Pri Agung Rakhmanto
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
INVESTOR DAILY:16 Januari 2012
Rencana pembatasan bahan bakar minyak (BBM), melarang kendaraan roda empat pelat hitam mengonsumsi BBM subsidi, yang akan diterapkan 1 April 2012 kian menuai kritik dari berbagai kalangan. Mereka beranggapan menaikkan harga BBM dipandang jauh lebih rasional secara ekonomi, sederhana dalam penerapan, dan tidak memerlukan pengawasan.
Penghematan anggaran yang bisa didapatkan juga relatif lebih signifikan. Dari simulasi perhitungan ReforMiner Institute, kenaikan harga premium dan solar sebesar Rp 1.000 per liter dapat menghemat anggaran subsidi hingga Rp 38,3 triliun.
Sementara itu, jika harga BBM dikembalikan pada level 2008, yakni Rp 6.000 per liter, atau berarti dinaikkan sebesar Rp. 1.500 per liter, penghematan alokasi anggaran subsidi mencapai Rp 57 triliun. Potensi dampak inflasinya berkisar 1-1,5%, dan dapat lebih rendah jika pemerintah meredamnya dengan kebijakan lain, seperti memberikan cash back kepada kendaraan umum.
Dengan berbagai pertimbangan rasional seperti itu, mengapa pemerintah masih juga berkukuh akan menerapkan pembatasan?
Apa sebenarnya rasio nalitas di balik kebijakan pembatasan ini sehingga oleh pemerintah masih dipandang layak untuk tetap diterapkan?
Kelemahan Mendasar
Ada beberapa sisi positif dari kebijakan ini yang mungkin perlu kita lihat. Pertama, kebijakan ini ditujukan untuk membuat alokasi subsidi BBM menjadi relatif lebih tepat sasaran. Asumsinya, pemilik kendaraan roda empat pelat hitam adalah golongan yang relatif mampu, sehingga dinilai tidak patut mendapatkan subsidi lagi.
Asumsi ini dapat diperdebatkan, tapi sesungguhnya cukup valid jika pemerintah konsisten dengan mendefinisikan bahwa yang berhak menerima subsidi adalah hanya golongan masyarakat miskin – yang oleh pemerintah diklaim jumlahnya `hanya’ 29,89 juta jiwa. Membuat alokasi subsidi menjadi relatif tepat sasaran ini sesungguhnya adalah poin tertinggi dan sekaligus kelebihan dari kebijakan pembatasan ini dibandingkan kenaikkan harga.
Kedua, dari sisi potensi dampak inflasi yang ditimbulkannya, secara teoritis juga akan lebih kecil dibandingkan jika menaikkan harga. Mengacu pada angka pemerintah, kenaikan inflasi yang akan timbul diperkirakan ada di kisaran 0,8%. Hal ini cukup wajar karena meskipun dalam pembatasan ini sesungguhnya juga ada unsur kenaikan harga yang bahkan mendekati 100%, itu hanya dikenakan pada golongan masyarakat tertentu.
Ketiga, dari sudut pandang pemerintah dan makro kebijakan energi nasional yang pada akhirnya memang bertujuan untuk menghapuskan subsidi BBM, kebijakan ini adalah cara yang relatif lebih cepat untuk mencabut subsidi BBM. Ini juga dapat diperdebatkan, karena hal itu dilakukan dengan memaksa golongan tertentu beralih ke Pertamax dan sejenisnya tanpa memberikan alternatif lain yang memadai.
Bahan bakar gas (BBG) dalam hal ini jelas belum layak dikatakan sebagai alternatif karena ketersediaannya yang masih sangat jauh dari memadai. Skenario lanjut yang mungkin terjadi jika pembatasan memang benar-benar diterapkan April nanti, maka di tahun-tahun yang akan datang kita tinggal menunggu kapan waktunya hal yang sama diterapkan baik untuk sepeda motor maupun kendaraan umum.
Adapun beberapa kelemahan mendasar dari kebijakan pembatasan yang selama ini mendapat sorotan dari berbagai kalangan adalah pertama, bahwa kebijakan ini rawan kebocoran. Dalam pengertian, kebijakan tersebut akan membuka dan mendorong merebaknya pasar gelap BBM bersubsidi.
Kekhawatiran akan hal ini sangat valid karena disparitas antara harga BBM subsidi dengan non-subsidi saat ini begitu lebar. Yaitu mendekati Rp 4.000 per liter dan dapat semakin melebar dengan potensi naiknya harga minyak dunia karena ketegangan Iran-Amerika Serikat. Ini adalah kelemahan yang paling mendasar dari kebijakan ini dan dapat dikatakan hampir mustahil diatasi dengan kondisi pengawasan dan penegakan hukum yang masih lemah di negeri ini. Penerapan teknologi radio frequency identification (RFID) belum bisa diharapkan karena baru sebatas proyek show-off saja.
Kedua, dengan rawan kebocoran yang hampir mustahil dicegah dan diatasi, dengan sendirinya tidak ada jaminan bahwa nantinya volume BBM bersubsidi benar-benar dapat ditekan sebagaimana yang diharapkan. Efektivitas kebijakan ini menjadi tanda tanya. Sejalan dengan ini, kebijakan ini juga akan merrdorong makin pesatnya penggunaan sepeda motor sebagai moda transportasi utama.
Jumlah sepeda motor saat ini mencapai 80 juta unit lebih, dan tingkat konsumsi bahan bakarnya sudah mencapai 40% dari total konsumsi BBM nasional. Dalam 2-3 tahun ke depan, sangat mungkin permasalahan membengkaknya volume BBM subsidi akan kembali berulang karena konsumsi BBM oleh sepeda motor akan makin tidak terkendali.
Ketiga, tentu saja, kebijakan ini memerlukan kesiapan infrastruktur, khususnya dalam penyediaan pertamax dan sejenisnya berikut stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) dan sarana penunjangnya. Dengan kata lain, dari sisi implementasi, kebijakan ini tidak sederhana dan memerlukan biaya tambahan. Ketidaksiapan dalam penyediaan Pertamax bisa berakibat fatal pada tidak berjalannya kebijakan ini, dan bahkan bisa memicu gejolak sosial di masyarakat.
Mengurangi Kebocoran
Dengan hal-hal di atas, sesungguhnya sudah sangat jelas apa yang harus diputuskan dan dilakukan pemerintah. Jika batasan politik, khususnya belenggu dari UU APBN 2012 yang secara “irasional” mengamanatkan tidak ada kenaikan harga BBM bersubsidi tahun ini dikesampingkan, kebijakan pembatasan tidak sepatutnya dijalankan.
Sebaliknya, jika pertimbangan politik ternyata lebih dominan dan menjadi determinan, katakanlah demi menghindari potensi terjadinya kerusuhan yang mungkin tak terkendali seiring suhu politik yang semakin memanas, maka bisa jadi kebijakan pembatasan ini memang menjadi satu-satunya opsi yang realistis untuk diterapkan.
Lalu, jika itu yang terjadi, kita hanya bisa berharap agar pemerintah benar-benar fokus pada jaminan ketersediaan Pertamax dan sejenisnya bagi masyarakat dan mengurangi seoptimal mungkin kebocoran yang pasti akan terjadi. Itu saja, dan tak usah banyak berwacana dahulu dengan BBG, RFID, dan sejenisnya.