Pri Agung Rakhmanto
Dosen Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi (FTKE) Universitas Trisakti;pendiri Reforminer Institute
KOMPAS, Jumat 12 Desember 2014
Pergerakan harga minyak sulit dan bahkan hampir mustahil bisa diprediksi dengan tepat. Tak berarti negara pasrah, tetapi perlu reaktif menyikapinya.
Secara fundamental, pasar minyak dunia dalam 2-3 tahun terakhir yang kelebihan pasokan sesungguhnya sudah terindikasi cukup jelas. Dalam kurun waktu itu, hingga September 2014, nyaris tak ada lonjakan dan gejolak harga yang berarti meski ada ketegangan geopolitik di Mesir, Libya, Suriah, dan Ukraina. Penyebab utama kelebihan pasokan adalah membesarnya produksi shale oil di AS yang telah menjadikannya sebagai tiga besar produsen utama dunia bersama Arab Saudi dan Rusia.
Produksi OPEC juga relatif stabil di kisaran 30 juta bph dengan potensi tambahan produksi 0,5 juta-1 juta bph di negara anggota, seperti Iran, Irak, dan Venezuela. Negara seperti Kanada juga terus meningkat produksinya, mencapai 4 juta bph.
Di sisi lain, pertumbuhan permintaan minyak global melambat. Konsumsi minyak AS, selaku konsumen terbesar dunia, bahkan tumbuh negatif karena ditopang diversifikasi shale gas yang sangat signifikan. Negara konsumen utama di Eropa Barat sudah lebih lama tumbuh negatif. Konsumsi minyak Jepang juga tumbuh negatif dengan pulihnya energi nuklir dan diversifikasi gas. Tiongkok dan India sebagai lokomotif baru pertumbuhan Asia, meski tumbuh positif, jauh menurun, masing-masing dari 5 persen (2012) menjadi hanya 3,8 dan 1,2 persen (2013). Total permintaan minyak dunia di 89 juta-90 juta bph relatif dapat dipenuhi secara aman dengan sumber pasokan yang ada sehingga pasar relatif tidak panik.
Perebutan pangsa pasar
Revolusi produksi shale oil dan shale gas di AS benar-benar telah menjadikan AS lebih mandiri dalam pemenuhan kebutuhan energinya, sekaligus mengambil peran lebih penting dalam pasar minyak global. Impor minyak AS turun hampir 3 juta bph, dari 10 juta bph ke sekitar 7 juta bph saat ini. Dengan kapasitas kilang yang terus bertambah, pangsa pasar ekspor minyak mentah dan produk kilang AS di pasar global terus tumbuh.
Bersama dengan Kanada, pangsa pasar keduanya meningkat dari 10,7 persen (2012) menjadi 11,8 persen (2013). Perlahan hal itu menggeser dominasi pangsa pasar negara Timur Tengah yang pada periode sama mengalami penurunan dari 35,6 persen menjadi 34,9 persen (BP Statistical Review, 2014). Hal ini memaksa negara Timur Tengah dan Afrika bersaing merebut pasar Asia Pasifik.
Strategi beberapa anggota utama OPEC, seperti Arab Saudi, kemudian bergeser dari menjaga kestabilan harga di level 100 dollar AS per barrel ke penguasaan pangsa pasar dengan menekan atau memperlambat produksi shale oil dan shale gas di AS. Sejak awal Oktober 2014, beberapa negara OPEC, khususnya Arab Saudi, mulai menurunkan harga ke sejumlah pembeli di Asia dan Eropa sehingga harga mulai jatuh ke level 88 dollar AS per barrel.Level 80-an dollar AS per barrel agaknya dipandang belum cukup untuk menekan aktivitas eksplorasi dan produksi shale oil dan shale gas di AS sehingga harga tampaknya dibiarkan terus tergelincir hingga sempat menyentuh 65 dollar AS per barrel. Banyak analis menyebutkan bahwa tingkat harga yang secara psikologis akan menekan aktivitas produksi dari shale adalah di 60-70 dollar AS per barrel.