Wednesday, October 9, 2024
HomeReforminer di MediaArtikel Tahun 2009Agenda Utama di Sektor Energi

Agenda Utama di Sektor Energi

Pri Agung Rakhmanto
Direktur Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi (ReforMiner Institute)
Koran Sindo, 10 November 2009

Pemerintahan dan kabinet yang baru sudah terbentuk. Segudang dan setumpuk agenda pemerintahan yang mesti diselesaikan, baik yang merupakan pekerjaan-pekerjaan lama yang belum tuntas maupun yang merupakan agenda-agenda baru yang muncul dari dinamika perkembangan politik-ekonomi nasional-internasional terkini, telah menyongsong. Diantara sekian banyak agenda pemerintahan yang penting, agenda untuk menyelesaikan permasalah-permasalahan di sektor energi adalah salah satunya yang utama yang tak boleh dipandang sebelah mata. Bukan saja karena secara fundamental sektor energi memang merupakan sektor penggerak mula (prime mover) dari semua aktifitas yang ada, termasuk aktifitas ekonomi dan roda pemerintahan, tetapi yang lebih konkrit daripada hal itu adalah bahwa kenyataan menunjukkan bahwa kinerja pemerintah di sektor energi setidaknya dalam lima tahun terakhir memang jauh dari menggembirakan. Rapor pemerintah di sektor energi dalam kurun waktu tersebut bahkan dapat dikatakan memprihatinkan dan terbukti telah merepotkan pemerintah sendiri (dan rakyat Indonesia secara keseluruhan tentunya) baik secara politik maupun ekonomi, dengan kebijakan kenaikan harga BBM yang sangat tidak populis itu.

Maka, menjadi keharusan bagi kita semua, dan pemerintahan yang baru khususnya, untuk mulai sesegera mungkin mengidentifikasi permasalahan-permasalahan utama di sektor energi yang ada dan bersama-sama memikirkan jalan pemecahannya. Dalam konteks ini, dan khususnya dalam upaya membenahi sektor energi nasional secara menyeluruh guna mewujudkan ketahanan energi nasional yang lebih baik, ada beberapa agenda utama yang semestinya diprioritaskan untuk diselesaikan satu per satu.

Agenda utama terbesar yang harus diselesaikan di sektor energi di tanah air sesungguhnya tak lain adalah bagaimana kita dapat mengurangi ketergantungan energi nasional terhadap minyak mentah dan BBM secara signifikan. Segenap kebijakan dan program di sektor energi nasional yang harus dijalankan pada dasarnya bermuara disini. Data statistik energi ESDM menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan sektor energi nasional terhadap minyak mentah dan BBM dalam bauran penggunaan energi primer (tanpa kayu bakar) sampai saat ini masih mencapai 49,6% lebih. Sedangkan dalam bauran pemakaian energi final, ketergantungan terhadap BBM masih diatas 52%. Di sisi lain, cadangan terbukti (proven reserves) minyak kita saat ini hanya sekitar 3,7 miliar barel, atau dengan tingkat produksi yang hampir mencapai 350 juta barel per tahun, tanpa adanya penemuan cadangan baru, minyak kita akan habis dalam jangka waktu kurang dari 11 tahun dari sekarang.

Karena ketergantungan yang tinggi akan konsumsi minyak dan BBM itu pulahlah subsidi energi, utamanya subsidi bbm dan listrik, yang jumlahnya mencapai puluhan (bahkan ratusan) triliun Rupiah selalu menggerogoti APBN kita dari tahun ke tahun. Kondisi ini tentu mengharuskan kita untuk tidak menunda-nunda lagi untuk segera beralih kepada pengembangan sumber-sumber energi lain di luar minyak bumi yang ada di tanah air, seperti batubara, gas alam, panas bumi dan bahan bakar nabati (BBN).

Berkaitan dengan upaya untuk merealisasikan penggunaan sumber-sumber energi non-minyak non-BBM tersebut, agenda utama berikutnya yang harus segera diselesaikan oleh karenanya adalah membenahi pengelolaan sumber-sumber energi tersebut di sisi hulunya. Secara lebih spesifik, pada tataran kebijakannya adalah bagaimana kita dapat benar-benar memprioritaskan alokasi produksi sumber-sumber energi tersebut untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri dan mengkompromikannya dengan kebutuhan ekspor. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa ketidakberdayaan kita untuk dapat mengatur alokasi produksi energi untuk domestik sesungguhnya seringkali justru bermula dari klausul kontrak-kontrak pengusahaan energi yang kita miliki dan kita berlakukan sendiri.

Dalam hal batubara dan gas alam misalnya, bahwa selama ini lebih dari 70% dan 50% dari produksinya masih ditujukan untuk ekspor, adalah tak semata karena harga komoditas tersebut di pasar internasional begitu menarik, tetapi juga karena kita memang tak punya instrumen perundangan yang bisa memaksa produsen komoditas tersebut untuk menjualnya di pasar domestik. Aturan Domestic Market Obligation (DMO) yang ada hingga saat ini sebagian besarnya dapat dikatakan masih hanya berupa himbauan saja, belum berwujud ketentuan baku yang eksplisit, jelas (spesifik dengan kuantifikasi prosentase tertentu), tegas, dan memiliki daya paksa yang efektif. Ke depan, aturan DMO yang lebih pasti ini hendaknya menjadi salah satu prioritas yang mesti diselesaikan. Tentu dengan tetap memberi ruang fleksibilitas yang menguntungkan bagi investor dimana jika kebutuhan dalam negeri sudah tercukupi maka ekspor menjadi sesuatu yang kemudian baru bisa dilakukan.

Bersamaan dengan pembenahan pengelolaan energi di sisi hulunya, agenda lain yang tak kalah pentingnya yang sejalan dengan itu adalah percepatan pembangunan infrastrukturnya. Pipa transmisi dan distribusi gas, terminal penerima LNG, terminal loading- unloading dan fasilitas stockpile batubara, pembangkit listrik berbahan bakar gas, batubara, dan panasbumi, dan juga kilang BBM (untuk mengurangi impor BBM) adalah beberapa infrastruktur energi yang cukup mendesak untuk segera dibangun. Tentu ini semua membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Namun, mengingat bahwa sektor energi sesungguhnya adalah merupakan salah satu nyawa bagi negeri ini, tentunya tidak pada tempatnya hanya karena masalah pembiayaan ini pembangunan infrastruktur energi lalu tidak menjadi prioritas. Pembiayaan adalah sesuatu yang, jika dengan political will yang kuat, tentu dapat dicarikan jalan pemecahannya. Di satu sisi tidak memberatkan keuangan negara tetapi disisi lain juga tetap memberikan ruang bagi investor untuk mendapatkan keuntungan usaha yang wajar.

Ketiga agenda utama – mengurangi ketergantungan minyak, melalui pembenahan pengelolaan energi primer dan pengembangan energi alternatif, dan percepatan pembangunan infrastruktur – itulah yang semestinya mendapatkan perhatian lebih dan penyelesaian yang segera dari otoritas energi di pemerintahan yang baru. Tentu masih banyak agenda (turunan) lain di sektor energi yang juga menuntut penyelesaian dengan segera yang tak dapat dikemukakan semuanya disini seperti penyelesaian dan atau revisi peraturan perundangan yang tak konsisten dan penyederhanaan rantai birokrasi dalam investasi. Namun, menyelesaikan ketiganya terlebih dahulu secara tuntas, kiranya sudah akan sangat membantu memperbaiki kondisi sektor energi nasional sehingga kembali on track lagi. Langkah pertama yang harus dilakukan telebih dahulu tentunya adalah mengelaborasi dan menjabarkan ketiganya menjadi rangkaian program-program kegiatan yang lebih konkrit dan spesifik, yang terencana dengan matang dan dengan target-target pencapaian yang terukur. Agar lebih efektif dan tak lupa dijalankan, maka menuangkannya kedalam suatu peraturan perundangan yang bersifat memaksa (dimasukkan ke dalam UU APBN misalnya), kiranya sudah menjadi suatu keharusan yang tak dapat ditunda-tunda lagi.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments