Pri Agung Rahkmanto
Bisnis Indonesia, 8 Juni 2009
Penyelesaian dan kelanjutan proyek gas Donggi Senoro hingga saat ini belum menunjukkan titik terang. Sejak Gas Sales Agreement (GSA) ditandatangani 22 Januari 2009 lalu oleh konsorsium Donggi Senoro LNG (DS LNG), sebagai calon pemilik kilang LNG, dengan PT. Pertamina EP dan dengan PT. Pertamina HE Tomori dan PT. Medco HE Tomori, sebagai produsen gas di hulu, hingga masa berlakunya HoA (Head of Agreement) antara konsorsium DS LNG dengan pihak pembeli gas di Jepang berakhir pada 31 Maret 2009 lalu, persetujuan resmi pemerintah dalam bentuk SAA (Sales Appointed Agreement) untuk berjalannya proyek ini tak kunjung diberikan. Pun jika proyek ini ditunda atau dibatalkan, juga belum ada kejelasan.
Dari apa yang mengemuka di publik, setidaknya ada dua hal utama yang menjadi dasar pertimbangan pemerintah untuk tak segera memberikan SAA terhadap proyek ini. Pertama adalah mengenai harga jual gas di kepala sumur (well head price) yang dikatakan masih terlalu rendah. Harga jual-beli yang sampai saat ini diajukan oleh pihak pengembang hulu dan konsorsium DS LNG adalah di kisaran 2,8 US dolar per MMBTU pada acuan harga minyak Japan Crude Cocktail (JCC) 40 US dolar per barel. Pemerintah, pada acuan harga JCC yang sama, menginginkan agar harga jual-beli gas tidak kurang dari 3,8 US dolar per MMBTU.
Kedua adalah menyangkut kepastian alokasi gas yang akan dihasilkan dari kilang LNG nantinya untuk kebutuhan domestik. Dalam hal ini pemerintah menghendaki agar gas tersebut dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan gas domestik, jika ada sisa baru diekspor. Dari kedua argumen pemerintah di atas, sekilas akan terlihat bahwa kepentingan nasional tampaknya memang sedang benar-benar diperjuangkan. Harga gas diupayakan lebih tinggi sehingga pendapatan negara akan lebih maksimal dan alokasi gas pun dituntut untuk memenuhi kebutuhan gas domestik sehingga bisa mengurangi defisit gas yang ada.
Namun, jika dicermati lebih seksama, sesungguhnya ada beberapa hal mendasar yang patut dipertanyakan. Pertama menyangkut keinginan pemerintah agar harga gas tidak kurang dari 3,8 US dolar per MMBTU. Benar bahwa pemerintah memang harus mengupayakan agar tingkat harga gas di kepala sumur semaksimal mungkin, karena di titik itulah pendapatan negara dari pengelolaan hulu migas dipertaruhkan . Semakin tinggi harga di kepala sumur, dengan skema bagi hasil yang ada, semakin tinggi pula pendapatan negara akan diperoleh. Namun, mensyaratkan agar harga berada di tingkat itu saat ini, setelah sebelumnya memberikan lampu hijau terhadap penandatanganan GSA, rasanya justru menunjukkan adanya semacam inkonsistensi dan kecenderungan lepas tangan. Hampir mustahil bahwa proyek gas ini dapat sekonyong-konyong berjalan hingga GSA ditandatangani tanpa sepengetahuan pemerintah. Artinya, sejak dari awal pun hampir dapat dipastikan bahwa pemerintah sebenarnya sudah tahu dan juga sudah memberikan lampu hijau tentang berapa harga yang akan diajukan untuk mendapatkan persetujuan secara resmi di SAA. Jika belum mengetahuinya, justru fungsi regulasi dan fungsi pengawasan terhadap kegiatan hulu migas yang selama ini dijalankan pemerintah ini harus dipertanyakan.
Kedua, menyangkut persyaratan pengalokasian gas untuk domestik. Benar bahwa paradigma gas tidak lagi diekspor dan untuk domestik harus diimplementasikan secara nyata dalam pengembangan gas di tanah air sesegera mungkin. Namun, mempersyaratkan hal ini kembali dalam kasus Donggi Senoro sepertinya juga menunjukkan adanya semacam inkonsistensi, yang bahkan dapat dikatakan sangat absurd. Karena dalam proyek ini sudah direstui akan digunakan skema hilir, dimana biaya pembangunan kilang LNG tidak akan masuk ke dalam cost recovery. Konsekuensinya, maka kilang LNG yang akan dibangun tidak akan menjadi aset negara, dan alokasi gas setelah diproses dari kilang tersebut akan sepenuhnya menjadi hak dari pemilik kilang tersebut. Jadi dapat dikatakan disini pemerintah sebenarnya tak akan punya kewenangan lagi untuk mengatur akan dialokasikan kemana gas yang keluar dari kilang LNG itu nantinya.Kewenangan pemerintah akan alokasi produksi gas dalam kasus Donggi Senoro ini sesungguhnya hanyalah sampai pada saat gas tersebut belum masuk kilang LNG. Kewenangan itu pun, jika bercermin pada kontrak-kontrak pengusahaan gas yang lain tanah air, terlebih pada kontrak sebelum tahun 2001, cenderung semu karena dalam kontraknya pun seringkali tidak tertulis secara eksplisit.
Indikasi bahwa pemerintah tak punya kewenangan yang nyata dalam mengalokasikan gas dalam kasus Donggi Senoro ini sesungguhnya sudah dapat dilihat dari ditandatanganinya HoA antara konsorsium DS LNG dengan calon pembeli di luar negeri, dalam hal ini adalah Kansai Electric Power Co. Inc. dan Chubu Electric Power Co, (keduanya dari Jepang). Jadi, apa yang ditunjukkan dalam kasus Donggi Senoro hingga belum ada titik terang tentang kelanjutan atau ketidakberlanjutannya saat ini sesungguhnya adalah cenderung lebih pada adanya inkonsistensi dan ketidakberanian untuk mengambil keputusan.
Dalam konteks ini, indikasi yang tampak adalah adanya semacam informasi yang tidak utuh di dalam pemerintahan, dimana pada level implementasi, kenyataan bahwa gas Donggi Senoro tidak bisa sepenuhnya dapat dialokasikan untuk domestik informasinya sepertinya tak sampai di sampai di level kepemimpinan nasional. Maka, ketika pada level kepemimpinan nasional menuntut agar gas dialokasikan untuk domestik, level dibawahnya tidak dapat atau mengalami kesulitan untuk mengimplementasikannya, tetapi kondisi ini sepertinya tak berani pula disampaikan apa adanya. Sehingga, kemudian yang terjadi adalah cenderung hanya menggantung nya, mungkin dengan harapan suatu saat keadaan politik-ekonomi nasional berubah dan memungkinkan untuk salah satu skenario dipilih. Disamping penyebab lain seperti lambannya birokrasi, tumpang tindih aturan main, dan masih maraknya high cost economy, hal semacam inilah yang sesungguhnya merupakan penghambat terbesar bagi iklim investasi di tanah air.
Dalam konteks industri migas, dan khususnya LNG nasional, implikasi jangka pendek yang mungkin muncul dari kasus ini adalah kemungkinan hengkang nya Mitsubhisi Corp. dari konsorsium DS LNG. Jika pun itu tidak terjadi, dalam arti proyek Donggi Senoro pada akhirnya tetap berjalan, implikasi lain yang lebih besar dan bisa (bahkan mungkin sudah) muncul adalah adanya semacam stigma terhadap negara kita, dan pemerintah khususnya, dalam hal dipersepsikan sebagai pihak yang inkonsisten, tidak dapat memegang dan menjalankan komitmen, dan tidak berani mengambil keputusan.
Dalam jangka menengah dan panjang, konsekuensi logisnya, bukan tidak mungkin para pembeli tradisional LNG kita seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan akan mulai mencari alternatif sumber-sumber pasokan LNG dari negara-negara lain seperti Australia, Qatar, Malaysia, Abu Dhabi, dan bahkan, Rusia. Hal ini mungkin tidak akan terlalu menjadi masalah jika kita sudah menyiapkan diri untuk tidak menjadikan ekspor LNG sebagai salah satu andalan utama devisa dan sudah menyiapkan infrastruktur untuk mengalokasikan gas untuk domestik. Namun, kenyataannya tidaklah demikian, ekspor LNG masih menyumbang hampir 60% penerimaan negara dari gas alam dan infrastruktur gas domestik pun masih jauh dari memadai. Sehingga yang lebih mungkin adalah bahwa kedepan, posisi tawar kita akan semakin rendah di hadapan para pembeli tradisional itu. Dalam konteks yang lebih luas, hubungan bilateral, investasi, dan perdagangan di sektor lain antara Indonesia dengan negara-negara tersebut pun bisa jadi akan terpengaruh ke arah yang negatif. Maka, yang diperlukan sesungguhnya adalah ketegasan dan keberanian untuk mengambil keputusan dengan segera, karena hal itu akan memberikan kejelasan dan kepastian yang sangat dibutuhkan bagi investor dan semua stakeholder terkait. Keputusan itu tentu tidak lalu harus berarti bahwa proyek ini harus dilanjutkan, tetapi juga bisa berupa pembatalan karena dipandang lebih banyak merugikan kepentingan nasional misalnya. Apapun itu, yang jelas akan jauh lebih baik dibandingkan dengan menggantung nya tanpa ada kejelasan yang pasti. Investor dan negara lain akan jauh lebih respek terhadap ketegasan, kejelasan dan kepastian yang diberikan, pun ketika hasilnya pahit dan tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Dari sanalah sesungguhnya iklim investasi yang kondusif dan memberikan win win solution dimulai.