Saturday, November 23, 2024
HomeReforminer di Media2011Kemandirian Energi Belum Terwujud

Kemandirian Energi Belum Terwujud

Kompas, 24 September 2011

JAKARTA– Kemandirian energi nasional di Tanah Air dinilai masih belum terwujud. Hal ini ditandai dengan ketergantungan pada bahan bakar minyak dan keterbatasan akses masyarakat karena minimnya infrastruktur pendukung energi.

Demikian benang merah diskusi publik bertema “Kemandirian Energi”, Sabtu (24/9/2011), di Kafe Bistro Boulevard, Menteng, Jakarta.

Menurut Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Kardaya Warnika, ada beberapa faktor yang menentukan kemandirian energi.

Salah satunya adalah kemampuan menjamin ketersediaan energi dengan harga terjangkau. Faktor lainnya adalah, aksesibilitas atau infrastruktur pendukung energi misalnya terminal terapung penampung gas alam cair atau LNG. Saat ini sebagian masyarakat tidak bisa mengakses energi lantaran minimnya infrastruktur. Selain itu ketahanan energi ditentukan oleh daya beli masyarakat.

“Karena daya beli masyarakat masih rendah, maka perlu mendapatkan subsidi,” kata dia menegaskan.

Pengamat energi Pri Agung Rakhmanto menyatakan, saat ini ketahanan energi baru sebatas ketersediaan sumber daya alamnya, tetapi bukan pada suplai atau pasokan energi. Akses negara terhadap sumber daya alam juga terbatas.

“Terhadap sumber daya alam kita sendiri, kita tidak bisa menguasainya. Sebagai contoh, Pertamina selaku BUMN harus bersusah payah mendapatkan blok di wilayahnya sendiri,” ujarnya.

Sementara akses masyarakat terhadap energi juga terbatas. Hal ini ditandai dengan rasio elektrifikasi nasional yang belum mencapai 80 persen, bahkan di beberapa daerah masih kurang dari 70 persen. Jadi daya mampu negara rendah dan daya beli masyarakat terhadap energi masih rendah.

“Suka tidak suka, kita tergantung pada asing, mengandalkan investor, tidak mau mengeluarkan duit untuk membangun infrastruktur energi,” kata dia.

“Jika memang tidak tersedia cukup uang untuk membangun infrastruktur, semestinya pemerintah pro aktif. Misalnya, jika Pertamina butuh insentif, maka maka pemerintah perlu segera memberikannya,” kata dia. Selama ini anggaran pemerintah justru banyak terserap untuk subsidi energi terutama bahan bakar minyak dan listrik. Akibatnya, sehingga pembangunan infrastruktur dan kegiatan eksplorasi untuk menemukan cadangan baru migas berjalan lamban. “Tidak ada terobosan kebijakan untuk mengurangi subsidi,” kata Pri Agung.

Pemerintah seharusnya mengutamakan pengurangan subsidi BBM dibandingkan listrik yang relatif tepat sasaran. Kebijakan BBM perlu segera ditetapkan, apakah menaikkan harga secara terbatas atau memilih pembatasan distribusi BBM secara tegas.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments