Pri Agung Rakhmanto
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Bisnis Indonesia, 28 April 2008
Setelah sempat maju-mundur, pemerintah tampaknya makin ‘tegas’ segera menjalankan program kartu pintar (smart card) bahan bakar minyak (BBM) transportasi. Program yang sebenarnya belum mendapatkan anggaran dalam APBN-P 2008 itu sepertinya.
diyakini betul pemerintah dapat menjadi solusi yang paling efektif untuk mengurangi beban subsidi BBM dalam anggaran negara. Empat skenario secara garis besar telah disiapkan.
Pertama, smart card diberikan untuk semua kendaraan. Kedua, smart card untuk semua kendaraan, kecuali yang tahun pembuatannya di atas 2005 dengan kapasitas silinder (cc) di atas 2000 untuk premium dan 2.500 cc untuk kendaraan berbahan bakar solar. Ketiga, smart card untuk kendaraan umum dan roda dua saja. Keempat, smart card hanya untuk kendaraan umum. Inti dari empat skenario ini sama, yaitu hanya kendaraan dengan smart card-lah yang berhak membeli BBM dengan harga subsidi (bisa dibatasi dengan jumlah tertentu, bisa tidak). Kendaraan tanpa smart card silakan membeli BBM dengan harga nonsubsidi (harga keekonomian).
Meski masih samar-samar, skenario ketiga atau keempat tampaknya yang akan dipilih. Hal ini bisa dipahami, karena bagi pemerintah kedua skenario itu memang relatif lebih mudah dijalankan dan hasil pengurangan beban subsidi BBM di anggaran negara pun tampaknya sangat menjanjikan. Apabila diimplementasikan mulai pertengahan tahun ini di Jawa-Bali saja, dan sukses, pemerintah mengklaim bisa menghemat anggaran subsidi BBM lebih dari Rp20 triliun. Bukan main!? Plus minus Munculnya ide untuk menjalankan program smart card di tengah kondisi tertekannya anggaran, harus diakui, memiliki nilai plus. Yaitu, program ini, jika berjalan baik, dapat membuat penyaluran subsidi BBM transportasi relatif menjadi lebih tepat sasaran. Dalam arti, misalnya, skenario ketiga yang dipilih,
Para pengguna kendaraan roda empat yang diasumsikan mampu secara ekonomi dan tidak layak disubsidi, tidak akan lagi mendapatkan subsidi. Walaupun tidak sempurna, ini secara relatif tentu dapat dikatakan lebih baik dibandingkan dengan kondisi saat ini, di mana semua pengguna kendaraan dapat menikmati subsidi. Dengan membuat subsidi BBM transportasi relatif menjadi lebih tepat sasaran, pemerintah pun dengan sendirinya akan dapat memperoleh manfaat, yaitu berkurangnya beban anggaran subsidi di APBN. Potensi penghematan sebesar Rp20 triliun, katakanlah jika skenario ketiga atau keempat berhasil dilaksanakan dengan baik, secara hitungan matematis pun dapat menjadi masuk akal dan bisa ditelusuri dari mana asalnya. Namun demikian, menyangkut go or no-go program yang bersinggungan langsung dengan hajat hidup orang banyak, mendasarkan pengambilan keputusan hanya dari sisi positif dari tujuan dan hitungan matematisnya saja, tentu tidak cukup. Aspek feasibilitas dan dampak (negatif) sosial-ekonomi yang mungkin ditimbulkannya, yang pada gilirannya dapat membuat program itu efektif atau gagal, adalah sesuatu yang mutlak harus diperhitungkan secara matang. Satu hal yang paling kasat mata adalah feasibilitas menyangkut keandalan infrastruktur teknologi yang digunakan dan kesiapan sumber daya manusia yang akan menjalankannya di lapangan.
Program smart card jelas membutuhkan teknologi komputer dan sistem jaringan yang harus dapat menjangkau seluruh SPBU yang ada (minimal dalam satu pulau atau cluster tertentu) dan dapat diandalkan online secara benar setiap saat. Ini dengan sendirinya juga menuntut keandalan kemampuan sumber daya manusia yang akan menjalankannya, khususnya petugas SPBU. Sosialisasi yang cukup, baik untuk petugas SPBU maupun masyarakat umum, jelas merupakan kebutuhan mutlak. Sebentar saja dari sistim ini tidak bekerja sebagaimana mestinya, human error ataupun computer offline, misalnya, kekacauan di SPBU (antrean panjang, konflik petugas dan pembeli) akan sangat mudah terjadi. Bukan mustahil ini akan terjadi di banyak tempat, sehingga bukan tidak mungkin semua hitungan matematis tentang penghematan anggaran tidak akan terwujud.
