KOMPAS:22 Februari 2017
JAKARTA, KOMPAS PT Freeport Indonesia seyogianya bisa memahami itikad Pemerintah Indonesia dalam proses negosiasi soal nasib operasi perusahaan tambang tersebut di Papua. Pemerintah sebenarnya sudah cukup kuat memberikan sinyal bahwa operasi perusahaan itu bakal berlanjut sembari harus ada penyesuaian terhadap aturan yang berlaku.
Saya rasa masih ada ruang titik temu antara pemerintah dan Freeport. Sebaiknya, Freeport harus paham sinyal yang diberikan pemerintah bahwa investasi mereka tetap dibutuhkan, tetapi tetap harus menyesuaikan dengan aturan yang berlaku, kata pengajar pada Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, Selasa (21/2), di Jakarta.
Sinyal tersebut, menurut Pri Agung, pengajuan perpanjangan operasi dari semula paling cepat dua tahun sebelum kontrak berakhir menjadi lima tahun sebelum kontrak habis. Artinya, Freeport bisa mengajukan perpanjangan pada tahun ini mengingat masa kontrak perusahaan itu habis pada 2021. Selain itu, mereka juga masih diizinkan untuk mengekspor konsentrat dalam jangka lima tahun ke depan atau sampai 2022.
Namun, pemerintah meminta Freeport harus patuh pada ketentuan yang berlaku, termasuk membangun smelter. Pendapat saya ini berdasarkan asumsi bahwa pemerintah dan Freeport masih sama-sama ingin bekerja sama, ujar Pri Agung.
Berusaha maksimal
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan dalam pernyataan resminya menyatakan, pemerintah tetap akan berusaha maksimal mendukung semua investasi di Indonesia, baik asing maupun nasional tanpa kecuali. Di sektor tambang, pemerintah tetap mengacu pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 sebagai turunan dari UU tersebut.
Dalam undang-undang, pemegang kontrak karya (KK) wajib mengolah dan memurnikan mineral di dalam negeri dalam kurun lima tahun sejak undang-undang itu diterbitkan. Faktanya, pemegang KK yang belum bisa memurnikan mineral, kami tawarkan kepada mereka untuk berubah menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) untuk memperoleh izin ekspor konsentrat, kata Jonan.
Sebelumnya, dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (20/2), Presiden dan CEO Freeport-McMoran Inc Richard C Adkerson menyatakan sulit menerima syarat-syarat yang diajukan Pemerintah Indonesia. Syarat tersebut adalah mengharuskan Freeport mengubah status operasi dari KK menjadi IUPK dengan tetap berpedoman pada aturan yang berlaku di Indonesia saat ini. Aturan itu, yang kemudian menjadi keberatan bagi Freeport, adalah divestasi saham Freeport sedikitnya 51 persen dan skema pajak yang sesuai aturan berlaku (prevailing).
Freeport menginginkan perubahan status operasi tidak disertai dengan penghapusan hak-hak mereka yang diatur dalam KK, seperti skema pajak yang tetap sampai kontrak berakhir (nail down) dan tetap boleh mengekspor konsentrat hingga batas akhir kontrak. Dengan aturan yang baru saat ini, pemegang KK tidak bisa mengekspor konsentrat tanpa harus mengubah status operasi menjadi IUPK.
Apabila tidak ada jalan keluar, kami punya hak untuk menuntaskan sengketa lewat arbitrase, ucap Richard.
Menyayangkan
Di tempat terpisah, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menyayangkan sikap PT Freeport Indonesia untuk merumahkan tenaga kerja menyusul penolakan perusahaan itu terhadap aturan pemerintah. Luhut menyayangkan tindakan PT Freeport Indonesia untuk merumahkan tenaga kerja perusahaan.
Perusahaan seharusnya mengedepankan negosiasi dengan pemerintah untuk menyelesaikan sengketa dan bukan justru merumahkan tenaga kerja. Itu kampungan. Dia (Freeport) punya tanggung jawab terhadap pegawai. Perusahaan yang profesional tidak boleh begitu (merumahkan karyawan), ujarnya.
Ia mengemukakan, Pemerintah Indonesia tidak boleh didikte oleh kepentingan swasta. Semua aturan pemerintah wajib ditaati. Semua aturan dan ketentuan sudah kami berikan. Tidak mungkin dong pemerintah didikte oleh swasta. Enggak bisa, ujar Luhut.
Luhut menambahkan, konsekuensi yang harus dihadapi Freeport Indonesia jika menempuh arbitrase internasional adalah kekalahan di arbitrase. Berdasarkan kontrak karya, operasi tambang Freeport di Papua berakhir tahun 2021 atau bersamaan dengan 50 tahun kontrak perusahaan tersebut. Dengan demikian, kontrak karya perusahaan tidak akan diperpanjang dan bisa diambil alih oleh Indonesia.
Seperti diberitakan, PT Freeport Indonesia menolak syarat yang diajukan pemerintah dan siap menempuh penyelesaian sengketa di Mahkamah Arbitrase Internasional jika tidak ada jalan keluar.