Media Indonesia, 18 April 2011
JAKARTA–MICOM: Berbagai opsi pengendalian bahan bakar minyak (BBM) subsidi yang dikemukakan pemerintah dianggap membuat bingung masyarakat. Namun Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto melihat pengendalian BBM subsidi tidak mungkin diterapkan tahun ini.
Alasannya, pemerintah belum menyiapkan infrastruktur untuk pengendalian BBM subsidi tersebut. Menurut Pri, penyediaan infrastruktur untuk pengendalian BBM tidak bisa dilakukan dalam hitungan bulan.
“Ya memang sangat membingungkan masyarakat. Tapi bagi saya sudah jelas, itu (pengendalian BBM subsidi) gak tahun ini. Memilih opsi yang mana saja masih bingung, belum lagi penyediaan infrastrukturnya, ungkap Pri, Minggu (17/4).
Sebelumnya Kementerian Koordinator Perekonomian kembali mengungkapkan berbagai opsi pengendalian BBM subsidi yang salah satunya menggunakan alat radio frequency indentification (RFID). Menurut Pri, opsi tersebut tidak masuk akal dilakukan karena memakan biaya dan waktu, serta memerlukan kesiapan teknis yang matang.
“Penjatahan dengan alat itu gak akan jalan karena teknisnya susah dan tidak akan efektif. Sebaiknya itu gak usah disebut sebagai opsi lagi, dihilangkan saja,” ujarnya.
Kemudian, Pri juga mengecam opsi pemerintah yang ingin kembali mematok harga atau memberikan batasan (capping) harga pertamax. Menurutnya, capping harga Pertamax menjadi suatu langkah mundur pemerintah yang telah lama mencabut subsidi pada pertamax.
Selain itu langkah tersebut dianggap tidak sesuai dengan tujuan pemerintah mengurangi beban subsidi BBM. “Kalau caranya begini kelihatan supaya pertamax biar laku. Padahal kan bukan itu tujuannya,” cetus Pri.
Lebih lanjut Pri, menyebutkan bahwa opsi yang masuk akal dilakukan pemerintah adalah menaikkan harga BBM subsidi (premium). Dalam hitungannya, harga premium bisa saja dinaikkan sampai dengan Rp6.500 per liter jika harga minyak mentah dunia bergerak pada kisaran US$120 per barel.Dalam kondisi sekarang dengan harga minyak mentah dunia pada sekitar US$ 110 per barel, pemerintah cukup menaikkan harga premium menjadi Rp5.500 per liter. Namun kenaikan harga premium jangan langsung dilakukan dengan jumlah yang tinggi.
Pri mengatakan, kenaikan harga premium yang langsung tinggi akan mengagetkan masyarakat dan bisa membuat inflasi langsung membumbung tinggi.
“Bisa dilakukan kenaikan sedikit-sedikit, dulu kan kita pernah melakukannya, katanya.
Untuk ke depan, Pri mengusulkan pemerintah bisa menerapkan harga BBM subsidi mengambang (floating) atau mengikuti pergerakan harga minyak mentah dunia tetapi dengan jumlah besaran subsidi yang tetap. Misalnya, subsidi pemerintah pada harga premium tetap Rp3.000 per liter walaupun nantinya harga premium bisa naik atau turun mengikuti perkembangan harga minyak mentah dunia.
“Kita memang belum terbiasa dengan cara seperti ini. Namun harga BBM subsidi memang perlu penyesuaian. Saya yakin dengan cara seperti ini, APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) aman,” pungkasnya. (OL-12)