Majalah Tambang, 10 Juni 2011
Jakarta TAMBANG. Direktur Ekesekutif Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto mendesak pemerintah fokus dan serius, melaksanakan renegosiasi kontrak-kontrak pertambangan, yang telah direncanakan.
Menurutnya, jangan sampai ungkapan presiden ingin merenegosiasi kontrak itu, lebih bersifat politis. Yakni untuk membuat bargaining position (posisi tawar) dengan perusahaan asing, agar memberikan dukungan untuk pemenangan Pemilu 2014.
Diwawancarai Majalah TAMBANG di Jakarta pada Jumat, 10 Juni 2011, Pri Agung menilai niat pemerintah merenegoisasi kontrak pertambangan yang dianggap tidak adil, setengah hati. Seharusnya renegoisasi itu dilakukan sejak Susilo Bambang Yudhoyono memimpin.
Ia menambahkan, mestinya presiden tidak perlu berwacana di media, jika memang pemerintahannya ingin merenegosiasi kontrak-kontrak pertambangan yang tidak adil. Melainkan langsung action (bertindak), dan membicarakannya langsung dengan masing-masing perusahaan.
Karena sudah diungkapkan lewat media, Pria Agung khawatir rencana pemerintah itu hanya akan mengganggu iklim investasi di Indonesia. Pernyataan pemerintah soal renegoisasi itu terlambat. Ke mana saja selama ini pemerintah, mengapa tiba-tiba disuarakan , tandasnya.
Pertanyaan selanjutnya, kata Pri Agung, pernyataan presiden itu pertanda pemerintah baru sadar, atau ada muatan lain Dia khawawatir itu hanya bermuatan politis, agar perusahaan merapat ke partai politik yang berkuasa, serta mendukungnya memenangkan Pemilu 2014.Pemerintah, ujarnya, juga tidak perlu repot-repot membentuk Tim Renegoisasi. Seharusnya jajaran pemerintah dapat melakukan renegoisasi sejak awal, dengan melakukan pendekatan kepada perusahaan-perusahaan asing, untuk membicarakan ulang kontraknya.
Hal yang terpenting adalah implementasi, bukan pemberitahuan rencana renegoisasi ke publik. Tanpa membentuk tim, seharusnya pemerintah sudah bisa melakukan renegoisasi. Itu bisa dilakukan oleh Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba), tandasnya.
Maka dari itu, Pri Agung mendesak pemerintah fokus dan serius, melaksanakan rencananya merenegosiasi kontrak-kontrak pertambangan. Diantaranya memperbaiki sistem konsesi wilayah kontrak, dan royalti yang rendah.
Ia juga mengkritik, pengawasan terhadap kontraktor pertambangan umum sangat longgar. Berbeda dengan pertambangan minyak dan gas (migas) yang memiliki badan pengawas seperti BP Migas.
Akibatnya, perusahaan pertambangan asing membayar royalti yang terlalu rendah, hanya 1-2% dari pendapatan bersih.
Namun demikian, ia menolak dibentuknya badan pengawas pertambangan umum, seperti BP Migas. Karena pengawasan itu bisa dilakukan langsung oleh Ditjen Minerba.
Justru dia khawatir, pembentukan badan pengawas tidak dapat membuat pemerintah bekerja optimal. Sekarang tinggal bagaimana Ditjen Minerba, pungkasnya.