(Okezone.com, 5 Februari 2017)
JAKARTA – Investasi sektor hulu migas tahun ini diperkirakan akan lebih baik bila dibandingkan dengan 2016 seiring pemangkasan produksi OPEC yang memicu kenaikan harga minyak mentah dunia meski belum atraktif.
Direktur ReforMiners Institute Komaidi Notonegoro memprediksi harga rata-rata minyak dunia berkisar USD50-60 barel hingga akhir 2017. Menurut dia, membaiknya investasi hulu migas ditandai dengan akan dimulainya proyek Indonesia Deepwater Development (IDD) milik perusahaan Amerika Serikat Chevron Pacific Indonesia dan beberapa proyek hulu migas milik PT Pertamina (Persero).
Sementara untuk di luar negeri, proyek pengembangan hulu migas mulai membaik di Amerika Serikat dan Eropa Timur. Kondisinya memang belum atraktif, tapi dari indikatornya memang akan lebih baik dari tahun kemarin. Proyek-proyek di Amerika dan Eropa Timur sudah mulai banyak yang dikerjakan baik proyek lama maupun baru, kata Komaidi.
Dia mengatakan, naiknya harga minyak dunia dan membaiknya investasi di sektor hulu migas akan membuat dana bagi hasil migas juga akan ikut naik. Meski begitu kenaikan DBH migas tidak setinggi di saat harga minyak mencapai level USD100 barel. Komaidi melanjutkan, terdapat dua variabel yang memengaruhi DBH migas, yaitu harga minyak dan volume produksi.
Jika kombinasi ini menurun semua, DBH migas juga akan relatif kecil. Tapi kalau harga minyak naik, tahun ini akan lebih baik daripada tahun lalu, ujarnya. Proyeksi akan naiknya harga minyak mentah dunia pada 2017 ini tentu merupakan kabar gembira bagi daerah, terutama terkait besaran DBH dan potensi investasi.
Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah daerah penghasil minyak dan gas bumi di Indonesia sangat merasakan dampak rendahnya harga minyak dunia. Turunnya pendapatan negara membuat pendapatan daerah dari DBH migas juga menurun. Kami sangat terpukul dengan penurunan harga minyak. Beberapa tahun terakhir dana bagi hasil migas Bojonegoro dari Blok Cepu terus berkurang, ujar Bupati Bojonegoro Suyoto.
Produksi minyak Blok Cepu mengalami puncak produksi hingga mencapai 205.000 barel per hari. Namun kenaikan produksi belum tentu meningkatkan DBH migas karena dibayangi dengan turunnya harga minyak mentah dunia. Pada 2015, realisasi DBH bagi Bojonegoro hanya Rp600 miliar dari target Rp2,5 triliun.
Sementara pada 2016, perolehan DBH Bojonegoro hanya Rp600 miliar-700miliardari targetRp1,4triliun. Menurut Suyoto, dengan kondisi ini, daerah tak bisa lagi mengandalkan DBH migas untuk APBD. Itu lantaran DBH sangat dipengaruhi fluktuasi harga minyak mentah dunia.
Daerah harus punya alternatif lain untuk meningkatkan pendapatan, ujarnya. Dia mengatakan, manfaat prioritas dari DBH migas harus direalisasi terlebih dahulu guna menghindari mental pesta pora daerah penerima. DBH migas Bojonegoro diprioritaskan untuk pengembangan sumber daya manusia, pembangunan infrastruktur daerah, dan investasi sektor keuangan.
Pengembangan SDM contohnya meningkatkan program beasiswa, membangun infrastruktur yang relevan, dan memberdayakan perdesaan mandiri. Kalau tidak diprioritaskan begitu, kita akan bermental korup dan boros. Kalau mental seperti ini dipelihara berbahaya karena begitu harga minyak jatuh, kita kandas, tegasnya.
DBH migas Bojonegoro dibagi berdasarkan kontrak bagi hasil (production sharing contract /PSC). Pemerintah mendapatkan 85% dan kontraktor mendapatkan 15%. Daerah mendapat DBH 6% dari 85% hasil PSC.
Suyoto berharap, pada 2017 ini investasi hulu migas lebih bergairah karena harga minyak lebih baik seiring pemangkasan produksi oleh negara-negara anggota OPEC. Terlebih harga minyak rata-rata diprediksi USD50-60 per barel. (Nanang Wijayanto/Koran Sindo