Kompas, 23 Agustus 2011
JAKARTA, Dua perusahaan yang berkedudukan hukum di Belanda yakni Argo Capital BV dan Argo Global Holdings BV mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Berdasarkan dokumen surat Kantor Hukum Adnan Kelana Haryanto & Hermanto (AKHH) tertanggal 12 Agustus 2011 yang salinannya diperoleh di Jakarta, Selasa (23/8/2011), disebutkan, permohonan pailit dikarenakan kedua kliennya tersebut yakni Argo Capital dan Argo Global tidak dilibatkan dalam proses restrukturisasi utang TPPI yang saat ini masih berjalan.
“Padahal, TPPI mempunyai utang dalam jumlah cukup besar,” sebut surat yang ditandatangani kuasa hukum Stefanus Haryanto dan Hendry Muliana dari Kantor Hukum AKHH.
Permohonan pailit sudah didaftarkan dikepaniteraan Pengadilan Niaga Jakpus dengan nomor 55/Pailit/2011/PN.Niaga pada 12 Agustus 2011 dan dijadwalkan sidang perdana pada 24 Agustus 2011.
Pengamat migas, Komaidi mengatakan, gugatan pailit tersebut menunjukkan TPPI memang tidak beritikad baik menyelesaikan utang-utangnya. “Pemerintah mesti segera intervensi untuk menyelesaikan utang TPPI,” katanya.
Menurut Wakil Direktur ReforMiner Institute itu, intervensi tersebut berupa penetapan harga mogas dan elpiji sesuai yang diminta PT Pertamina (Persero).
Dalam suratnya ke Pengadilan Niga tersebut, tercantum total utang TPPI ke Argo Capital dan Argo Global per 30 Juni 2011 mencapai 160 juta dolar AS yang terdiri dari pokok 112 juta dollar dan bunga 48 juta dollar.
Utang tersebut berasal dari fasilitas pinjaman yang diberikan Argo Capital dan Argo Global ke TPPI senilai 90 juta dollar pada 2005.
Serta, pengalihan piutang PT Inti Karya Persada Teknik, PT Adhi Karya, dan PT Wijaya Karya di TPPI senilai total 15 juta dolar AS ke Argo Capital dan Argo Global masing-masing 7,5 juta dolar AS. “Para pemohon pailit (Argo Capital dan Argo Global) memohon perhatian Majelis Hakim karena utang-utang tersebut telah diakui dalam laporan keuangan termohon (TPPI) yang dibuat per 31 Maret 2011,” sebut surat itu.
Dalam surat juga disebutkan TPPI memiliki kewajiban utang ke Argo Capital Management (Cyprus) Limited 5,6 juta dolar dan Argo Fund Limited yang berkedudukan hukum di Siprus senilai 30 juta dolar belum termasuk pokok. Sebelumnya, salah satu kreditur TPPI, JGC Corporation asal Jepang, dalam suratnya tertanggal 22 Juli 2011 kepada Menkeu Agus Martowardoyo juga protes karena tidak dilibatkan dalam proses restrukturisasi. Utang TPPI ke JGC tercatat 189 juta dollar AS tidak termasuk bunga.
Saat ini, TPPI tengah melakukan proses restrukturisasi utang dengan pemerintah, PT Pertamina (Persero), dan Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) senilai total Rp 9,5 triliun. Perinciannya, pemerintah Rp 3,2 triliun, Pertamina Rp 4,7 triliun, dan BP Migas Rp 1,5 triliun. Pada 26 Mei 2011, term sheet (lembar persyaratan) restrukturisasi utang TPPI bersama induk perusahaan, PT Tuban Petrochemical Industries dan anak perusahaan lainnya telah ditandatangani.
Sesuai term sheet itu penandatanganan master of closing agreement (MCA) TPPI dijadwalkan pada 26 Juli 2011. Namun, kemudian tertunda menjadi 15 Agustus 2011 dan terakhir ditunda lagi menjadi 26 Agustus 2011.
Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PAN, Totok Daryanto mengatakan, Komisi VII DPR akan mengagendakan rapat pembahasan penyelesaian utang TPPI pada sidang mendatang. “Karena TPPI ini tercatat sebagai isu besar di sektor strategis, maka layak diagendakan dalam rapat kerja dengan Komisi VII pada masa sidang sekarang,” katanya. Fokus pembahasan adalah kepentingan negara harus di atas segalanya.
Totok juga mengatakan, pemerintah merupakan pemilik saham mayoritas di TPPI, sehingga seharusnya tidak perlu ada deadlock. “Di bawah arahan Menteri BUMN, pemerintah dapat melakukan konsolidasi dan mengambil keputusan terbaik untuk kepentingan negara,” ujarnya. Komposisi saham TPPI sekarang dimiliki Tuban Petro 59,5 persen, Pertamina 15 persen dan pemegang saham asing 25,5 persen. Sedangkan saham Tuban Petro dimiliki PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) sebesar 70 persen dan PT Silakencana Tirtalestari milik Honggo Wendratmo sebesar 30 persen.
Menurut dia, TPPI harus membayar lunas semua utang-utangnya kepada Pertamina dan BP Migas sesuai dengan kesepakatan sebelumnya.
Kalau TPPI tidak mampu memenuhi kuwajiban tersebut karena dapat mengganggu kelangsungan operasional perusahaan, lanjutnya, maka utang tersebut dikonversi menjadi saham. “Dengan demikian saham Silakencana Tirtalestari dapat terhapus dan kemudian pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Pertamina untuk diintegrasikan dengan kilang milik Pertamina untuk kepentingan memenuhi kebutuhan BBM di dalam negeri,” katanya.