Komaidi Noto Negoro
Wakil Direktur ReforMiner Institute
Analisis : Investor Daily Senin , 19 November 2012
Pada 13 November 2012, Mahkamah Konstitusi (MK) menyampaikan putusan atas judicial review terhadap UU Migas No22 Tahun 2001 Tentang Minyak danGas Bumi yang diajukan oleh sekitar 42 pemohon. Keputusan Tersebut tertuang Dalam Keputusan MK No 36/PUU-X/2012.
Berdasarkan putusannyaTersebut, Seluruh Hal yang Terkait dengan Badan Pelaksana Baik Dalam Pasal Maupun dalam Penjelasan UU No 22 Tahun 2001 Tentang Migas,Bertentangan Dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan Hukum meningkat.Karena itu,MK Mengamanatkan Agar fungsi dan tugas Badan Pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas)dilaksanakan Oleh Pemerintah cq Kementerian Terkaitsampai diundangka UU baru yang mengatur hal tersebut.
Berdasarkan Pertimbangan hokum dalam putusanya,MK menilai keberadaan BP Migas tidak sejalan dengan aspek penguasaan negara sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Keberadaan BP Migas sebagai organ pemerintah dengan status Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dinilai mereduksi makna penguasaan negara atas migas. Itu karena BP Migas mengkonstruksikan bentuk penguasaan negara yang tidak langsung atas migas sehingga tidak dapat memaksimalkan hasil untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan bentuk BHMN, BP Migas hanya sebatas melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan atas pengelolaan migas, namun tidak dapat melakukan pengelolaan secara langsung karena BP Migas bukan merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Keberadaan BP Migas juga dinilai oleh MK telah mengakibatkan negara kehilangan kewenangannya untuk mengelola atau menunjuk secara langsung BUMN untuk mengelola migas. Sementara, menurut MK, pengelolaan migas secara langsung  dengan melakukan kegiatan usaha hulu migas secara langsung, adalah bentuk penguasaan negara pada peringkat pertama dan paling utama untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. MK juga secara tegas dan jelas menilai bahwa pengelolaan secara langsung oleh negara atau BUMN adalah yang dikehendaki oleh Pasal 33 UUD 1945.
Formulasi Kelembagaan
Berdasarkan Putusan MK tersebut, sangat jelas bahwa MK mengamanatkan agar pemerintah segera menata ulang pengelolaan migas dengan berpijak pada penguasaan oleh negara yang berorientasi penuh pada upaya manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat. Oleh sebab itu, penguasaan tersebut perlu dilakukan dengan organisasi yang efisien dan di bawah kendali langsung Pemerintah. Dengan demikian sudah sangat jelas apa yang kemudian harus dilakukan pemerintah untuk menjalankan secara utuh putusan dan amanat MK, baik dalam masa transisi maupun untuk ke depannya.
Pemerintahharus membentuk struktur kelembagaan yang baru yang mengkonstruksikan bentuk penguasaan negara atas migas pada tingkat pertama. Dengan demikian,Tak ada halangan bagi Negaramenunjuk secara langsung BUMN guna mengelola dan menjalankan kegiatan hulu migas secara langsung. Negara memiliki kewenangan untuk itu.
Sebelum adanya Putusan MK atas judicial review UU Migas, ReforMiner Institute telah menyampaikan kepada para pemangku kepentingan (stake-holders) sektor migas bahwa pengelolaan hulu migas akanjauh lebih optimal jika dilakukan oleh BUMN. Analisis dan argumentasi atas itu telah dituangkan dalam ReforMiner Policy Analysis edisi September 2010, November 2010, Juni 2011, dan November 2011, yang juga telah disampaikan kepada stakeholderssektor migas, Partai Politik, Media, Universitas, Organisasi Kemasyarakatan, dan Masyarakat Umum.
Analisis Reforminer Institute menemukan sektor hulu migas akan jauh lebih optimal dilakukan oleh BUMN dibandingkan dengan jika dikelola oleh BHMN. Itu karena, usaha hulu migas memang akan lebih tepat dan optimal jika dilakukan dengan pendekatan administrasi usaha, bukan administrasi negara. Berikut
Kita pun bisa berkaca pada perusahaan-perusahaan migas keles dunia berdasarkan jumplah cadangan,yang dimiliki,peringkat sepuluh besar dikelola/dimiliki BUMN., Energy Intelligence Research, The Energy Intelligence Top 100: Ranking the Worlds Oil Companies, 2009, menyebutkan 4 (empat) diantara 5 (lima) besar perusahaan minyak dunia berdasarkan ranking komparatif dikelola dan dimiliki adalah BUMN.masing-masing Negara.Berdasarkan perbandingan atas beberapa aspek tersebut, semestinya pelaku usaha-Kontraktor kontrah\k kerjasama(KKKS)- akan lebih sesuai dan nyaman jika pengelolaan sektor hulu migas di bawah koordinasi BUMN. Terbukti, industri hulu migas, khsusnya industri minyak nasional mencapai 2 (dua) kali puncak produksi ketika pengelolaannya di bawah koordinasi BUMN. Jika kemudian saat itu BUMN yang ditugaskan kinerjanya (produksinya sendiri) dinilai belum optimal, paling tidak telah berhasil menjadi fasilitator yang baik.
Mengubah Mind Set
Dengan adanya amanat MK dan beberapa contoh tersebut, maka mind set kita yang harus berubah. Dari yang sebelumnya bahwa yang diperlukan adalah sebuah badan pengawas, pengendali dan/atau pengatur, menjadi bahwa yang kita perlukan sesungguhnya adalah perusahaan hulu migas yang menjalankan kegiatan usaha migas itu sendiri secara langsung. Jika di dalam melakukan kegiatan usaha itu BUMN yang ditunjuk tidak sepenuhnya mampu, maka dapat bekerjasama dengan pihak lain. Dalam konteks inilah kemudian fungsi pengawasan dan pengendalian- yang selama ini dijalankan BP Migas dalam sistem Kontrak Kerja Sama diperlukan.
Pengawasan dan pengendalian tersebut sebenarnya hanyalah pada tingkat manajemen operasi kegiatan usaha, hanya seperti sebuah perusahaan mengawasi rekanan atau kontraktornya (B to B) dan model tersebut pada dasarnya berlaku umum di semua sektor usaha. Karena itu, argumentasi bahwa jika BUMN menjalankan fungsi pengawasan dan pengendalian tersebut dinilai merangkap fungsi sebagai regulator,ini adalah mind set yang keliru dan relatif tidak berdasar. Mengingat, kendali dan peran regulator dalam hal ini tetap melekat dan berada peda Kementerian Teknis (Kementerian ESDM).