Pri Agung Rakhmanto
Dosen FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute
KOMPAS, 28 Agustus 2013
Penangkapan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas Rudi Rubiandini oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Selasa (13/8) lalu, seakan jadi pembenaran atas sinyalemen yang selama ini berkembang di masyarakat bahwa sektor migas sarat korupsi.
Korupsi di negeri ini sebenarnya bukan monopoli sektor migas, di sektor lain pun terjadi. Namun, karena korupsi di sektor migas (dapat) berdampak luas, hal ini menjadi faktor yang membuat sektor migas lebih disorot.
Pada 1974/1975, inefisiensi dan kesalahan pengelolaan yang terindikasi kuat sebagai korupsi terjadi di Pertamina, menyebabkan utang perusahaan pada saat itu mencapai 10,5 miliar dollar AS (Glassburner, 1976; Robison, 1986; Schulte Nordholt, 1997). Utang sebesar itu lebih kurang setara dengan 30 persen total produk nasional bruto (gross national product/GNP) Indonesia saat itu.
Dari Robison (1986), Schulte Nordholt (1997), dan ReforMiner Institute (2011) diketahui, inefisiensi yang sedemikian besar itu terjadi karena dua sebab. Pertama, faktor politik, yaitu Pertamina menjadi sapi perah rezim yang berkuasa dan kekuatan-kekuatan politik lain yang dominan. Kedua, karena faktor tata kelola kelembagaan migas nasional yang bermasalah. Pertamina pada saat itu memiliki kewenangan besar, tetapi lemah dalam aspek pengawasannya.
Faktor politik
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971, kedudukan Pertamina pada saat itu langsung di bawah presiden, sebagai wakil negara dalam melakukan kontrak bagi produksi (production sharing contract/PSC) dengan kontraktor migas yang sebagian besar adalah asing. Termasuk dalam kewenangan ini adalah menjual minyak mentah dan gas bagian negara hasil dari PSC. Kasus korupsi yang diduga terjadi di SKK Migas saat ini kemungkinan besar juga disebabkan, atau setidaknya terkait, dua faktor tersebut.
Posisi dan fungsi SKK Migas sebagai lembaga pemerintah yang mengelola perputaran uang di sektor hulu migas, yang per tahun mencapai Rp 500 triliun lebih, memungkinkan terjadinya fenomena yang serupa dengan sapi perah pada masa lalu.
Secara politik, hal ini mengondisikan siapa yang menduduki posisi kunci di SKK Migas harus menanggung konsekuensi melayani penguasa dan/atau kekuatan-kekuatan politik lain yang memiliki pengaruh. Jika tidak mengikuti aturan main itu, atau tak dapat memainkan politiknya secara cantik, seseorang akan sulit menduduki atau bertahan lama di posisi kunci SKK Migas.
Fenomena ini sangat mungkin bukan hanya terjadi pada era SKK Migas, melainkan juga sebelumnya ketika lembaga ini masih bernama Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas) dan Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKSP Migas). Juga dapat terjadi pada BUMN migas atau energi lainnya. Jika inefisiensi dan korupsi yang terjadi disebabkan oleh faktor politik ini, penanganannya relatif sulit. Selama kultur politik di negeri ini menjadikan sektor migas dan lembaga di dalamnya sebagai sapi perah, selama itu pula korupsi dan inefisiensi lain di sektor migas akan terus terjadi.
Faktor kelembagaan
Kewenangan SKK Migas sebagai pengendali kegiatan usaha hulu migas, yang di dalamnya mencakup kewenangan menunjuk pihak ketiga untuk menjual minyak mentah dan gas bagian negara dengan hanya memiliki komisi pengawas, juga menggambarkan tata kelola kelembagaan hulu migas nasional yang rendah aspek pengawasan dan akuntabilitasnya. Keberadaan Komisi Pengawas SKK Migas, yang sebelumnya tidak ada dalam struktur lembaga BP Migas, lebih bernuansakan formalitas dan pencitraan saja demi mengakomodasi salah satu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memang menyoroti lemahnya aspek pengawasan ketika membubarkan BP Migas. Esensi lemahnya pengawasan dan akuntabilitas karena sebelumnya posisi dan kedudukan BP Migas di bawah presiden masih tetap terbawa ketika BP Migas berganti nama menjadi SKSP Migas dan SKK Migas.
Meskipun faktor ini juga bersifat struktural, peminimalan korupsi atau inefisiensinya lebih mudah dilakukan. Salah satunya adalah dengan menurunkan derajat SKK Migas dari sebuah badan pemerintah menjadi hanya sebagai badan usaha milik negara, dengan kewenangan terbatas menangani kontrak kerja sama atau portofolio investasi negara dengan perusahaan migas lain untuk blok-blok migas yang tidak dikelola sendiri oleh Pertamina. Jadi, posisinya lebih kurang setara dengan Pertamina, di bawah kementerian tertentu, di bawah pengawasan dewan komisaris yang dapat terdiri atas unsur-unsur independen.
Secara relatif, bentuk badan usaha dengan indikator-indikator keuangan, seperti modal, aset, laba, biaya, investasi, dan utang, akan lebih akuntabel daripada bentuk badan pemerintah yang cenderung hanya menonjolkan besaran penerimaan negara sebagai indikator utama kinerjanya. Dengan berbentuk badan usaha, rantai birokrasi penjualan minyak mentah dan gas bagian negara juga menjadi lebih pendek. Badan usaha dapat melakukan penjualan sendiri sehingga tidak lagi memerlukan kehadiran pihak ketiga seperti sekarang.
Dalam proyeksi ke depan, bentuk badan usaha juga dapat lebih menjamin transparansi dan akuntabilitas manakala suatu saat badan usaha tersebut terbuka untuk publik. Kelembagaan sektor migas Norwegia, dengan dua perusahaan migas negara (Statoil dan Petoro) di bawah Kementerian Perminyakan dan Energi, terbukti telah mengurangi inefisiensi dan korupsi yang sebelumnya juga terjadi dalam pengelolaan sektor migas negara itu (ReforMiner, 2011). Perubahan struktural semacam ini pada gilirannya juga dapat meminimalkan pengaruh politik yang memicu terjadinya korupsi.
Dalam konteks Indonesia, perubahan struktural hanya dapat dilakukan jika pemerintah dan DPR mengganti UU Migas No 22/2001, yang sebagian besar pasalnya yang berhubungan dengan kegiatan hulu migas telah dinyatakan MK tidak memiliki kekuatan hukum tetap karena bertentangan dengan konstitusi. Itulah yang seharusnya dilakukan pemerintah saat MK membubarkan BP Migas pada November 2012. Bukan sekadar ganti baju dari BP Migas menjadi SKSP Migas dan SKK Migas.