Kompas, 28 Desember 2009
Jakarta, Kompas – Dukungan kalangan perbankan nasional dalam pembiayaan sektor pertambangan di Indonesia dinilai masih sangat minim. Padahal, pelaku usaha di sektor pertambangan membutuhkan dana besar untuk membiayai kegiatan eksplorasi dan eksploitasi.
Oleh karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan skema penjaminan kredit yang proporsional. Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi Pri Agung Rakhmanto di Jakarta, Minggu (27/12), minimnya dukungan perbankan itu disebabkan tingginya tingkat risiko usaha pertambangan.
Pemerintah harus segera menerbitkan aturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, termasuk soal pembiayaan, ujarnya.
Data Bank Indonesia menunjukkan, hingga triwulan II-2009, kredit ke sektor pertambangan menurun. Dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, per September 2009 kredit sektor pertambangan naik 4,99 persen dari posisi yang sama tahun sebelumnya. Sementara besarnya kredit yang belum direalisasikan turun 6,87 persen.
Dibandingkan industri lain, porsi pembiayaan perbankan domestik pada sektor pertambangan masih kecil, yaitu 2,44 persen dari total kredit perbankan, kata Suhaedi, peneliti senior BI.
Skema penjaminan
Sektor pertambangan menjadi penopang ekspor nonmigas Indonesia. Selama Januari-Agustus 2009, ekspor pertambangan 11,6 miliar dollar AS atau naik 21,42 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2008.
Kondisi ini disebabkan pemahaman beberapa perbankan terhadap peluang, proses usaha, dan risiko pembiayaan sektor pertambangan masih kurang, ujar Suhaedi.
Selain itu juga pembiayaan pada sektor pertambangan adalah investasi jangka panjang, sementara dana perbankan umumnya berjangka pendek.
Untuk itu, pelaku usaha di sektor energi dan sumber daya mineral perlu mempertimbangkan alternatif pembiayaan nonbank, seperti pasar modal dan penerbitan surat berharga yang relatif berjangka panjang sesuai dengan karakteristik usaha sektor pertambangan.
Selain peningkatan usaha yang kondusif, pemerintah dapat mempertimbangkan adanya skema penjaminan atau asuransi kredit secara proporsional. Pendirian biro kredit juga diharapkan bisa mengurangi persepsi risiko yang masih tinggi di kalangan perbankan.
Untuk mengurangi risiko kredit macet, Pri Agung menyatakan, perbankan bisa lebih berperan pada pembiayaan kegiatan eksploitasi mineral, batu bara, dan panas bumi, sebagaimana dilakukan di sektor migas.
Pada kegiatan eksploitasi, cadangan bahan tambang sudah terbukti dan sudah pada tahap produksi.
Pri Agung memperkirakan, pada tahun 2010 sektor pertambangan akan kembali bergairah seiring dengan pemulihan kondisi ekonomi secara global.
Untuk dapat memanfaatkan peluang itu, perlu ada kesiapan industri pertambangan di dalam negeri. Kepastian investasi harus diwujudkan melalui penerbitan peraturan pemerintah sebagai penjabaran UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara, ujarnya.
Koordinasi pemerintah pusat dan daerah juga perlu ditingkatkan dalam melaksanakan pemetaan dan identifikasi mengenai pertambangan yang tergolong strategis dan biasa, sebagaimana disebutkan dalam UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Tantangan lain adalah koordinasi lintas departemen untuk mengatasi masalah tumpang tindih lahan karena banyak lokasi pertambangan berada di kawasan hutan lindung. (EVY)