Thursday, November 14, 2024
HomeReforminer di MediaArtikel Tahun 2012Kisruh (kuota) BBM Sampai Kapan ?

Kisruh (kuota) BBM Sampai Kapan ?

Pri Agung Rakhmanto
Pendiri ReforMiner Institute ; Dosen FTKE Universitas Trisakti
Bisnis Indonesia – Senin, 03 Desember 2012

Dalam beberapa tahun terakhir, volume kuota BBM subsidi selalu terlampaui. Sejalan dengan itu, antrean di banyak SPBU di sejumlah wilayah karena ketersediaan BBM subsidi yang langka juga terus terjadi.

Tahun ini kejadian itu kembali berulang dan dapat dikatakan semakin parah. Baru pada September lalu kuota BBM subsidi di APBN-P 2012 ditambah dari 40,04 juta kilo liter menjadi 44,04 juta kilo liter, saat ini jumlah itu sudah akan habis kembali.

Pemerintah berencana meminta tambahan kuota sebesar 1,2 juta kilo liter lagi ke DPR untuk mencukupi kebutuhan BBM subsidi hingga akhir tahun ini. Dalam hal nominal anggaran, nilainya kurang lebih setara Rp. 5,5 triliun.

Persoalan yang selalu berulang ini tidak hanya membosankan dan menghabiskan energi publik, dan terlebih, dunia usaha. Lebih jauh lagi, karena sudah mulai memicu ketegangan sosial di beberapa tempat, persoalan ini juga merugikan dan meresahkan masyarakat. Ada beberapa penyebab utama mengapa kisruh (kuota) BBM ini terus terjadi.

Pertama, pemerintah, khususnya dengan jajaran Kementerian ESDM dan BPH Migas di dalamnya, tak pernah tahu persis berapa sesungguhnya volume BBM subsidi yang benar-benar dikonsumsi masyarakat dan berapa banyak yang disalahgunakan.

Pemerintah hanya sering mengatakan bahwa banyak BBM subsidi yang disalahgunakan, namun tak pernah mampu mengkuantifikasikan berapa (kisaran) jumlahnya.

Titik-titik dimana terjadi penyalahgunaan tersebut juga tak pernah terpetakan dengan jelas. Dengan kondisi seperti itu, bagaimana mungkin bisa menghasilkan perkiraan jumlah kuota yang akurat? Aspek perencanaan dan pengawasan dalam hal penyaluran dan pendistribusian BBM subsidi seperti tak berjalan. Tak mengherankan jika kemudian ada sebagian publik yang menuntut pembubaran BPH Migas, karena keberadaannya dipandang tak efektif.

Kedua, dalam beberapa tahun terakhir, praktis memang relatif tak ada kebijakan konkret yang dilakukan untuk mengatasi masalah ini.

Kebijakan menaikkan harga terakhir diambil pada 2008, dan itu pun, untuk kepentingan politis kemudian diturunkan lagi menjelang Pemilu 2009 lalu. Pengendalian konsumsi hanya diupayakan melalui himbauan, spanduk, iklan, penempelan stiker dan (hampir saja) fatwa haram penggunaan BBM subsidi.

Penggunaan energi alternatif, biofuels dan gas untuk transportasi, bisa dikatakan tak berjalan karena memang tak diupayakan sungguh-sungguh. Upaya menaikkan harga pada tahun ini juga gagal dilakukan karena diwacanakan terlalu lama sehingga akhirnya dipolitisasi sedemikian rupa. Disparitas harga antara BBM subsidi dan non-subsidi, di kisaran Rp. 4.500 per liter, dengan sendirinya tetap tak tersentuh dan menjadi insentif bagi siapa saja untuk memanfaatkannya. Maka, sesungguhnya tak perlu heran jika kemudian realisasi konsumsi BBM subsidi terus naik secara signifikan dari tahun ke tahun.

Jika realisasi tahun ini benar-benar menembus angka 45,2 juta kilo liter, maka itu berarti terjadi penambahan 3,5 juta kilo liter (8 persen per tahun) dari realisasi tahun 2011 yang mencapai 41,7 juta kilo liter.

Ketiga, masih dengan akar masalah yang tidak tersentuh, upaya pengendalian yang dilakukan di penghujung tahun ini kemudian adalah dengan menginstruksikan Pertamina untuk melakukan pengkitiran. Pendistribusian BBM subsidi di sejumlah SPBU di berbagai wilayah dikurangi secara paksa demi menjaga supaya kuota tidak jebol. Tentu saja yang terjadi adalah kelangkaan dan keresahan sosial di masyarakat.

Harus Segera

Untuk permasalahan yang sudah sedemikian kronis, tentu tak ada satu obat mujarab yang dapat menyelesaikannya secara seketika dan tanpa dampak. Namun, jelas, sesuatu yang konkret harus segera dilakukan secara tegas, berani, terukur tetapi tanpa terlalu banyak diwacanakan.

Jika hanya diatasi dengan cara business as usual, atau out of the box tetapi tidak esensial seperti halnya rencana gerakan satu hari tanpa BBM subsidi -, itu tak akan memperbaiki keadaan, apalagi menyelesaikannya. Kisruh yang sama akan terus terjadi untuk jangka waktu yang tak berujung.

Dalam jangka pendek, pilihan kebijakan yang harus diambil memang relatif tak banyak. Kenaikan harga BBM subsidi katakanlah menjadi Rp. 6.000 per liter masih merupakan satu opsi yang relatif paling rasional. Opsi ini memang tak secara langsung berkorelasi terhadap pengendalian volume konsumsi BBM subsidi, namun tetap akan lebih banyak membawa perbaikan dan penyelesaian dari permasalahan yang ada.

Kenaikan harga akan mengurangi disparitas harga BBM subsidi dan non-subsidi sehingga mengurangi insentif untuk dilakukannya penyalahunaan. Semakin sempit disparitas harga, semakin besar juga insentif untuk mengkonsumsi BBM non-subsidi. Kenaikan harga akan membuat BBM menjadi relatif lebih mahal sehingga mengkondisikan orang untuk mengkonsumsinya secara lebih rasional (tidak berlebihan).

Kenaikan harga juga akan menghemat alokasi anggaran subsidi di APBN secara langsung dan signifikan sehingga tekanan fiskal akan berkurang. Jika tekanan dari sisi anggaran dapat dikurangi, maka pengendalian volume tak lagi harus dilakukan dengan cara-cara paksa yang memicu keresahan dan kerusuhan di masyarakat.

Sehingga, kebijakan mendorong penggunaan biofuels dan gas untuk transportasi dapat dilakukan secara lebih komprehensif dan tak sekadar menjadi proyek membagi converter kit.

Daripada terlalu banyak mewacanakan berbagai alternatif kebijakankreatif yang juga tidak efektif, dalam jangka pendek akan lebih baik jika pemerintah fokus pada bagaimana bisa merealisasikan opsi kenaikan harga BBM dengan dampak ekonomi, politik dan sosial yang terkelola dengan baik.

 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments