Saturday, December 7, 2024
HomeReforminer di MediaArtikel Tahun 2009Tantangan Pertamina Usai Bubble Meletus

Tantangan Pertamina Usai Bubble Meletus

Pri Agung Rakhmanto
Penulis adalah Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi (ReforMiner Institute).
Warta Ekonomi edisi 03/XXI/2009, 9 Februari-22 Februari 2009

Dari perspektif ekonomi, khususnya terkait harga minyak dan kondisi keuangan global, tahun 2008 yang baru saja berlalu dan awal 2009 yang saat ini sudah berjalan menyajikan perubahan yang sangat drastis. Bubble dari kondisi keuangan global yang mulai menampakkan letupannya pada kuartal terakhir 2008 lalu tidak saja telah menarik kembali harga minyak ke kisaran US$40 45 per barel (setelah pada medio 2008 lalu tercatat hampir menyentuh US$150 per barel), tetapi juga telah dengan segera mengoreksi laju pertumbuhan ekonomi dunia yang diperkirakan hanya akan tumbuh di kisaran 0,5% 1% sepanjang tahun 2009 ini.

Sebagai sebuah entitas bisnis, dan khususnya yang bergerak di bidang hulu dan hilir minyak dan gas, Pertamina tentu tak luput dari pengaruh perubahan kondisi ekonomi global ini. Imbas terhadap Pertamina, yang dapat diperkirakan dengan segera, dengan anjloknya harga minyak rata-rata hingga lebih dari 50%, tentu saja adalah laba perusahaan. Jika harga minyak bertahan di kisaran US$45 per barel sepanjang tahun 2009 ini, laba bersih Pertamina diperkirakan akan turun ke kisaran Rp15 triliun, setelah pada 2008 lalu mencapai Rp30 triliun.

Dalam hal ini, sektor hulu, sebagai penyumbang 70% 80% dari keuntungan Pertamina, tampaknya adalah bagian yang mendapatkan pukulan paling telak dari anjloknya harga minyak dunia ini. Rencana kerja Pertamina untuk mengintensifkan kegiatan eksplorasi dan produksi di bisnis hulu guna meningkatkan produksi dan cadangan yang ada saat ini menjadi terkendala. Dengan parameter lain, seperti ketentuan fiskal yang cenderung masih tidak berubah ataupun perkembangan teknologi yang tidak dapat berubah secara instan, maka harga minyak dalam bisnis usaha hulu migas dapat dikatakan merupakan faktor yang sangat menentukan go or no go investasi eksplorasi dan produksi. Harga minyak yang tinggi akan menjadi insentif yang paling signifikan pengaruhnya terhadap intensitas eksplorasi dan produksi. Dan sebaliknya, harga yang rendah akan sangat memberikan tekanan dan membatasi ruang gerak kegiatan hulu.

Intensitas tekanan turunnya harga minyak terhadap Pertamina sedikit berbeda di sisi hilir. Di sini, meskipun tetap sama dampaknya dalam mengurangi laba Pertamina, tetapi karena Pertamina hingga saat ini masih menjalankan fungsi sebagai pelaksana tunggal Public Service Obligation (PSO) dalam menyediakan dan mendistribusikan BBM tertentu (dan sebagian besar bersubsidi) di seluruh wilayah Tanah Air, penurunan laba yang terjadi relatif dalam batas-batas yang masih bisa dikontrol dengan lebih pasti. Sepanjang formula subsidi yang diajukan Pertamina mendapatkan persetujuan dari pemerintah dan DPR melalui mekanisme APBN, pendapatan Pertamina dari sisi hilir dapat dikatakan masih akan aman . Barangkali, kalaupun ada yang relatif lebih sulit diprediksi adalah pendapatan Pertamina dari pasar BBM khusus non-subsidi sekelas Pertamax, Pertamax Plus, dan sejenisnya, karena munculnya beberapa pemain lain.

Efisiensi

Berangkat dari hal ini, satu pelajaran yang dapat diambil dengan jelas sebenarnya adalah bagi Pertamina, untuk dapat tetap survive dan maju baik di saat harga minyak tinggi maupun rendah, kata kuncinya adalah peningkatan efisiensi (khususnya efisiensi biaya) yang terus-menerus baik di operasi hulu maupun hilir. Dalam konteks ini, tantangan Pertamina tidaklah mudah. Dalam jangka pendek, sebagai BUMN yang masih mendapatkan penugasan PSO untuk menyediakan dan mendistribusikan BBM (yang sekarang ditambah dengan LPG 3 kg) secara nasional di sisi hilir, jaminan ketersediaan dan kelancaran pasokan adalah hal utama. Namun, karena argumen sosial politik, tak jarang menuntut aspek efisiensi biaya menjadi sesuatu hal yang harus dikorbankan.

Perlakuan yang adil dari pemerintah, sebagai pemegang saham Pertamina, dengan regulasi-regulasi yang jelas dan mendukung, sangat diperlukan dalam hal ini. Tanpa hal itu, Pertamina akan sulit bergerak leluasa di sisi hilir karena hanya akan terbebani kewajiban-kewajibannya tanpa kompensasi dan aturan main yang jelas. Perbaikan sistem distribusi dan perbaikan dalam pengadaan minyak mentah dan BBM, termasuk di dalamnya memberantas apa yang sering disebut sebagai mafia minyak, adalah tantangan mendesak yang harus dihadapi Pertamina untuk meningkatkan efisiensi di sisi hilir. Pembelian minyak mentah dan BBM impor langsung dari penghasil, melalui pendekatan B to B, atau bahkan G to G melalui tangan pemerintah, dan bukan melalui broker-broker yang tidak jelas, yang hanya menambah panjang jalur yang harus dilalui, adalah salah satu langkah yang semestinya dilakukan.

Di sisi hulu, efisiensi biaya produksi dan penyeleksian aktivitas eksplorasi dan produksi berdasarkan skala prioritas menjadi satu keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi di tengah himpitan rendahnya harga minyak dunia. Dalam jangka menengah dan panjang, investasi dan ekspansi kegiatan eksplorasi dan produksi baik di dalam maupun di luar negeri hendaknya bukan lagi sekadar menjadi wacana yang tidak jelas realisasinya. World class oil company salah satunya selalu dicirikan dengan besarnya tingkat produksi dan cadangan yang dikuasainya, dan hal yang sama juga berlaku bagi Pertamina jika ingin menjadi bagian dari komunitas itu.

Di sisi hilir, investasi untuk meningkatkan kapasitas kilang pengolahan ataupun membangun yang baru juga menjadi sesuatu yang harus dimulai dari sekarang jika Pertamina masih tetap ingin menjadi pemain utama bisnis hilir migas di negeri ini. Dalam kedua hal ini, upaya dan terobosan untuk financing yang cerdas menjadi tantangan tersendiri bagi siapa pun yang akan menakhodai Pertamina.

Satu hal lagi yang tak kalah pentingnya (bahkan untuk kasus Pertamina justru sering menjadi penentu maju tidaknya Pertamina), baik untuk masa sekarang maupun yang akan datang, siapa pun yang akan menakhodai Pertamina semestinya adalah orang-orang yang tidak hanya kompeten dalam bidangnya dan dalam hal manajerial, tetapi juga adalah orang-orang yang punya integritas dan dedikasi untuk benar-benar bekerja membesarkan Pertamina, dan bukan bekerja untuk patron-patron dan elite tertentu saja.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments