Sunday, November 24, 2024
HomeReforminer di MediaArtikel Tahun 2011Renegosiasi Kontrak Pertambangan: Untuk (Si-) Apa?

Renegosiasi Kontrak Pertambangan: Untuk (Si-) Apa?

Komaidi
Deputy Director ReforMiner Institute
Media Indonesia, Rabu, 9 November 2011

Renegosiasi kontrak pertambangan yang dilakukan oleh pemerintah disampaikan telah mencapai sekitar 65 %. Pemerintah menyampaikan bahwa jumlah Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan batubara (PKP2B) yang telah direnegosiasi telah mencapai sekitar 65 % terhadap seluruh kontrak pertambangan yang ada. Berdasarkan pandangan pemerintah, dalam waktu yang dinilai relatif singkat, capaian tersebut kiranya perlu diapreasiasi.

Sedangkan, berdasarkan UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang diundangkan per 12 Januari 2009,  penyesuaian ketentuan yang tercantum di dalam Pasal KK dan PKP2B sesungguhnya diamanatkan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak undang-undang tersebut diundangkan. Artinya, paling lambat per 12 Januari 2010 penyesuaian terhadap ketentuan KK dan PKP2B tersebut telah diselesaikan oleh pemerintah dan kontraktor. Karena itu, proses renegosiasi kontrak pertambangan yang hingga Oktober 2011 disampaikan baru mencapai sekitar 65 % tersebut pada dasarnya telah terlambat lebih dari satu tahun (22 bulan) dari jadwal yang diamanatkan oleh undang-undang.

Poin Renegosiasi

Tujuan utama renegosiasi kontrak pertambangan yang dilakukan oleh pemerintah adalah untuk meningkatkan kedaulatan negara dalam pengelolaan dan pengusahaan sektor pertambangan. Karena itu, tujuan tersebut sering kali diterjemahkan oleh pemerintah sebagai upaya membenahi poin-poin ketentuan di dalam kontrak pertambangan, agar kontrak-kontrak tersebut lebih mencerminkan rasa keadilan. Hal lain yang sering disampaikan adalah bahwa tujuan renegosiasi kontrak pertambangan tersebut sebagai upaya untuk melakukan optimalisasi penerimaan negara dari sektor pertambangan.

Terkait dengan tujuan tersebut, isu strategis yang menjadi perhatian pemerintah dalam renegosiasi kontrak pertambangan tersebut terdiri dari 6 (enam) isu utama; yaitu: (1) luas wilayah kerja, (2) perpanjangan kontrak, (3) penerimaan negara (royalti), (4) kewajiban pengolahan dan pemurnian, (5) kewajiban divestasi, dan (6)kewajiban penggunaan barang/jasa pertambangan dalam negeri. Dari enam isu tersebut, disampaikan bahwa ketentuan mengenai divestasi belum dinegosiasikan dengan perusahaan (kontraktor).

Pemerintah menyampaikan bahwa tujuan renegosiasi luas wilayah kerja dan perpanjangan kontrak dimaksudkan untuk menghindari terjadinya konsentrasi (monopoli) penguasaan pengusahaan pertambangan. Renegosiasi penerimaan negara (royalti) dimaksudkan untuk melakukan optimalisasi penerimaan negara dari sektor pertambangan. Sedangkan kewajiban pengolahan dan pemurnian dan kewajiban penggunaan barang/jasa pertambangan dalam negeri dimaksudkan untuk menciptakan nilai tambah perekonomian dalam negeri.

Optimalisasi Penerimaan Negara

Pada dasarnya tujuan akhir renegosiasi kontrak pertambangan adalah optimalisasi penerimaan negara. Secara teoritis, renegosiasi kontrak pertambangan dapat meningkatkan penerimaan negara baik dari penerimaan perpajakan maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor pertambangan. Karenanya jika renegosiasi kontrak pertambangan disampaikan telah mencapai sekitar 65 %, semestinya hal tersebut akan terefleksikan di dalam peningkatan penerimaan negara dari sektor pertambangan.

Namun demikian, terkait dengan upaya peningkatan penerimaan negara, renegosiasi kontrak pertambangan yang sudah berjalan kiranya masih jauh dari harapan. Hal tersebut dikarenakan terkait renegosiasi (peningkatan) tarif royalti KK dan PKP2B yang merupakan instrumen utama (dasar) untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah cenderung tidak mampu berbuat banyak.