Hal ini mengingat program smart card tidak efektif berjalan, atau bahkan mungkin terpaksa dihentikan, karena keributan sosial. Hal kedua yang juga tidak kalah pentingnya adalah menyangkut pengawasan dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran yang mungkin terjadi. Dengan masih adanya disparitas harga dan pembedaan golongan yang berhak atas BBM bersubsidi, maraknya pasar gelap BBM bersubsidi adalah suatu hal yang sangat mungkin akan terjadi. Selama ini, pengawasan dan penegakan hukum yang terkait dengan penyalahgunaan dan kebocoran BBM bersubsidi sebenarnya dapat dikatakan menjadi satu titik terlemah (yang tidak kunjung dibenahi secara serius) yang berkontribusi langsung terhadap membengkaknya volume konsumsi BBM bersubsidi. Dengan kondisi yang masih relatif sama, terus terang, sulit berharap program smart card akan berjalan efektif. Efek kenaikan harga Kalaupun dua hal di atas dapat diatasi dengan baik (dan rasanya kecil kemungkinannya kecuali dengan metode pembiaran dan sedikit otoriter), satu sisi negatif yang selama ini cenderung tersamarkan adalah efek kenaikan harga yang ditimbulkannya.
Meski berdalih dengan istilah smart card atau penghematan atau pembatasan BBM bersubsidi, dari semua skenario yang ditawarkan jelas terlihat efek kenaikan harga BBM tetap akan dirasakan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, para pengguna kendaraan tanpa smart card, yang termasuk juga kalangan industri dan pelaku ekonomi lainnya, jelas harus membeli BBM dengan harga nonsubsidi yang saat ini harganya hampir mencapai dua kali lipat. Efek bergandanya adalah bahwa inflasi pun tetap akan terjadi. Ujung-ujungnya, masyarakat kelas terbawahlah yang kembali merasakan dampak terberatnya. Jadi, justru sangat bisa jadi efek kenaikan harga yang ditimbulkan oleh program smart card ini akan jauh lebih besar dibandingkan dengan kenaikan harga BBM sebesar 10%-15% yang dilakukan secara terang-terangan. Ini masuk akal, karena dari potensi penghematan yang diklaim dapat mencapai Rp20 triliun lebih itu sendiri secara implisit, sesungguhnya mencerminkan adanya kenaikan harga BBM lebih dari 15% (dari total anggaran subsidi BBM dan LPG di APBN-P 2008 yang mencapai Rp126,8 triliun, penghematan anggaran subsidi dari kenaikan harga BBM 10%-15% yang dilakukan secara terbuka itu sendiri hanya berkisar Rp11 triliun-Rp19 triliun).
Saya tidak hendak mendorong pemerintah untuk lebih memilih menaikkan harga BBM 10%-5% secara terbuka. Namun, saya hanya mengingatkan bahwa program smart card yang efektivitasnya jelas masih tanda tanya besar ini pun sebenarnya menyimpan potensi dampak ekonomi yang tidak kalah menyakitkan dibandingkan dengan menaikkan harga BBM secara terbuka. Bahkan dapat terasa lebih menyakitkan karena cenderung dilakukan dengan mengelabui masyarakat Dalam jangka pendek, yang saya sarankan adalah agar pemerintah tidak terburu-buru membagi beban kepada masyarakat. Akan lebih bijaksana dan adil jika pemerintah terlebih dahulu mencari solusi yang elegan untuk sekadar bertahan sementara waktu sambil segera membenahi data kependudukan nasional sebagai basis penyusunan sistim proteksi/subsidi langsung untuk masyarakat tidak mampu, atau menyusun program pengalihan dana subsidi BBM lainnya di bidang kesehatan, pendidikan, dan ketenagakerjaan. Setelah itu, barulah kiranya cukup fair jika hendak menaikkan harga BBM dengan besaran yang proporsional. Masih ada celah di ABPN-P, meskipun memang tidak banyak ruang. Berbagi beban untuk sementara waktu dengan daerah penghasil migas barangkali dapat menjadi solusi emergency yang patut dilihat.