Komaidi Notonegoro
Wakil Direktur Reforminer Institute
MEDIA INDONESIA, 31 Mei 2012
SIDANG paripurna antara pemerintah dan DPR pada 31 Mei 2012(?) menyepakati dan menetapkan besaran kuota BBM bersubsidi 40 juta kiloliter, harga minyak mentah Indonesia (ICP) US$105 per barel, dan kurs rupiah 9.000 per dolar AS. Dalam paripurna tersebut anggaran subsidi energi tahun 2012 ditetapkan sebesar Rp225 triliun, yang terdiri dari subsidi BBM Rp137 triliun, subsidi listrik Rp65 triliun, dan cadangan risiko fiskal energi Rp23 triliun.
Berdasarkan simulasi Reforminer Institute, dengan ICP dan nilai tukar rupiah sebagaimana ditetapkan dalam APBN-P 2012, harga keekonomian BBM berada pada kisaran Rp9.000 per liter. Jika BBM subsidi dijual dengan harga Rp4.500 per liter, pemerintah memberikan subsidi sebesar Rp4.500 setiap liternya. Artinya, dengan kuota BBM sub sidi yang ditetapkan sebesar 40 juta kl, kebutuhan subsidi BBM tahun 2012 ialah Rp180 triliun, bukan Rp137 triliun.
Kuota Subsidi
Berdasarkan volume, rincian BBM bersubsidi yang ditetapkan di APBN-P 2012 meliputi premium 24,41 juta kl, solar 13,89 juta kl, dan minyak tanah 1,7 juta kl. Jika besaran subsidi diasumsikan sama, yaitu Rp4.500 per liter, besaran alokasi subsidi premium Rp109,84 triliun, solar Rp60,50 triliun, dan minyak tanah Rp7,65 triliun. Artinya, berdasarkan kuota tersebut dapat diketahui bahwa porsi kuota subsidi untuk premium 61%, solar 35%, dan minyak tanah 4% terhadap total kuota subsidi BBM.
Jika mengacu pada porsi tersebut, dengan alokasi nominal subsidi BBM 2012 yang ditetapkan sebesar Rp137 triliun, berarti alokasi subsidi untuk premium sebesar Rp83,57 triliun, solar sebesar Rp47,95 triliun, dan minyak tanah set besar Rp1,27 triliun. Artinya, terkait dengan premium dan solar, berdasarkan asumsi ICP dan nilai tukar yang ditetapkan di APBN-P 2012, anggaran subsidi tersebut hanya cukup untuk mengadakan premium sebesar 19,01 juta kl dan solar sebesar 10,65 juta kl.
Adapun dari kuota BBM yang ditetapkan pada APBN-P 2012, diketahui bahwa ratarata konsumsi premium dan solar nasional per bulan masing-masing telah mencapai 2,03 juta kl dan 1,15 juta kl. Karena itu, jika kuota nominal subsidi premium yang setara dengan 19,01 juta kl dibagi dengan rata-rata konsumsi premium nasional per bulan, itu hanya akan menghasilkan angka 9,36. Jika dikonversikan dalam satuan waktu, 9,36 adalah setara dengan 9 bulan 10 hari. Artinya, dengan tingkat konsumsi saat ini, kuota premium subsidi APBN-P 2012 sesungguhnya hanya cukup sampai dengan hari kesepuluh Oktober 2012. Maka itu, pada hari kesebelas Oktober 2012, kuota premium bersubsidi telah habis dikonsumsi.
Sementara itu, kuota nominal rupiah subsidi solar yang setara dengan 10,65 juta kl, jika dibagi dengan rata-rata konsumsi solar nasional per bulan, hanya akan menghasilkan angka 9,26. Jika dikonversikan dalam satuan waktu, 9,26 adalah setara dengan 9 bulan 8 hari. Artinya, dengan konsumsi saat ini, kuota solar subsidi APBN-P 2012 sesung guhnya hanya cukup sampai dengan hari kedelapan Oktober 2012. Dengan demikian, pada hari kesembilan Oktober 2012, kuota solar bersubsidi telah habis dikonsumsi. Berdasarkan kalkulasi tersebut, alokasi BBM bersubsidi yang ditetapkan pemerintah sesungguhnya hanya mampu memenuhi kebutuhan masyarakat hingga pertengahan Oktober 2012.
Kebijakan Spekulatif
Apabila mencermati kondisi yang ada, penetapan besaran anggaran subsidi BBM pada APBN-P 2012 kental dengan unsur spekulasi. Kepercayaan diri yang berlebihan, bahwa di tahun anggaran 2012 pembatasan konsumsi dan penaikan harga BBM dapat dilakukan, menyebabkan anggaran subsidi ditetapkan di bawah kebutuhan. Karena itu, anggaran subsidi BBM yang seharusnya sekitar Rp180 triliun hanya dialokasikan sebesar Rp137 triliun. Artinya, tanpa memperhitungkan potensi terjadinya realisasi konsumsi BBM bersubsidi yang melebihi kuota, sesungguhnya telah terdapat kekurangan anggaran subsidi BBM sekitar Rp43 triliun.
Selain itu, perkiraan sejumlah pihak, bahwa realisasi konsumsi BBM subsidi pada 2012 berpotensi mencapai 47 juta kl, akan semakin memperburuk keadaan. Artinya, volume BBM bersubsidi akan mengalami kelebihan kuota sebesar 7 juta kl atau 17,5% dari kuota APBN-P 2012. Dengan asumsi subsidi BBM sebesar Rp4.500 per liter, kelebihan kuota tersebut membutuhkan tambahan anggaran subsidi BBM sebesar Rp31,5 triliun. Karena itu, jika realisasi konsumsi BBM bersubsidi pada 2012 mencapai 47 juta kl, tambahan anggaran subsidi yang dibutuhkan mencapai Rp74,5 triliun.
Dalam konteks APBN-P 2012, bisa saja tambahan anggaran subsidi tersebut ditutup dari penghematan yang dilakukan kementerian dan lembaga. Dengan alokasi belanja yang pada APBN-P 2012 ditetapkan sebesar Rp530 triliun, tambahan subsidi BBM dapat ditutup dari penghematan anggaran kementerian dan lembaga sebesar 15%. Itu karena dengan penghematan anggaran sebesar 15%, pemerintah akan memperoleh sekitar Rp79,5 triliun. Terlebih jika pemerintah juga memperhitungkan adanya sisa lebih penggunaan anggaran (silpa) 2011 sebesar Rp40 triliun dan realisasi penyerapan anggaran 2011 yang hanya 87%. Tanpa adanya instruksi penghematan anggaran pun tambahan anggaran subsidi BBM tersebut sesungguhnya sudah berpotensi dapat ditutup.
Meski demikian, dalam konteks kebijakan, tata kelola, dan tertib anggaran, hal tersebut tentunya tidak dibenarkan. Pengurangan penggunaan anggaran kementerian dan lembaga tentunya akan menghilangkan sejumlah program yang telah direncanakan. Akibatnya, target-target pembangunan yang telah ditetapkan juga berpotensi tidak akan tercapai dengan optimal. Itu semua menjadi pelajaran bagi kita semua, khususnya penyelenggara negara, bahwa penyusunan APBN untuk kesejahteraan rakyat harus dilakukan dengan niat baik dan perencanaan yang matang. Jika penyusunan anggaran negara yang seharusnya menggunakan matematika anggaran malah dilakukan dengan matematika politik dan kepentingan, hasilnya bukan kesejahteraan rakyat, melainkan justru sebaliknya.