Komaidi Notonegoro,
Wakil Direktur ReforMiner Institute
Media Indonesia, Senin, 05 Maret 2012
Jika pemerintah konsisten bahwa kebijakan penaikan harga BBM merupakan instrumen untuk realokasi subsidi yang lebih tepat sasaran dan berkeadilan, bukan semata-mata untuk mengurangi (mencabut) subsidi, mengembalikan subsidi kepada masyarakat yang berhak adalah keharusan.”
SETELAH secara tegas menya takan tidak akan menaikkan harga BBM bersubsidi pada 2012, pemerintah saat ini justru berencana mengambil kebijakan yang tidak populis tersebut. Hal itu dilakukan setelah pemerintah urung mengimplementasikan kebijakan pembatasan BBM akibat belum siapnya infrastruktur penunjang.
Berdasarkan rapat kerja antara Kementerian ESDM dan Komisi VII DPR RI pada 28 Februari 2012, pemerintah mulai mengerucut pada usulan opsi penaikan harga BBM bersubsidi sebesar Rp1.500 per liter atau subsidi tetap sebesar Rp2.000 per liter.
Masalah klasik dan argumentasi yang sama masih tetap menjadi dasar rencana penaikan harga BBM bersubsidi pada 2012. Seperti halnya penaikan harga BBM bersubsidi pada 2005 dan 2008, realisasi harga minyak dunia yang telah melampaui asumsi harga minyak (ICP) di APBN dan potensi ancaman defisit anggaran yang disampaikan semakin besar ialah dasar argumentasinya.
Dampak kebijakan
Meski saat ini perdebatan masih berada pada tataran opsi besaran kenaikan harga dan mekanisme subsidi BBM yang akan diimplementasikan, mengetahui dampak yang akan ditimbulkan dari rencana kebijakan pemerintah tersebut kiranya lebih substansial. Dengan mengetahui dampak yang akan ditimbulkan, itu setidaknya akan dapat digunakan sebagai guidance bagi pemerintah untuk meminimalkan potensi dampak atas kebijakan yang akan diimplementasikan. Berdasarkan simulasi Reforminer Institute, dampak kebijakan rencana penaikan harga BBM bersubsidi pada 2012 adalah sebagai berikut: (Lihat Tabel 1: Dampak Kebijakan Penaikan Harga BBM 2012).
Dari simulasi Reforminer tersebut, ditemukan bahwa dengan penaikan harga BBM bersubsidi Rp1.000 – Rp2.000 per liter, potensi penghematan subsidi yang akan didapat pemerintah sekitar Rp38,70 triliun sampai dengan Rp76,60 triliun. Selain itu, jika pemerintah tidak menyertai dengan kebijakan peredam, rencana kebijakan penaikan harga BBM tersebut berpotensi memberikan tambah an inflasi sekitar 1,07% – 2,14%.
Penaikan harga BBM bersubsidi juga akan memberikan dampak inflasi langsung bagi sektor pengguna utama seperti sektor transportasi, usaha kecil, dan nelayan. Adapun sektor nonpengguna utama berpotensi terkena dampak inflasi tidak langsung akibat kenaikan harga barang dan jasa yang menjadi input produksinya. Karena itu, jika harga BBM bersubsidi dinaik kan, paling tidak pemerintah perlu memberikan kebijakan kompensasi kepada sektor pengguna utama. Itu harus dilakukan jika pemerintah mengharapkan target makroekonomi yang ditetapkan di APBN dapat dicapai. Adapun distribusi konsumsi BBM bersubsidi per sektor pengguna utama adalah sebagai berikut: (Lihat Tabel 2: Sektor Pengguna BBM Bersubsidi Tahun 2010).
Dari data yang ada, sebagian besar atau sekitar 95,54 % BBM bersubsidi dikonsumsi sektor transportasi darat.
