaya tinggi.

“Tapi kalau ditanya memungkinkan atau tidak, kalau segala upaya diupayakan ke arah sana ya bisa tercapai, tapi kan biayanya tinggi,” ungkap Komaidi kepada CNBC Indonesia, Rabu (22/5/2024).

Dia menyebutkan, setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan pemerintah sebelum akhirnya memutuskan untuk menghentikan impor BBM.

Tingginya biaya yang menjadi konsekuensi bagi Indonesia jika menghentikan impor BBM dinilai menjadi salah satu pertimbangan yang dilematis bagi pemerintah.

Komaidi menilai aspek fiskal bisa membuat harga BBM menjadi lebih mahal jika diproduksi di dalam negeri sepenuhnya.

“Secara ekonomi, kalau secara ekonomi kan pasti biayanya lebih mahal ya, nah ini kan berkaitan dengan daya beli ya apakah masyarakat bisa menjangkau atau tidak. Jadi kalau teknisnya selesai pun masih ada masalah lain yaitu masalah ekonomi, daya beli. Jadi selisihnya antara Rp 2.000 sampai Rp 3.000 per liter,” jelas Komaidi.

Bila harga BBM di dalam negeri meningkat, maka menurutnya akan ada konsekuensi siapa yang bisa menanggung beban kenaikan harga tersebut, baik dari masyarakat sendiri atau ditopang oleh pemerintah.

Jika ditanggung oleh masyarakat, lanjut Komaidi, maka perlu diperhitungkan kesanggupan dari daya beli masyarakat atas kenaikan harga BBM.

Namun, jika beban kenaikan harga BBM ditanggung oleh pemerintah, maka subsidi yang harus digelontorkan melalui APBN akan sangat besar.

“Jadi beban konsumen berarti permasalahannya daya beli. Tapi kalau akan menjadi beban negara berarti subsdinya akan besar banget. Nah ini yang saya kira harus dikaji ulang kira-kira yang optimal ada di titik mana,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Komaidi mengatakan, selain aspek fiskal, ada lagi pertimbangan jika BBM tidak lagi diimpor yakni kemampuan produksi BBM dalam negeri dan kapasitas infrastruktur, seperti kilang minyak yang mumpuni untuk menanggung total kebutuhan BBM di Indonesia.

Komaidi menyebutkan, impor BBM di Indonesia setidaknya mencapai 50% dari total kebutuhan BBM dalam negeri.

“Kalau dari sisi kapasitas peggantinya misalnya volume impor kita kan cukup besar ya. Jadi kebutuhan kita kan 1,6 (juta barel per hari), sementara produksi dalam negeri mungkin kisaran, BBM kilang domestik kalau kita bicara BBM ya mungkin 700-800 (ribu barel per hari) jadi mungkin 50% impor melalui produk jadi, kan kapasitas kilang kita kan 1,1 (juta barel per hari),” paparnya.

Dengan begitu, dia menilai kapasitas kilang dalam negeri harus bisa menampung total kebutuhan BBM di Indonesia jika nantinya impor BBM dihentikan.

“Yang pertama tentu kilangnya, kapasitas kilangnya siap atau tidak, begitu ya. Karena kan perlu adjustment juga untuk melakukan perubahan,” tandasnya.

Di lain sisi, Sekretaris Jenderal DEN Djoko Siswanto mengungkapkan, rencana penyetopan impor BBM khususnya untuk jenis bensin yang digunakan oleh motor dan mobil konvensional bisa dilakukan asal pemerintah serius dalam menjalankan program tersebut.

“Bisa saja jika serius,” ujar Djoko kepada CNBC Indonesia saat ditanya kemungkinan Indonesia bisa menyetop impor BBM, Rabu (22/5/2024).

Djoko mengatakan, terdapat berbagai cara bagi pemerintah untuk bisa menyetop impor BBM. Dia mengatakan, hal utama yang bisa dilakukan bagi pemerintah untuk mengurangi jumlah impor BBM di Indonesia adalah dengan mendorong penggunaan kendaraan berbasis listrik, gas, dan hidrogen.

Selain itu, diversifikasi BBM dengan Bahan Bakar Nabati (BBN) seperti bioetanol juga bisa berdampak pada pengurangan angka impor bensin.

“PR berikutnya menghilangkan impor BBM jenis bensin dengan cara (mendorong penggunaan) kendaraan listrik, ⁠kendaraan gas, kendaraan hydrogen, dan ⁠biobensin,” jelas Djoko.

“60% bensin impor dikonsumsi oleh sepeda motor, jadi jika pemerintah tidak lagi menjual sepeda motor BBM dan juga mobil BBM, maka akan cepat mengurangi bensin impor,” tegasnya.

Sementara bioetanol, selain bisa mengurangi impor BBM, ini juga bisa berdampak positif bagi lingkungan karena emisi yang dihasilkan bisa lebih rendah dibandingkan BBM. Dengan demikian, ini juga salah satu cara untuk mendukung tercapainya target Net Zero Emissions (NZE) pada 2060 mendatang atau lebih cepat.

“Masyarakat jadi lebih murah beli bensin, mengurangi impor, dan lingkungan bersih, sehingga net zero emisi bisa tercapai,” tandasnya.

Sebelumnya, Prabowo Subianto menyebut bahwa Indonesia saat ini masih mengimpor BBM, khususnya Solar/diesel hingga US$ 20 miliar setara Rp 318,8 triliun (asumsi kurs Rp 15.942 per US$) per tahunnya.

Dengan impor BBM jenis Solar tersebut, ia berkomitmen ke depan Indonesia akan beralih dari penggunaan energi fosil ke sumber energi yang lebih ‘bersih’ seperti BBN.

“Kami ingin beralih ke bahan bakar ramah lingkungan secepatnya, kami ingin memproduksi Solar dari minyak sawit dan ini akan menjadi pendorong pertumbuhan yang sangat kuat,” ujarnya dalam Qatar Economic Forum, dikutip Rabu (22/5/2024).

Prabowo optimistis penggunaan bahan bakar nabati sebagai pengganti BBM akan menghemat anggaran negara, terutama untuk Solar yang anggarannya mencapai US$ 20 miliar per tahun.

“Kami mengimpor bahan bakar diesel senilai US$ 20 miliar setiap tahun. Jadi bisa dibayangkan penghematan yang akan kita dapatkan ketika beralih ke biofuel,” ungkapnya.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments