(Tempo,9 Februari 2017)
TEMPO.CO, Jakarta – Keputusan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengatur impor gas dinilai terlalu terburu-buru. Penasehat Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto khawatir hal itu bisa menghambat pengembangan lapangan gas nasional. “Risiko gas dalam negeri tidak terserap semakin besar, membuat industri hulu bakal tertekan terus,” ujarnya, Rabu 8 Februari 2017.
Kementerian Energi membuka keran impor gas melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2017 tertanggal 27 Januari lalu. Pemerintah mengizinkan impor selama harga gas alam cair (LNG) tidak lebih dari 11,5 persen dari Indonesia Crude Price (ICP).
Tahun lalu, alokasi gas domestik yang tidak terserap mencapai 17 kargo LNG. Menurut Pri Agung, fenomena ini kerap terjadi saban tahun. Jika tidak kunjung mendapat pembeli, pemerintah terpaksa menjual ke pasar spot dengan harga lebih murah.
Pri Agung memprediksi impor justru akan meningkatkan jumlah kargo gas domestik yang tidak terserap. Dampaknya bukan cuma ke lapangan yang berproduksi, tapi lapangan yang pengembangannya tengah direncanakan. Dalam bisnis gas, kelayakan investasi suatu proyek ditentukan oleh seberapa banyak pembeli yang sudah berkomitmen.
Dia mencontohkan pengembangan proyek Blok Masela yang molor, salah satu alasannya karena pembeli gas. Pemerintah menginginkan gas Masela bisa diolah menjadi LNG sebanyak 7,5 ton per tahun (MTPA) dan dalam bentuk gas pipa sebesar 474 juta standar kaki kubik (mmscfd). Sedangkan kontraktor Masela, Inpex, ingin LNG sebanyak 9,5 MTPA dan gas pipa sebesar 150 mmscfd.
Pri Agung juga menilai impor gas tidak menjamin harga murah. Sebab, di kawasan Asia-Pasifik, harga LNG saat ini sebesar US$ 6 per MMBTU (million metric british thermal unit). Jika ditambah dengan biaya transportasi dan regasifikasi, harga bisa mencapai US$ 8-9 dolar per MMBTU. Angka itu tidak jauh berbeda dari rata-rata harga LNG yang dijual di Tanah Air.
Menurut dia, sebelum memutuskan impor, pemerintah selayaknya menyiapkan infrastruktur yang mendukung penyerapan gas, seperti terminal LNG serta fasilitas regasifikasi terapung (FSRU) ataupun darat. Jika masalahnya adalah harga, Kementerian Energi bisa menuntaskan janjinya untuk membenahi tata niaga gas.
Pemerintah memang berencana menata margin transmisi dan distribusi gas, serta membentuk badan penyangga gas untuk jangka panjang. “Juga menertibkan trader gas yang hanya bermodalkan alokasi. Tadinya sudah mengarah ke situ, kok tiba-tiba shortcut impor?”
Direktur Pengadaan PT PLN (Persero) Supangkat Iwan Santoso mengatakan, hingga saat ini, perusahaan belum memerlukan impor gas. Berdasarkan perhitungannya, suplai gas untuk pembangkit diperkirakan akan defisit pada 2020.
Meski begitu, Iwan menilai aturan impor tetap diperlukan jika harga gas domestik melonjak. “Kalau gas development cost terlalu tinggi, ya lebih baik (gas) disimpan saja di dalam bumi,” ujarnya, beberapa waktu lalu.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Jarman menegaskan bahwa impor LNG dibolehkan maksimal 11,5 persen lebih tinggi dari ICP. Jika di pasar internasional tidak ada LNG dengan harga segitu, Jarman meminta PLN legawa menyerap gas domestik. “Peraturan menteri ini memberi opsi, sehingga bisa memilih harga yang wajar,” ucap Jarman.