detikfinance.com, 30 April 2010
Jakarta – Presiden SBY diketahui telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 26 Tahun 2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah yang Diperoleh dari Industri Ekstraktif.
Dengan peraturan baru yang diteken presiden pada 23 April ini, diharapkan seluruh usaha eksploitasi dan penjualan hasil industri migas dan pertambangan bisa lebih transparan.
Namun sebagian kalangan pesimistis aturan baru ini bisa menjamin adanya transparansi penerimaan negara dari sektor migas dan pertambangan. Penerimaan negara dan juga dana bagi hasil (DBH) bagi daerah diyakini tidak bisa lebih transparan lagi.
“Regulasi serupa juga sudah diterbitkan pemerintah misalnya UU Pemeriksaan dan Tanggung Jawab Pemeriksaan Negara, tapi tetap saja ICW melihat adanya kebocoran penerimaan di sektor ini hingga triliunan rupiah,” kata Kordinator Pusat Data dan Analisis, Indonesia Corruption Watch (ICW), Firdaus Ilyas saat dihubungi detikFinance, Jumat (30/4/2010).
Selain dari sisi regulasi, lanjut Firdaus, poin lain dalam UU tersebut juga tidak mendorong adanya transparansi penerimaan di kedua sektor ini secara lebih komprehensif.
Dalam pelaksanaan transparansi penerimaan negara dari industri ekstraktif sebagaimana diatur dalam Perpres itu, hanya data konsolidasi laporan keuangan perusahaan, dengan APBD dan APBN yang dapat diakses. Padahal agar tujuan pemerintah untuk membuat seluruh usaha eksploitasi dan penjualan hasil industri pertambangan bisa lebih transparan, maka dibutuhkan data-data yang lebih detail.
“Kalau hanya sebatas itu, selama ini ICW juga sudah bisa akses. Kaya laporan keuangan perusahaan besar itukan bisa diakses di situs perusahaan mereka,” kata dia.
Menurut dia, data-data yang lebih detail seharusnya juga bisa diakses terutama oleh pemerintah daerah penghasil migas. Karena yang selama ini dikeluhkan pemerintah daerah adalah mereka tidak pernah dapat mengakses, apa isi kontrak perusahaan migas atau tambang yang beroperasi di wilayahnya, berapa investasi perusahaan itu, berapa hasil produksi dan berapa yang dijual, serta dengan harga berapa hasil produksi itu dijual.
“Mereka merasa seperti kambing congek yang hanya menerima DBH dari pemerintah pusat, tanpa mengetahui berapa penerimaan sesungguhnya diperoleh perusahaan dan berapa penerimaan yang diterima negara dari perusahaan tersebut,” ungkapnya.
Untuk itu, agar kehadiran Perpres ini tidak hanya mendorong terciptanya transparansi yang setengah hati, maka Menteri ESDM sebaiknya menerbitkan Keputusan Menteri (Kepmen) yang mengatur lebih detail soal pelaksanaan transparansi ini.
“Jangan sampai aturan ini diterbitkan hanya karena indonesia pengen jadi anggota Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) Club dan dapat dana kesekretariatan beberapa juta dollar Amerika. Menurut saya, itu percuma, jika hanya diujungnya transparan,namun selama prosesnya tetap saja tertutup,” tegasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Refor-Miner Institute Pri Agung Rakhmanto menilai kehadiran Prepres ini harus disikapi secara hati-hati. Ia khawatir ada suatu agenda dibalik terbitnya Perpres ini karena inisiatif munculnya aturan ini bukan murni dari pemerintah, tapi dari dunia internasional.
“Apakah terkait liberalisasi, WTO, atau yang lain. Itu yang harus diperhatikan. Lagipula kita juga belum tahu agenda apa yang sesungguhnya ada dalam dorongan transparansi yang belum jelas ini,” kata dia.