(Beritasatu.com, 28 Januari 2017)
Jakarta-Rencana Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menekan harga listrik dengan mengurangi subsidi energi baru terbarukan (EBT), dinilai salah sasaran dan kontraproduktif bagi pengembangan EBT di Indonesia.
Demikian dikatakan Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro di Jakarta, Sabtu (28/1).
Komaidi mengatakan, dalam kondisi subsidi saat ini saja perkembangan EBT lambat, apalagi kalau dikurangi. “Jadi strategi seperti itu saya rasa harus dikonstruksikan ulang. Pemerintah jangan hanya berpikir jangka pendek, namun juga jangka panjang, tandasnya.
Ditegaskan, jika pemerintah mau mengurangi subsidi, maka seharusnya hal itu dilakukan pada energi yang porsinya besar namun membuat PLN tidak efisien, seperti solar. “Kalau EBT yang dikurangi, selain porsinya kecil, juga kontraproduktif,†paparnya.
Komaidi mengatakan, porsi EBT sampai saat ini, secara total hanya sekitar 14 persen terhadap keseluruhan energi pembangkit listrik. EBT dimaksud, sudah termasuk tenaga angin, air, matahari, dan panas bumi. Terbanyak adalah air, yakni sekitar delapan persen. Hal ini bisa dimengerti, karena PLN memang sudah cukup lama membangun PLTA. Sedangkan panas bumi sekitar empat persen, dan sisanya adalah EBT lain.
Itulah sebabnya, lanjut dia, pengurangan subsidi EBT secara maksimal pun tidak akan berdampak bagi keuangan negara. Sebaliknya, pengurangan subsidi sekecil apa pun akan berdampak sangat siginifikan terhadap perkembangan EBT itu sendiri.
Tujuan pemberian subsidi adalah untuk merangsang pertumbuhan EBT. Dengan subsidi saat ini saja perkembangan EBT masih lambat, apalagi kalau dikurangi. Jadi strategi pemerintah ini perlu dikaji ulang,†tuturnya.
Sebaliknya, jika pemangkasan subsidi dilakukan terhadap solar, menurut Komaidi, dampak positifnya sangat luar biasa. Ia mencontohkan, dalam kondisi infrastruktur belum matang saja, harga jual listrik yang dihasilkan panas bumi adalah Rp 1.200 per kWh. Harga itu, jauh lebih murah dibandingkan dengan listrik yang dihasilkan pembangkit bertenaga solar, yang berada pada kisaran Rp 3.400-4.000 per kWh.
“Jadi bisa dibayangkan, jika subsidi solar yang dipangkas dan dipakai untuk mendorong pertumbuhan EBT, maka akan terjadi penghematan luar biasa, baik bagi APBN maupun harga jual listrik,†jelas Komaidi.
Ia mengingatkan, stigma EBT mahal adalah sama sekali keliru. Dikatakan, EBT saat ini dianggap mahal, karena memang infrastruktur belum berkembang dan kapasitas produksi belum banyak. “Cabang produksi apa pun, jika dalam kondisi seperti EBT saat ini tentu akan mahal pada tahap awal,†paparnya. Untuk membuat mereka murah, imbuh Komaidi, tentu harus ditumbuhkan terlebih dahulu.
Komaidi melanjutkan, stigma mahal yang diberikan pada EBT, adalah terkait dengan infrastruktur yang memang masih belum berkembang. Karena jangan lupa, untuk panas bumi misalnya, hampir semua sumber terdapat di daerah gunung. Untuk itu, pemerintah hendaknya tidak menjadikan berbagai negara, termasuk Uni Emirat Arab, yang sebagian besar medannya adalah gurun pasir sebagai contoh. Karena, tentu saja tingkat kesulitan pembangunan infrastruktur lebih rendah dibandingkan gunung.
Rencana Menteri ESDM Ignasius Jonan menekan harga listrik dengan mengurangi subsidi EBT, terungkap pada Sidang ke-20 Dewan Energi Nasional (DEN). Seperti disampaikan anggota DEN Tumiran, Jonan akan mengeluarkan aturan baru soal harga EBT di setiap daerah. Tarif EBT, dipatok tak boleh lebih dari 85 persen Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik di daerah.
Kondisi demikian, seakan bertolak belakang dengan kebijakan beberapa negara yang mulai menjadikan EBT sebagai energi alternatif ramah lingkungan untuk menggantikan bahan bakar fosil dan batu bara. Tiongkok misalnya, yang selama ini dikenal sebagai penghasil utama batu bara, bahkan sejak 2015 mulai mengurangi penggunaannya. Penurunan menurun sebesar 2,5 persen dan konsumsi turun 2,9 persen. Kebijakan pemerintah Tiongkok terhadap energi ramah lingkungan itu, sekaligus mematahkan prediksi bahwa puncak penggunaan batu bara di Tiongkok terjadi pada 2020.