Berdasarkan analisis ReforMiner, meski renegosiasi kontrak (berdasarkan jumlah kontrak) disampaikan telah mencapai 65 %, kontribusi nama-nama perusahaan (kontraktor) tersebut terhadap produksi mineral dan batubara nasional relatif tidak signifikan. Dalam kurun 8 (delapan) tahun terakhir, kontribusi produksi mineral dari KK yang telah menyetujui poin-poin renegosiasi kontrak rata-rata hanya sekitar 15 – 20 % terhadap total produksi mineral nasional. Sedangkan pada periode yang sama, kontribusi produksi batubara oleh PKP2B yang telah menyetujui poin-poin renegosiasi rata-rata hanya sekitar 20 -25 % terhadap total produksi  batubara nasional.

Bahwa berdasarkan jumlah kontrak pertambangan yang sudah direnegosiasi (setuju seluruhnya) diklaim oleh pemerintah telah mencapai sekitar 65 % dari jumlah kontrak, hal itu sebenarnya bukan merupakan informasi yang keliru, hanya saja cenderung menutupi kondisi yang sebenarnya. Karena faktanya bahwa kontribusi perusahaan (kontraktor) tersebut terhadap produksi mineral dan batubara nasional ternyata tidak signifikan yang dalam hal ini jauh lebih substansial untuk disampaikan kepada publik dan lebih informatif untuk dapat dijadikan dasar pengambilan kebijakan, ternyata tidak disampaikan.

Terkait besaran royalti yang akan direnegosiasikan, pemerintah kiranya tidak perlu ragu untuk menentukan besarannya. Jika bertolak pada Pasal 33, ayat 3, UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, semestinya dapat menjadi dasar yang kuat bagi pemerintah untuk melakukan itu.

Dalam kaitan dengan penerimaan negara, sebagai perbandingan, dengan mengacu pada rata-rata biaya investasi (cost recovery)sekitar 30 % penerimaan kotor, rata-rata penerimaan negara dari sektor migas berkisar antara 55 % – 60 % terhadap total penerimaan kotor migas. Sedangkan berdasarkan simulasi ReforMiner, dengan tingkat royalti 5 % harga jual (penerimaan kotor), biaya produksi 30 % penerimaan kotor, dan PPh badan mengacu pada Undang-Undang Perpajakan yang berlaku, penerimaan negara dari pertambangan umum hanya sekitar 23,20 % terhadap penerimaan kotor pertambangan umum.

Karena itu, jika pemerintah menghendaki optimalisasi penerimaan negara dari pertambangan umum, renegosiasi tehadap besaran royalti yang berlaku saat ini jelas menjadi suatu keharusan. Dalam konteks pembenahan sektor pertambangan secara lebih mendasar, hal itu bahkan merupakan suatu keharusan yang paling minimal. Hal yang jauh lebih fundamental sesungguhnya adalah mengubah sistem konsesi Kontrak Karya dan PKP2B itu sendiri menjadi sistem Kontrak Bagi Hasil sebagaimana yang diterapkan di pertambangan migas, yang memberikan hasil yang jauh lebih optimal bagi negara.

Semoga semua isu startegis yang menjadi perhatian pemerintah terkait renegosiasi kontrak pertambangan didasarkan atas kepentingan nasional dan dilaksanakan dengan konsisten. Terkait dengan renegosiasi luas wilayah pertambangan misalnya, tujuan utama bahwa hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari terjadinya konsentrasi (monopoli) penguasaan pengusahaan pertambangan kiranya adalah hal yang positif. Akan tetapi, jika renegosiasi (pengurangan) luas wilayah pertambangan tersebut ternyata hanya dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada pihak/golongan tertentu, tidak memperhatikan aspek keekonomian dari ketentuan minimal luas pertambangan, dan mengabaikan kepentingan nasional, kiranya bukan itu yang diharapkan.

Meskipun relatif terlambat, semoga renegosiasi kontrak pertambangan yang sedang dilakukan semata-mata memang untuk kepentingan nasional- bukan basa-basi, terlebih sekedar untuk pencitraan.

 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments