www.detik.com; Selasa 06 Jun 2017, 13:33 WIB
JAKARTA– Amerika Serikat (AS) diduga mengambil keuntungan dari kisruh hubungan diplomatik Arab Saudi cs dan Qatar. Arab Saudi, Bahrain, Mesir, Uni Emirat Arab (UEA), dan Libya memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar per 5 Juni 2017 kemarin.
Ketegangan diplomatik terjadi hanya 2 minggu pasca kunjungan Presiden AS Donald Trump ke Arab Saudi pada 20 Mei 2017 lalu.
Pendiri Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto, mengungkapkan bahwa AS diuntungkan bila Qatar dikucilkan. Sebab, Qatar adalah produsen gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG) terbesar di dunia, pesaing AS yang sedang mencari pasar ekspor untuk produksi shale gas di dalam negerinya.
“Perlu dilihat dalam konteks ini peran AS, dalam hal ini Trump. Trump sebelum ini melakukan kunjungan ke Arab Saudi dan mencapai beberapa kesepakatan tentunya. Ini tidak lepas dari kepentingan Trump untuk memelihara industri shale gas mereka tetap bisa hidup dan bersama-sama Saudi menguasai pasar dunia,” papar Pri Agung kepada detikFinance, Selasa (6/6/2017).
“Qatar adalah eksportir LNG terbesar dunia. Tentunya ini menjadi pesaing utama dari shale gas AS yang memang sedang booming produksinya dan butuh pasar di luar domestik,” Pri Agung menambahkan.
Setelah mengisolasi Qatar, kemungkinan langkah selanjutnya yang akan dilakukan AS adalah bekerja sama dengan OPEC untuk menjaga harga minyak dunia.
“Jika sebelum ini AS dan OPEC kerap berseberangan, Trump lebih bisa bekerja sama,” ucapnya.
Tujuannya adalah menjaga harga minyak di level yang memberikan ruang hidup bagi industri shale oil dan shale gas AS.
“Sepanjang level harga sudah bisa memberikan ruang untuk shale oil dan shale gas AS tetap hidup, di sisi lain kepentingan ekonomi Saudi dari minyak juga tetap bisa terjaga, keseimbangan harga akan terbentuk,” ujar Pri Agung.
Konflik negara-negara Arab dengan Qatar, diprediksi tidak akan berlanjut sampai ketegangan militer. Dengan demikian, dampaknya terhadap harga minyak tak akan signifikan.
“Secara fundamental, surplus pasokan minyak di pasar global masih terjadi. Harga kemungkinan hanya ada di kisaran US$ 45-55 per barel saja,” pungkasnya.