Kompas,14 Juli 2009 | 04:03 WIB
Jakarta, Kompas – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang hampir dipastikan memimpin kembali pemerintahan lima tahun mendatang, diharapkan berani mengorbankan popularitas demi pembenahan perekonomian.
Beberapa langkah kontroversial yang dinilai penting, seperti revisi UU Ketenagakerjaan, penegakan aturan tata ruang, peninjauan kontrak penjualan energi primer, serta pemangkasan subsidi yang tidak tepat sasaran, selama ini terkesan dihindari demi popularitas politik.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Anton J Supit di Jakarta, Senin (13/7), berpendapat, periode terakhir kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lima tahun mendatang merupakan saat paling tepat untuk memastikan bahwa pertimbangan profesional dalam pengelolaan ekonomi tidak lagi disingkirkan oleh akomodasi politik.
Sektor pertanian, misalnya, menyerap 42 persen dari total angkatan kerja di Indonesia, terlalu mahal untuk digunakan mengakomodasi titipan partai politik, kata Anton.
Untuk mengembangkan sektor pertanian, pemerintah dinilai sudah saatnya bekerja berdasarkan desain komprehensif yang terukur, transparan, dan berkekuatan hukum. Desain ini tentu tidak semata menjadi domain Departemen Pertanian.
Di dalamnya terdapat peran lintas sektoral departemen, misalnya terkait pelatihan sumber daya manusia, pembiayaan, integrasi industri, infrastruktur, perdagangan, dan tata ruang.
Salah satu langkah tidak populer yang dibutuhkan sektor pertanian adalah penegakan aturan tata ruang.
Presiden mendatang perlu punya ketegasan untuk menindak daerah yang melanggar ketentuan tata ruang dengan kekuatan fiskal, kata Anton.
Kesepakatan antara departemen teknis di tingkat pusat dan pemerintah daerah dipandang perlu untuk membuat ketentuan tata ruang berjalan. Tata ruang juga dibutuhkan untuk memastikan pelestarian lingkungan hidup tidak dikalahkan oleh kekuatan modal seperti yang sebelumnya kerap terjadi.
Belum konkret
Langkah tak populer lain yang mendesak adalah revisi UU Ketenagakerjaan. Revisi ini menjadi prasyarat mendasar untuk mendorong pertumbuhan industri, terutama yang bersifat padat karya. Pada masa kampanye, SBY mengatakan, buruh harus sejahtera dan mendapat kenaikan gaji. Di sisi lain, perusahaan pun harus tumbuh dan meraih laba karena negara membutuhkan pembayaran pajak.
Hal itu merupakan gagasan normatif yang disetujui dan menyenangkan semua pihak. Akan tetapi, SBY tidak pernah mengatakan bagaimana gagasan itu bisa dicapai.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Benny Soetrisno menekankan, pertumbuhan industri perlu diarahkan untuk memastikan terjadinya proses pertambahan nilai dari beragam sumber daya alam di Indonesia. Melalui proses itu, penyerapan tenaga kerja sekaligus peningkatan perolehan devisa didapat.
Benny mengingatkan, krisis ekonomi dunia saat ini menjadi momentum bagi Indonesia untuk meninjau kembali kebijakan perdagangan luar negeri yang selama ini terkesan begitu berani dalam pengintegrasian pasar melalui perjanjian perdagangan bebas.
Sementara di pasar domestik, perbaikan arus barang dan perlindungan melalui instrumen nontarif menjadi pekerjaan rumah yang mendesak.
Dalam bidang energi, prioritas kerja yang disampaikan SBY dalam kampanyenya juga belum konkret, sebatas mewujudkan ketahanan energi.
Pengamat migas, Pri Agung Rakhmanto, mengingatkan, untuk mencapai ketahanan, ketergantungan pada minyak bumi mesti berkurang signifikan. Dua agenda besar perlu dilakukan untuk mendasari pengurangan ketergantungan pada bahan bakar minyak, yakni pembenahan pengelolaan energi primer dan infrastruktur energi.
Pri Agung menilai, pemerintahan yang dipimpin SBY selama ini terlalu mengandalkan mekanisme pasar dalam pengembangan infrastruktur energi. Di sisi lain, belum tampak itikad pemerintah untuk belajar dari salah kaprahnya kontrak-kontrak penjualan energi yang telah merenggut kewenangan negara terhadap energi primer dari bumi Indonesia sendiri.
Di sektor energi, langkah tidak populer yang amat penting juga berkait dengan pengurangan subsidi yang tidak tepat sasaran. SBY menyebutkan hal itu dalam kampanye pemilu presiden lalu, tetapi tidak menjelaskan bagaimana hal itu akan dilakukan.
Konkretnya bagaimana Apakah hanya kendaraan roda dua yang mendapat BBM bersubsidi, lalu dana yang sebelumnya untuk subsidi dialihkan untuk membangun infrastruktur energi, kata Pri Agung.
Besaran subsidi seharusnya tidak diserahkan semata pada naik turunnya harga minyak dunia, tetapi menjadi bagian dari desain besar kebijakan energi yang diketahui masyarakat dan bisa dipantau hasil implementasinya.
Desain besar kebijakan energi itu pula yang akan memberikan kepastian kepada calon investor di sektor energi, termasuk untuk mengembangkan energi alternatif. Tidak adanya desain implementatif dari kebijakan energi nasional selama ini membuat pengembangan energi alternatif nyaris baru sebatas wacana.(NUR HIDAYATI)