Hal tersebut relevan jika melihat jumlah mobil penumpang, sepeda motor, mobil beban, dan mobil bus, yang pada 2009 saja masing-masing telah mencapai sekitar 11,82 juta unit; 59,44 juta unit; 6,22 juta unit; dan 4,22 juta unit. Kualitas dan kuantitas moda transportasi umum yang masih terbatas merupakan penyebab jumlah mobil pribadi dan sepeda motor terus meningkat dari waktu ke wak tu. Akibatnya, tidak kurang dari 84,48 % kuota BBM bersubsidi (premium) dikonsumsi mobil pribadi dan sepeda motor. Adapun dis tribusi konsumsi BBM bersubsidi untuk sektor transportasi darat adalah sebagai berikut: (lihat Tabel 3 : Konsumsi ( BBM Subsidi Sektor Transportasi Darat 2010) яндекс
Antisipasi dampak
Berdasarkan potensi dampak inflasi yang akan ditimbulkan, pemerintah perlu menerapkan antisipasi kebijakan terhadap dampak penaikan harga BBM. Jika hal tersebut tidak dilakukan, penaikan harga BBM dimungkinkan tidak hanya akan memberikan dampak pada tambahan inflasi. Perlambatan pertumbuhan ekonomi, berkurangnya penyerapan tenaga kerja, dan menurunnya penerimaan perpajakan juga merupakan konsekuensi kebijakan yang tidak terhindarkan. Karena itu, guna melindungi daya beli masyarakat menengah bawah dan agar target makroekonomi tetap dapat dicapai, pemerintah perlu melindungi sektor pengguna BBM bersubsidi seperti kendaraan umum, angkutan barang, transportasi air, usaha kecil, dan perikanan (nelayan). Mengembalikan subsidi BBM pada sektor-sektor tersebut akan dapat meminimalkan potensi inflasi yang akan ditimbulkan. (Lihat Tabel 4 : Antisipasi Dampak Penaikan Harga BBM)
Berdasarkan data yang ada, porsi konsumsi BBM bersubsidi untuk sek tor yang perlu dilindungi seperti k e n daraan umum (9,82%), angkutan barang (13,84%), usaha kecil (0,87%), perikanan/nelayan (69%), dan transportasi air (2,90%). Total porsi BBM bersubsidi yang dikonsumsi sektor-sektor tersebut sekitar 28,12 % terhadap total kuota BBM bersubsidi. Artinya, jika pada 2012 kuota BBM bersubsidi ditetapkan sebesar Rp100 triliun, subsidi BBM yang harus dialokasikan kepada sektor-sektor itu sekitar Rp28,12 triliun.
Dengan mengembalikan penghematan subsidi BBM sekitar Rp28,12 triliun kepada sektor-sektor tersebut, secara teoretis kondisi kehidupan sosial ekonomi masyarakat berpotensi tidak tertekan oleh penaikan harga BBM, mengingat pengembalian subsidi tersebut akan memberikan dampak positif yang di antaranya: 1) tarif angkutan umum tidak naik, 2) harga barang dan jasa tetap (biaya distribusi tetap dan sektor industri telah menggunakan BBM nonsubsidi, 3) daya saing produk UMKM kompetitif, 4) nilai tukar (daya beli) nelayan kompetitif, dan 5) tarif angkutan air tidak naik. Jika kebijakan itu dapat diimplementasikan, skema kebijakan bantuan langsung tunai (BLT) seharusnya tidak diperlukan lagi. Itu kare na secara teoretis seharusnya daya beli masyarakat miskin tidak tertekan. Justru daya beli masyarakat pemilik mobil pribadi dan sepeda motor yang dalam hal ini yang tertekan.
Apakah kebijakan tersebut mungkin/dapat diimplementasikan Dalam konteks anggaran seharusnya memungkinkan. Jika BBM bersubsidi dinaikkan sebesar Rp1.500 per liter, penghematan subsidi yang didapatkan sekitar Rp57,45 triliun. Artinya, jika Rp28,12 triliun dialokasikan untuk sektor yang perlu dilindungi, masih terdapat sisa penghematan subsidi sebesar Rp29,33 triliun. Sisa penghematan subsidi tersebut dapat digunakan untuk hal lain termasuk untuk menutup defisit anggaran. Akan tetapi, dalam konteks administrasi dan birokrasi, kebijakan tersebut tidaklah mudah karena membutuhkan peran aktif semua instansi pemerintah dan memerlukan koordinasi lintas sekto ral serta lintas regional.
Dalam pelaksanaannya, pengembalian penghematan subsidi BBM juga membutuh kan akurasi database dari kementerian terkait. Data tentang jumlah kendaraan umum, jumlah angkutan ba rang, jumlah angkutan air, jumlah UMKM, dan jumlah nelayan yang akan mene rima pengembalian subsidi harus tersedia dengan baik dan akurat. Karena itu, perlu persiapan dan peren canaan yang matang untuk dapat mengimplementa sikan kebijakan tersebut. Jika pola kebijakan penge lolaan BBM bersubsidi oleh pemerintah tetap menggunakan policy by accident seperti sela ma ini, kiranya untuk dapat mengimple mentasikan kebijakan tersebut jauh panggang dari api.
Jika pemerintah konsisten bahwa kebijakan penaikan har ga BBM merupakan instrumen untuk realokasi subsidi yang lebih tepat sasaran dan berke adilan, bukan semata-mata untuk mengurangi (mencabut) subsidi, mengembalikan sub sidi kepada masyarakat yang berhak adalah keharus an. Penghematan subsidi BBM dalam nominal atau per sen yang disebutkan akan d ialokasikan untuk sektor transportasi umum, angkutan barang, UMKM, transportasi air, dan nelayan, misalnya, harus disebutkan dengan tegas dan jelas di dalam APBN-P 2012. Akan tetapi, jika kebijakan kompensasi yang dipilih adalah BLT, penaikan harga BBM bersubsidi mungkin hanya akan menjadi agenda rutin pe merintah tanpa memberikan dampak terhadap peningkat an produktivitas APBN.