Saturday, November 2, 2024
HomeReforminer di Media2024Kebijakan HGBT Dinilai Hambat Monetisasi Sebagian Lapangan Gas

Kebijakan HGBT Dinilai Hambat Monetisasi Sebagian Lapangan Gas

Bisnis.com; 23 Mei 2024

Bisnis.com, JAKARTA — Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menilai monetisasi sejumlah lapangan gas saat ini terkendala isu komersial lantaran kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT). Padahal, kata Komaidi, pengembangan lapangan gas setelah temuan-temuan eksplorasi yang berhasil di Laut Andaman dan Geng North mesti dioptimalkan untuk meningkatkan produksi domestik di tengah isu transisi energi saat ini.

“Bahkan pemerintah bersedia untuk menolkan PNBP dari gas yang dialokasikan untuk HGBT, kebijakan ini juga sedikit banyak pengembangan lapangan tidak jalan,” kata Komaidi saat dihubungi, Rabu (22/5/2024).

Menurut Komaidi, monetisasi lapangan gas mesti memerlukan harga jual gas yang sesuai dengan keekonomian lapangan.

Di sisi lain, kata dia, pemerintah cenderung untuk menekan harga jual gas di sisi hulu sampai dengan transportasi untuk mendapatkan harga gas kompetitif bagi industri penerima. Situasi itu, dia menambahkan, membuat sebagian pengembangan lapangan jalan di tempat. “Di ujungnya mereka akan cemas, apakah ini bisa dibeli dengan harga keekonomian atau tidak kalau tidak dibeli dengan harga keekonomian otomatis ini tidak bisa diproduksikan,” tuturnya.

Saat ini rata-rata harga gas yang dibeli PGN dari kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) untuk pelanggan di wilayah barat telah lebih dari US$6 per juta metrik british thermal unit (MMBtu) di kepala sumur. Sementara itu, biaya angkut di titik serah pengguna gas atau plant gate sudah mencapai di rata-rata US$9 per MMBtu. Di sisi lain, pemerintah meminta PGN untuk menekan harga sampai di level US$6 per MMBtu.

“Untuk transisi energi kan kita tidak bisa lansung lompat ke EBT, kan tidak bisa dalam jangka pendek menggantikan semuanya, gas punya posisi strategis,” tuturnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) melaporkan potensi penerimaan bagian negara yang hilang dari kebijakan HGBT sepanjang 2023 mencapai lebih dari US$1 miliar atau minimal sekitar Rp15,67 triliun (asumsi kurs Rp15.667 per dolar AS).

Deputi Keuangan dan Komersialisasi SKK Migas Kurnia Chairi mengatakan, potensi hilangnya pendapatan negara itu masih hitung-hitungan awal dan perlu rekonsiliasi lanjutan.

Hilangnya pendapatan negara yang cukup besar itu dibarengi dengan pengembalian sejumlah kontrak volume dan gas ke perjanjian jual beli gas (PJBG) awal sebelum beleid HGBT terbit pertama kali lewat Kepmen ESDM No.89/2020. “Kalau saya mencatat mungkin jumlahnya di 2023 ini bisa mencapai lebih dari US$1 miliar ada potensi penurunan penerimaan negara atau penyesuaian penerimaan negara,” kata Kurnia saat webinar, Rabu (28/2/2024).

Lewat beleid teranyar Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 91.K/MG.01/MEM/2023, HGBT tidak lagi dipatok US$6 per juta metrik british thermal unit (MMBtu).

Sebagian industri saat ini mendapat penyusutan alokasi volume dan harga gas bisa di level tertinggi US$7 per MMBtu. Secara berturut-turut, Kementerian ESDM telah mencatat pengurangan bagian negara dari program gas murah industri ini mencapai Rp29,39 triliun selama 2021 dan 2022. Bagian negara yang hilang itu turun rata-rata sebesar 46,81% selama dua periode program itu berjalan.

Kendati demikian, Kurnia menerangkan, serapan HGBT sepanjang 2023 telah naik ke level sekitar 96%. Artinya, ada peningkatan penerima insentif gas murah itu yang cukup signifikan dibandingkan penyaluran 2021 dan 2022.

Sepanjang 2021, jumlah penyerahan harian pasokan gas bumi untuk sektor industri sebesar 87,06% dari alokasi saat itu 1.241,01 BBtud, sementara penyaluran gas pada 2022 melorot ke level 81,38% dari alokasi volume sebesar 1.253,81 BBtud.

“Ada juga faktor ketidakcukupan bagian negara atau meng-kept-whole-kan bagian kontraktor, kebijakan HGBT ini berjalan di tengah-tengah 2020-2021 sebenarnya sudah ada harga awal PJBG yang disepakati,” kata Kurnia.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments