Saturday, November 23, 2024
HomeReforminer di Media2017Lampu Kuning Industri Hulu Migas RI

Lampu Kuning Industri Hulu Migas RI

(Detik.com, 26 Juli 2017)

Jakarta– Pagi hari tanggal 7 Juli 2017, para petinggi dari 52 perusahaan hulu migas berkumpul di Kantor Kementerian ESDM, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta. Ada perwakilan dari Chevron, Exxon, Total, dan sebagainya.

Dalam pertemuan yang berlangsung pukul 10.00 WIB sampai 10.45 WIB itu, Jonan menawarkan 15 Wilayah Kerja (WK/blok) migas yang dilelang tahun ini. Jonan sengaja mengumpulkan bos-bos perusahaan hulu migas itu karena lelang blok migas 2 tahun terakhir gagal total. Pada 2015 dan 2016, tidak satu pun blok migas diminati investor.

Sejurus dengan itu, investasi di sektor hulu migas Indonesia pada 2016 menurun 27% dibanding 2015, dari US$ 15,34 miliar menjadi US$ 11,15 miliar. Dengan kata lain, Indonesia kehilangan investasi sebesar US$ 4,19 miliar atau Rp 55 triliun (dengan asumsi kurs dolar Rp 13.300) dari hulu migas pada tahun lalu.

Penurunan investasi ini berimplikasi pada kegiatan eksplorasi untuk menemukan cadangan migas baru. Semakin sedikit perusahaan hulu migas yang mau mencari minyak dan gas bumi di Indonesia.

Di 2013, jumlah wilayah eksplorasi di Indonesia masih 238. Pada 2016 menyusut menjadi 199 wilayah saja, 37 di antaranya sedang dalam proses pengakhiran kontrak. Akibat sepinya eksplorasi, tak ada penemuan cadangan migas baru di Indonesia. Sementara jumlah cadangan minyak yang terbukti terus merosot dari 3,7 miliar barel pada 2013 menjadi 3,3 miliar barel saat ini.

Pekan lalu, ExxonMobil pun memutuskan untuk mengembalikan Blok East Natuna kepada pemerintah Indonesia. Perusahaan migas raksasa asal Amerika Serikat (AS) itu tak mau berinvestasi lagi di ladang gas terbesar Indonesia yang memiliki cadangan sampai 46 TCF.

Pendiri ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto, berpendapat bahwa situasi ini bukan hanya karena jatuhnya harga minyak dunia saja, namun juga akibat iklim investasi yang tidak menarik.

“Keluarnya Exxon dari East Natuna adalah hal yang wajar. Kondisi sektor hulu migas kita sudah lama terpuruk, tapi dalam 1 tahun terakhir lebih buruk, orang mau investasi takut,” kata Pri Agung kepada detikFinance, Rabu (26/7/2017).

Ia menyebut Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2017 tentang skema gross split sebagai salah satu contoh aturan baru yang menurunkan iklim investasi.

Investor makin tak nyaman karena pemerintah cenderung memaksakan kebijakan, tak mau mendengar masukan. “Seolah-olah pihak lain selalu keliru. Misalnya soal gross split, kalau dikritik tidak mau terima,” ucapnya.

Contoh lainnya, pemerintah cenderung memaksakan kehendak pada Inpex saat membahas pengembangan Blok Masela. “Masela bisa tidak jalan kalau Inpex terus didorong-dorong pemerintah tanpa win-win solution. Investor dipaksa kerja dengan IRR (Internal Rate Return) sekian persen. Padahal ini bisnis berisiko tinggi,” tukas dia.

Kalau pemerintah tak mengubah cara pandang dan sikapnya dalam memperlakukan investor hulu migas, bukan hanya ExxonMobil saja yang akan mengembalikan blok migas.

“Masela juga bisa seperti itu. Pada suatu titik, Inpex akan bersikap. Mereka sekarang masih menunggu,” katanya.

Untuk memperbaiki iklim investasi hulu migas memang tidak bisa dalam waktu singkat. Tapi pertama-tama pemerintah harus ramah pada investor, mau menerima masukan dan berkomitmen melakukan perbaikan.

“Pemerintah perlu lebih banyak mendengar, jangan melihat dari sudut pandang sendiri yang belum tentu benar. Jangan memaksakan kehendak pada investor. Memang tidak bisa instant perbaikannya, butuh confidenttinggi dari investor,” Pri Agung menyarankan.

Jika tidak ada perbaikan, proyek-proyek migas yang amat strategis seperti Masela, East Natuna, dan IDD bakal jalan di tempat terus, bisa jadi investornya cabut seperti Exxon.

“Kalau cara memperlakukan investor seperti ini, ya investor pergi,” pungkasnya

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments